Dari hasil pemantauannya selama dua tahun terakhir, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan bahwa korban kekerasan terhadap perempuan di luar KDRT dilakukan oleh pejabat publik, pemuka agama, tokoh ternama, bahkan pendidik (dosen).
Komisioner Komnas Perempuan Arimbi Heroepoetri mengatakan pelaporan kekerasan di luar KDRT terkait relasi kuasa menjadi fokus perhatian Komnas Perempuan. Dengan melihat bahwa dengan kekuasaan yang dimilikinya, pejabat publik seperti gubernur, bupati, tokoh partai, menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini stafnya. Atau, dosen terhadap mahasiswanya.
“Hasil pemantauan Komnas Perempuan menemukan kasus semacam ini konsisten terjadi setiap tahunnya. Serangan terhadap perempuan beragam caranya, bisa secara perbuatan, sikap, dan terjadi terus-menerus atau sesekali, dan bisa dilakukan siapa saja,” papar Arimbi kepada Kompas Female.
Permasalahan yang kemudian muncul, menurut Arimbi, sistem hukum kurang mengakomodasi perilaku kekerasan ini. Definisi mengenai pencabulan, perkosaan, atau pelecehan saja masih belum seragam. Sistem hukum memiliki definisi yang cukup detail namun terbatasi.
“Perkosaan diartikan jika terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. Jika penetrasi menggunakan benda lain ini tidak termasuk dalam perkosaan,” Arimbi mencontohkan.
Reaksi masyarakat terhadap kasus yang melibatkan pemuka agama juga menunjukkan dua kecenderungan: pembiaran dan atau pembungkaman. Bagaimana masyarakat melihat isu kekerasan ini juga turut mempengaruhi sikap kecenderungan ini.
“Cara pandang masyarakat melihat pemuka agama pelaku kekerasan menimbulkan stigma bagi korban sehingga korban kembali menerima perilaku kekerasan (dari pelaku dan pandangan masyarakat),” jelas Arimbi.
Menanggapi pola seperti ini, Komnas Perempuan mendorong adanya pemahaman masyarakat mengenai bagaimana melihat sebuah kasus kekerasan, perbaikan sistem hukum yang berpihak pada korban, lembaga yang terkait (misalkan universitas) untuk membuat standard operational procedure (SOP) dalam mengelola konflik yang terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dengan relasi kuasa.
Ranah Komnas Perempuan adalah juga mendorong korban untuk berani melaporkan dan memberikan testimoni.
“Butuh upaya keras dari korban untuk memberikan testimoninya. Dukungan dari keluarga atau pihak lain juga sangat dibutuhkan agar korban mau mengungkap kasusnya,” kata Arimbi, sekaligus menegaskan laporan dari korban dipercaya sebagai kebenaran, dan Komnas Perempuan sebagai lembaga memberikan dukungannya.[]