Oleh: Marzuki Rais
Belakangan ini, peristiwa pelanggaran hukum, khususnya korupsi, terus memenuhi ruang kehidupan bangsa Indonesia. Hampir setiap hari aparat penegak hukum (APH) menyuguhkan data kerugian negara akibat praktik korupsi, mulai dari angka ribuan triliun hingga ratusan atau puluhan juta rupiah. Seolah tidak ada habisnya, kita terus disuguhi pemberitaan mengenai penggeledahan, penangkapan, dan dugaan kecurangan yang dilakukan oleh oknum tertentu.
Lalu, mengapa semua ini terus terjadi tanpa ada tanda-tanda berakhir? Apakah Indonesia tidak memiliki undang-undang yang cukup untuk menjerat pelakunya? Jika sudah ada, mengapa tidak menimbulkan efek jera, baik bagi pelaku maupun bagi orang lain yang berpotensi melakukan kejahatan serupa? Ataukah yang kita lihat ini hanya bersifat sementara, sebelum kembali ke kondisi yang dinormalisasi? Mungkin saja semua ini sudah berlangsung lama dan hanya sekadar formalitas belaka, dengan masing-masing pihak saling memahami dan menerima kenyataan ini tanpa ada tindakan konkret.
Dalam istilah masyarakat kampung, kondisi ini sering disebut sebagai “obor blarak.” Istilah ini menggambarkan sesuatu yang hanya menyala sesaat dengan nyala yang besar, tetapi cepat padam dan kembali seperti semula. Tindakan pengungkapan kasus korupsi yang dilakukan secara masif pada awalnya, sering kali hanya bersifat temporer sebelum akhirnya dianggap biasa saja. Banyak pihak yang seakan menerima dan mendapat manfaat dari kejahatan tersebut, sehingga hukuman atau penegakan hukum menjadi tidak lebih dari sekadar sandiwara.
Fenomena ini juga sejalan dengan praktik puasa bagi sebagian umat Muslim di Indonesia yang dikenal dengan istilah “puasa tutup bedug.” Istilah ini menggambarkan kebiasaan sebagian orang yang hanya berpuasa di awal dan akhir Ramadan, sedangkan di tengah-tengah bulan mereka kembali menjalani hidup seperti biasa, seolah-olah tidak sedang berada dalam bulan suci. Hal ini mencerminkan bagaimana komitmen terhadap nilai-nilai agama atau hukum sering kali hanya berlangsung di awal dan akhir, sementara di tengah-tengahnya dilonggarkan atau bahkan diabaikan.
Lantas, apakah ini cerminan mentalitas bangsa Indonesia secara keseluruhan, atau hanya oknum-oknum tertentu saja? Kenyataannya, semangat menjalankan amanat undang-undang dasar dan penegakan hukum sering kali terlihat begitu serius di awal pemerintahan atau menjelang pemilu, tetapi di pertengahan periode, banyak kasus seolah tidak lagi mendapat perhatian yang sama. Meskipun ada pengungkapan kasus, skalanya tidak semasif atau seketat ketika di awal dan akhir periode kekuasaan.
Kasus penyimpangan dalam berbagai sektor sebenarnya bukanlah fenomena baru. Sebagai contoh, praktik pengurangan takaran minyak goreng oleh produsen telah berlangsung lama. Namun, mereka merasa aman karena tidak ada pengecekan rutin dari pihak berwenang. Demikian pula dengan kasus narkoba yang melibatkan nilai transaksi ratusan miliar rupiah. Para pelakunya seolah tidak pernah jera, justru semakin berani dan semakin banyak kasus yang terungkap dari waktu ke waktu.
Di sisi lain, masyarakat sebenarnya memahami kondisi penegakan hukum di negeri ini. Namun, mereka mulai bersikap apatis dan tidak peduli dengan berbagai pelanggaran yang terjadi. Kalaupun ada yang masih peduli, mereka berisiko justru menjadi korban, dianggap menyebarkan fitnah, dan bisa saja dikenai hukuman. Bagi masyarakat, apakah seseorang ditangkap atau tidak, rasanya tidak ada bedanya. Sebab, mereka yang sudah dipenjara pun masih bisa menikmati kebebasan selama memiliki uang dan kekuatan politik. Istilah “asal ada uang, semua beres” sudah menjadi rahasia umum yang diterima oleh banyak orang.
Lalu, sampai kapan kondisi ini akan terus berlangsung? Tidak ada yang tahu pasti. Namun, harapan bagi masa depan bangsa ini masih ada. Selama masih ada kesadaran untuk memperbaiki sistem, memperkuat penegakan hukum yang berkeadilan, dan membangun mentalitas yang lebih jujur dan berintegritas, Indonesia masih memiliki peluang untuk lepas dari jerat siklus “obor blarak” dan “puasa tutup bedug.”
Semoga perubahan bukan hanya sekadar janji, tetapi benar-benar menjadi kenyataan bagi bangsa ini. []
Editor: Zaenal Abidin