Rabu, 18 Desember 2024

Pelopor Moderasi Beragama, Ikhtiar membangun Kecamatan yang Toleran dan Inklusif

Baca Juga

Oleh: Zaenal Abidin

Litbang Kemenag Jakarta merilis survey indeks Kerukunan Umat Beragama di Indonesia pada 2019 yang menunjukkan Jawa Barat sebagai provinsi dengan tingkat toleransi tinggi. Dalam rilis tersebut Jawa Barat menempati urutan ketiga setelah Aceh dan Sumatera Barat. Sementara itu menurut Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Barat, sampai Juni 2021, sekitar 320 warga Jawa Barat yang ditangkap Densus 88 karena terlibat dalam jaringan terorisme.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fahmina-institute, Kabupaten Cirebon turut berkontribusi pada tingginya intoleransi dan terorisme di Jawa Barat. Penelitian ini menunjukkan 17 kasus intoleransi terjadi antara tahun 2011-2019. Sebanyak 30 warga Cirebon ditangkap Densus 88 Anti Teror Polri karena terlibat dalam jaringan terorisme di Indonesia. Dari 30 warga yang ditangkap Densus 88 tersebut, mereka berdomisili yang tersebar di 17 Kecamatan di 26 desa yang ada di Kabupaten Cirebon. Jika dilihat dari sisi usia, mayoritas pelaku masih kategori pemuda sekitar umur 19-30 tahun.

Data dan fakta ini yang melatar belakangi Fahmina Institute dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Cirebon untuk bekerjasama dalam upaya mencegah praktik intoleransi di kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon.

Mursana Anggota Pengurus FKUB Kab. Cirebon mengatakan, wilayah Cirebon berpotensi kuat terjadi konflik antar umat beragama, terlebih di beberapa kecamatan terdapat rumah ibadah yang beragam seperti Masjid, Kelenteng dan Gereja. Hal ini harus diminimalisir dengan upaya moderasi beragama agar konflik sektarian ini tidak terjadi.

“Konflik antar umat beragama, terutama terkait pendirian rumah ibadah, kegiatan sosial-ekonomi dan lainnya. Sementara di internal agama terkait perbedaan dalam memahami khilafiyah keagamaan, pilihan politik maupun lainnya,” kata Sekretaris FKUB Kabupaten Cirebon.

Yang pertama dilakukan adalah dengan bersilaturahmi unsur musyawarah tingkat kecamatan. Hal itu disambut baik oleh para pihak seperti Camat, Koramil dan Kapolsek, karena upaya yang dilakukan selaras dengan konsen pemerintah terkait praktik keberagamaan yang moderat di Indonesia. Diskursus lintas agama, lintas ras yang dijumpai berada pada tingkat kabupaten.

Menurut Rosidin Direktur Fahmina Institute, menurutnya konflik yang terjadi berada di tingkat desa dan kecamatan  perlu adanya upaya pemecahan yang terlahir langsung dari masyarakat.

“Interaksi setiap hari sangat mungkin terjadi, tapi belum disadari dengan pemahaman yang moderat. Berbeda orang bergaul dengan kesadaran menjalin hubungan harmonis tanpa dikuatkan pemahaman moderasinya. Maka akan rawan dengan gesekan, provokasi dan hoax,” katanya.

Program ini secara umum bertujuan agar masyarakat memiliki sikap nasionalis, toleran anti kekerasan, anti diskriminasi. Seraya dapat membangun kembali sikap gotong royong sling menolong dan menghargai kearifan lokal. Penguatan moderasi beragama di tingkat lokal ini juga untuk menggerakkan agen-agen moderat dan membangun melestarikan solidaritas antar umat beragama.

Program ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama di lima kecamatan seperti Jamblang, Gebang, Losari, Weru dan Arjawinangun. Tahap berikutnya akan menjumpai enam kecamatan Ciledug, babakan, Lemah Abang, Mundu, Sumber dan Kedawung.

Menumbuhkan Inklusi Sosial di Masyarakat

Devida selaku Program Officer mengatakan, perjumpaan setiap hari warga sudah biasa terjadi namun belum adanya keterbukaan untuk saling bekerjasama. Bahkan wilayah yang dianggap damai saja bisa terjadi upaya-upaya intoleran.

Seperti yang terjadi di Kecamatan Gebang, dimana ada oknum masyarakat yang berusaha memprovokasi agar kegiatan buka bersama dan berbagi takjil di Kelenteng yang ada di wilayah tersebut batal. Beruntung dengan upaya dialogis dapat dilerai dan kegiatan dapat berlangsung dengan baik.

“Saya mencoba mendalami apakah itu pengaruhnya dari kita karena kita Muslim, bahkan kegiatan ibadah kaya imlek ada gangguan. Ini temuan terbaru kita tapi harus didalami lagi,” jelasnya.

Para perwakilan tokoh pemuda kecamatan juga diberi kesempatan untuk melihat praktik langsung penerimaan keberagaman yang di sebuah wilayah bernama Rehobot di Kab. Indramayu.

“Kunjungan ke rehobot untuk belajar, ada contoh inisiatif. Karena sekarang para pemuda ini masih menunggu, belum ada inisiasi sendiri. Sekiranya dari rehobot bisa menginspirasi. Lalu mereka mensosialsiasikan apa yang dilihat,” ungkap Devida.

Tantangan lainnya adalah meyakinkan isu ini penting untuk terus disebarkan dan dirawat. Hal ini bisa terlihat dari inisiatif-inisiatif yang dilakukan para pemuda maupun masyarakat yang telah diberikan bekal melalui rangkaian kegiatan yang dilakukan.

“Kalau menganggap isu ini penting mereka bisa berjalan sendiri dan dirawat. Bersyukur, sekarang sudah mulai ada seperti di Jamblang salah satu pemudanya membawa isu ini untuk mengikuti seleksi pemuda pelopor yang mempresentasikan keberagaman di Jamblang dan mempresentasikan kegiatan kita. Artinya ini menjadi penting bagi mereka,” jelas Devida.

Inisiatif yang dilakukan ini juga perlu didukung oleh masyarakat terutama pemerintah, bisa salah satunya dengan menyusun kebijakan pemerintah tingkat desa maupun kecamatan terkait deteksi dini intoleransi dan radikalisme hingga upaya-upaya penguatan bagi masyarakat agar bisa menumbuhkan toleransi dan empati antar umat beragama di wilayah. []

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya