Minggu, 22 Desember 2024

Penghargaan terhadap Kemanusiaan

Baca Juga

“Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang…”  [Ebiet G. Ade ]

 

Saat ini, perhatian dan pembicaraan kita lebih banyak tertuju pada beberapa peristiwa besar yang terjadi. Peristiwa-peristiwa tersebut, bukan saja menjadi isu lokalitas melainkan juga menjadi isu nasional dan bahkan internasional. Kasus pengeboman di berbagai tempat di Indonesia, isu terorisme dan berbagai aksi-aksi kekerasan lainnya, yang telah mengakibatkan cukup banyak korban jiwa. 

 

Belum lagi kecelakaan-kecelakaan yang terjadi akibat kealpaan pemerintah dalam memperhatikan sarana publik dan itu menjadikan kita terlena dalam pemanfaatan sarana dan fasilitas yang ada. Masih hangat dalam benak kita -sehubungan dengan momentum mudik lebaran- yaitu dengan anjloknya gerbong kereta api Arya Dwipangga di Kebumen Jawa Tengah, atau peristiwa banjir bandang yang mengakibatkan tanah longsor yang terjadi di tempat rekreasi Padusan, Pacet, Mojokerto. Dan masih banyak lagi kejadian lainnya yang menimbulkan tidak sedikit nyawa melayang. Kenyataan ini seakan-akan  hendak menunjukkan kepada kita bahwa sudah tidak ada lagi sense of crisis di hati Pemerintah dan tampaknya juga sudah hilang kepedulian kita terhadap arti kehidupan ini atau dengan kata lain,  jiwa manusia sudah tidak ada harganya lagi.

Memang, kita patut prihatin atas semua yang terjadi. Kita mestinya menundukkan kepala, mengheningkan cipta sambil merenungkan kembali dan mempertanyakan kepada diri kita sendiri, sejauh mana penghargaan kita terhadap  jiwa manusia.  Padahal dalam ajaran agama yang kita yakini, dengan institusi apapun agama itu, mengajarkan tentang penghormatan terhadapnya. Allah sendiri telah memuliakan seluruh anak Adam dengan penciptaan yang paling baik dan sempurna, jasmani maupun rohani.

Demikianlah, kejadian demi kejadian, peristiwa demi peristiwa yang terjadi dan seringkali menghiasi halaman depan dan menjadi sajian utama di berbagai media, cetak maupun elektronik, lokal maupun nasional yang terus datang silih berganti mengisi lembar-lembar pengalaman kehidupan kita yang riil. Sehingga yang terbayang dan terlintas dalam benak kita hanyalah bentuk-bentuk kekerasan, terror dan kematian. Sesuatu hal yang membuat kita takut dan merasa tidak aman untuk melanjutkan sisa nafas kita menjalani kehidupan ini.

Kita dijejali berita-berita yang nampaknya lebih bombastis. Media juga tak bosan-bosannya menyuguhkan hebohnya peristiwa tersebut.  Sedangkan kita sendiri seakan-akan melupakan satu hal yang terjadi pada realitas kehidupan ini. Satu kenyataan yang berkaitan dengan penghargaan

dan penghormatan kita terhadap jiwa manusia. Bahkan berkaitan pula dengan nilai-nilai kemanusiaan kita yang seakan-akan telah tercabik-cabik oleh tingkah laku kita sendiri. Ketika kita harus kembali mendengar dan menyaksikan sesosok bayi mungil yang masih belum bisa melakukan apa-apa selain menangis dan menggerak-gerakkan kedua tangan atau kakinya, tergeletak tanpa daya bahkan sudah tidak bernyawa. 

 

Dengan tanpa perasaan sama sekali, ia ditelantarkan  di tepi jalan atau di selokan atau bahkan di tempat sampah. Peristiwa pembuangan bayi yang ditemukan oleh masyarakat sekitar di jalan Jend. Sudirman Penggung Cirebon dan masih banyak kasus  serupa yang membuat miris perasaan kita sebagai manusia. Bagaimana tidak, seorang yang tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis dan menggerak-gerakkan kedua tangannya ataupun kedua kakinya ditelantarkan begitu saja.

Manusia, seberapa pun  kehadirannya tak diharapkan, entah itu karena kelahiran yang tak terencanakan ataupun karena ‘kecelakaan’   tapi ia juga tetap mempunyai hak untuk hidup. Dan tak seorang pun berhak menghilangkan hak itu. Lantas, siapakah yang bertanggung jawab atas kasus tersebut ? Padahal binatang saja, sebuas apapun dia, tapi tak pernah mencelakakan anaknya. Sedangkan Manusia diciptakan oleh Allah dengan berbagai kesempurnaan yang tiada taranya di muka bumi ini. Tampilan fisik yang seimbang dan keistimewaan akal yang membedakannya dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain merupakan anugerah yang patut disyukuri.  Namun harkat dan martabat manusia ternoda dan jatuh dalam kedudukan yang terendah ketika perbuatannya tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Sesuatu yang ada di dunia ini bukanlah terjadi tanpa sebab, sama halnya dengan sang bayi tersebut. Ia hadir di bumi ini, sudah tentu mengalami proses alami. Yang pasti, minimal ada dua orang yang mempunyai peranan utama dalam proses tersebut. Sayangnya lagi dalam proses itu, pihak yang paling terbebankan adalah pihak perempuan. Selama kurang lebih sembilan bulan, ia harus sabar memelihara dan merawat janin yang tumbuh di dalam perutnya. Selalu membawanya kemanapun ia pergi. Belum lagi ketika sang janin yang dihasilkan itu bukan dari hubungan yang sah (suami-istri), ia harus menerima secara langsung dampak dari hubungannya itu. Celaan dan pandangan sinis dari keluarga atau masyarakat sekitar, kemungkinan besar lebih ditujukan kepadanya daripada ditujukan kepada pihak laki-laki.

Setelah pengorbanan sang perempuan yang luar biasa dalam melahirkan anaknya, berjuang antara hidup dan mati demi kelahiran sang bayi. Namun karena berbagai hal, sang bayi itu akhirnya dibuang. Dengan mudah, kita akan membebankan kesalahan itu pada pihak perempuan. “Tega sekali ibu yang membuang darah dagingnya sendiri” atau “Naluri keibuannya sudah hilang” dan banyak lagi kutukan dan celaan dari kita yang ditujukan padanya. Padahal, bisa jadi dan sudah tentu kesalahan bukan hanya pada pihak perempuan, tapi juga karena sang laki-laki tidak mau bertanggung jawab, baik secara moril dengan memberi dukungan dan selalu mendampinginya, maupun secara materil dengan memberi nafkah kepada sang perempuan dan sang bayinya itu.  Mungkin juga karena merasa tidak sanggup menahan malu karena bayi yang dilahirkan itu tidak memiliki ayah yang sah. Beragam alasan bisa menjadi faktor pendorong yang menyebabkan sang perempuan berani membuang anaknya itu.

Namun apakah setelah ia menjalani penderitaan pisik maupun psikis, kita masih membebankan kesalahan dan menumpahkan kebencian pada perempuan tersebut ? Sedangkan pihak laki-laki masih bisa berlenggang kangkung, bebas tanpa beban dan kita pun memandangnya biasa saja. Kalau demikian, lantas dimanakah penghargaan kita terhadap kemanusiaan? Wallahu A’lam. [Laila Sholeh]

 


(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. I ed. 18 – tanggal 20 Desember 2002)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya