Senin, 23 Desember 2024

Pak Husein, Kepala Madrasahku yang Melampaui Zamannya

Baca Juga

Oleh Nurul H. Maarif*

Tahun 1995-1998 menjadi momen terpenting persentuhanku dengan Pak Husein, baik persentuhan sosial maupun intelektual. Aku dan kawan-kawan kala itu, biasa menyapanya “Pak”. Serasa tiada jarak yang memisahkan kami, dengan sapaan itu. Beliau memang Bapak yang mengayomi kami semua, santri-santri/siswa-siswinya di Pondok Pesantren Dar al-Tauhid dan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.

Selama aku mengenyam pendidikan di Arjawinangun-Cirebon, tiga tahun itu, beliaulah yang secara administratif menjadi Kepala Madrasahnya. Bahkan menjadi Kepala Madrasah yang pertama, karena MAK Dar al-Tauhid resmi berdiri pada 1995. Beliaulah yang mendampingi kami semua merangkak-rangkak meniti masa depan.

Kami, santri/siswa-siswinya, dua kali bersentuhan secara intelektual dengan beliau: di madrasah dan di pesantren. Di madrasah, misalnya, kami diajari ‘Ilm Ushul al-Fiqh karya Abdul Wahhab Khalaf. Di pesantren, misalnya, kami dibimbing ngaji kitab kuning gundul Sullam al-Munawraq karya Abdurrahman al-Akhdhari. Dua karya ini menuntut kita lebih mengedepankan daya nalar. Dan Pak Husein, mumpuni di bidang ini. Materi yang sulit, dijabarkannya dengan baik, sehingga mudah dicerna nalar kami yang masih beliau. Oh ya, aku juga diajarinya berkenalan dengan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Wensinck, saat beliau diamahi mengkritisi dan menafsir ulang hadis-hadis (yang dinilai) misoginis dalam ‘Uqud al-Lujjain karya Syeikh Nawawi Banten.

Saat itu, tidak sedikit muncul komentar miring tentang cara pandang keagamaannya yang tidak lumrah. Pemilihan bidang keahliannya dinilai melabrak kemapanan. Misalnya, filsafat/logika, tasawuf dan bahkan gender. Yang terakhir ini, terminologinya saja dinilai asing oleh kalangan pesantren, karena tidak muncul dan genuine dari internal tradisi pesantren. Tak heran, jika resistensi dari kalangan kiai pesantren lalu bermunculan.

Karenanya, komentar guru-guru dan santri-santri senior tentang pemikiran Pak Husein yang aku serap dan dengar kala itu bernada sumbang: “pemikirannya aneh”, “pemikirannya tidak biasa”, “pemikirannya melabrak kemapanan”, “pemikirannya sesat” dan sebagainya. Cap penyesatan dan pengafiran, kendati belum terlalu kencang, setidaknya sudah mulai berhembus pelan. Ketika aku mulai melanjutkan jalur akademikku di UIN Ciputat, sembari tiada absen mengikuti perkembangan pemikiran beliau, hembusan cibiran itu kian kencang dan intensitasnya kian sering.

Cibiran pihak lain tak membuatnya goyang apalagi tumbang. Bahkan pohon intelektualnya kian menjulang tinggi. Basis argumen Pak Husein yang jelas dan kuat, mengokohkan akar-akar intelektualitasnya. Beliaupun terus melenggang menerbangkan pemikirannya tentang keadilan bagi perempuan secara bebas, ke berbagai penjuru negeri, bahkan penjuru dunia.

Karya-karya terbaiknya yang merekam ide-ide besarnya tentang keadilan bagi perempuan pun bermunculan. Dimulai dari Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (LKiS: 2001). Buku ini mendapat respon luas khalayak. Banyak yang menolak dan lebih banyak yang menerima. Beliau pun lebih diperhitungkan di kalangan akademisi. Pandangan-pandangan keagamaannya kian absah dan banyak dibedah di berbagai kesempatan. Pergaulannya pun kian meluas. Dan terus, buku demi buku muncul darinya tanpa bisa dibendung.

Penghargaan demi penghargaan juga menghampirinya. Misalnya, penghargaan yang diterimanya dari Bupati Cirebon sebagai Tokoh Penggerak, Pembina dan Pelaku Pembangunan Pemberdayaan Perempuan (2003), penerima Heroes to End Modern-Day Slavery dari Pemerintah Amerika Serikat (2006), tercatat sebagai the 500 Most Influential Muslim dalam the Royal Islamist Strategic Studies Center (2010, 2011 dan 2012), dan sebagainya.

Atas pergerakan pemikirannya yang mencerahkan, pada tahun 2007, saat aku aktif di the WAHID Institute, bersama rekan-rekan senior di sana, kami menurunkan tulisan tentang Pak Husein berjudul “KH Husein Muhammad ’Memulung’ Kebenaran Terpinggirkan.” Kami meyakini, Pak Husein sedang menyampaikan kebenaran yang tidak dilirik banyak orang. Kebenaran yang terbuang, yang lalu dipulungnya dengan penuh keberanian dan keyakinan. “Menutup peluang adanya penafsiran atas teks-teks kitab suci merupakan penghinaan terhadap kitab suci itu sendiri,” katanya kala itu.

Itulah Pak Husein, Kepala Madrasahku yang mendunia, terbang bersama pemikirannya untuk mengangkat derajat kemanusiaan, terutama kaum perempuan, dari situasi al-dhulumat (kegelapan/kebodohan) menuju al-nur (kecermalangan/ilmu pengetahuan). Jalur yang dilaluinya tidak mudah. Penuh aral rintangan. “Tidak memuliakan perempuan, kecuali orang yang mulia. Dan tidak menghinakan perempuan, kecuali orang yang hina,” kata Ali bin Abi Thalib. Dan jelas, Kepala Madrasahku itu orang yang mulia, luhur budinya, karena tiada lelah berupaya nenempatkan perempuan (dan seluruh manusia) ke posisi terbaiknya.

Jika atas usahanya, di usia 66 tahun Pak Husein diberi kehormatan Doktor Honoris Causa (Dr. HC) Bidang Tafsir Gender oleh UIN Walisongo Semarang, pada Selasa, 26 Maret 2019, sebagai siswanya aku tidaklah kaget. Pencapaian tertinggi bidang akademik itu memang sangat layak disandangnya. Kalau boleh jujur, penghargaan ini sesungguhnya “sedikit terlambat”. Sejak puluhan tahun lalu, sejatinya Pak Husein sudah layak menerimanya. Kampus-kampus Islam ternamapun layak berjibaku memperebutkannya, karena tak banyak pemikir agamis dengan bidang keahlian sepertinya.

Atas anugerah bergengsi ini, aku mengucapkan penghormatan setinggi-tingginya pada Kepala Madrasahku: Pak Husein! Banyak pelajaran yang kami petik dan menjadi spirit untuk menjadi manusia sesungguhnya. Aku yakin, pikiran Pak Husein yang mendahului zamannya kala itu, kini akan terus dan sangat dibutuhkan, juga akan langgeng sepanjang zaman, karena pikiran-pikirannya ditulis oleh dirinya maupun oleh orang lain yang mengagumi atau memusuhinya. Aku teringat syair (yang konon disenandungkan) Ali bin Abi Thalib:

وَمَا مِنْ كاَتِبٍ إِلاَّ سَيَــفْنَى # وَ يَبْقَي الدَّهْرَ مَا كَتَبَتْ يَدَاهُ
فَلاَ تَكْتُبْ بِخَطِّكَ غَيْرَ شَيْءٍ # يـَسُـُّركَ فِي الْقِياَمَةِ أَنْ تَرَاهُ

Tak seorang penulispun kecuali akan sirna
Dan apa yang ditulisnya akan kekal sepanjang masa
Maka, janganlah engkau menulis apapun dengan tulisanmu
Melainkan (tulisan) yang di Hari Kiamat kelak akan membahagiakanmu.

Semoga banyak santri/murid yang mampu mengkloning pemikiran-pemikiran brilian Pak Husein. Kalau perlu mengembangkannya menjadi lebih baik dan mapan.[]

*) Santri Pondok Pesantren Dar al-Tauhid dan Siswa Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) Dar al-Tauhid tahun 1995-1998.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya