Jumat, 22 November 2024

Perdagangan Perempuan Cederai Kemanusiaan

Baca Juga

Mina 19 th (bukan nama aslinya) ditawari bekerja sebagai pelayan restoran di Singapura oleh “sponsor” yang kebetulan tetangganya sendiri. Karena tuntutan ekonomi dan langkanya lapangan kerja, ia menyanggupi tawaran tersebut. Setelah berada di penampungan selama dua bulan lebih, Mina “diterbangkan” ke Singapura melalui PT. X. Namun baru 20 hari bekerja, ia diberhentikan tanpa alasan yang jelas. Oleh majikan, Mina dipulangkan ke agensi (penyalur TKI) dan berada di sana selama dua bulan. Selama di agensi ia diancam akan dijual dan jika keluarga hendak menebus harus membayar 10 juta rupiah. Keluarga Mina tidak sanggup membayar uang tebusan tersebut. Akhirnya agensi justru memulangkan Mina ke Batam bukan ke desanya. Dalam surat terakhirnya, Mina mengatakan bahwa ia akan dijual. Pihak keluarga kemudian berusaha memulangkan Mina, namun mengalami kesulitan karena tetap diharuskan membayar. Keluarga meminta pertolonngan LSM di Jakarta dan Batam untuk membantu memulangkan Mina. Melalui LSM ini, kasus Mina kemudian ditangani RPK Polres Batam.

Masih banyak kasus menimpa TKI seperti Mina. Kasus semacam ini biasa disebut dengan perdagangan perempuan. Kasus perdagangan perempuan di Indonesia masih jarang terungkap karena selain licinnya sindikat perdagangan perempuan, juga karena masih lemah Lembaga penegak Hukum negeri ini. Selain itu banyak perempuan korban yang tidak menyadari bahwa dirinya diperdagangkan. Ini karena biasanya yang melakukan adalah orang-orang terdekat dengan diri korban, ditambah dengan nilai-nilai sosial di masyarakat yang memandang perempuan mestilah mengabdi dan berkorban. Parahnya lagi, banyak orang beranggapan bahwa, dengan melaporkan tindak kejahatan atau kasus ini sama dengan mncemarkan nama dirisendiri.

Kemanusiaan yang Tercederai

Pada tingkat individu korban, persoalan perdagangan perempuan berakibat pada buramnya masa depan, bahkan hidup mati individu bersangkutan. Perdagangan perempuan biasanya akan diikuti dengan kekerasan terhadap korban dan anak korban. Ini daat berupa gaji yang tidak dibayar, larangan untuk bergaul, makian, bentakan, sampai pemukulan secara fisik yang bisa menyebabkan cacat fisik atau bahkan kematian.

Perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan eksploitasi seksual juga akan menyebabkan individu mengalami trauma kejiwaan, bahkan bila akhirnya ia berhasil keluar dari dunia prostitusi, perasaan kotor, tak berguna, akan membuat perempuan merasa rendah diri, sehingga ia dengan mudah diperalat dan dilecehkan. Kondisi anak dan perempuan yang diperdagangkan sangat menyedihkan. Hak-hak mereka terus dilanggar, ada yang ditawan dilecehkan, dan dipaksa bekerja diluar keinginan mereka. Hal ini menempatkan mereka pada kondisi yang mirip bahkan sama dengan perbudakan. Dimana mereka tidak memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, hidup dalam situasi ketakutan dengan merasa tidak nyaman.

Lemahnya Payung Hukum

Sampai hari ini belum ada upaya nyata pemerintah dalam menghapus praktek-praktek perdagangan perempuan dan anak. Bahkan upaya preventif pun dalam bentuk payung hukum sangat tidak memadai. Satu-satunya peraturan yang menyebut tentang perdagangan perempuan adalah pasal 297 KUHP yang menyebutkan barang siapa yang memperdagangkan perempuan dan anak laki-laki akan dihukum penjara tujuh tahun. Soalnya kemudian, penegak hukum mengartikan perdagangan perempuan hanya pada tindak eksploitasi seksual Bagaimana dengan kerja paksa yang banyak menimpa para TKI? Tidak ada definisi yang jelas tentang unsur-unsur perdagangan perempuan dan anak. Perspektif pemerintah dan kebanyakan masyarakat tentang perdagangan perempuan hanyalah menyangkut prostitusi. Dalam hal ini yang disalahkan biasanya hanya perempuan. Padahal prostistusi tidak akan ada dan berkembang kalau memang tidak ada konsumen atau pelanggannya.

Pendekatan pemerintah dan masyarakat secara umum terhadap kasus perdagangan perempuan hanya dari sisi moral. Padahal perdagangan perempuan dan anak sangat terkait dengan aspek sosial dan politik. Perdagangan perempuan terjadi karena ada anggapan bahwa perempuan identik dengan pemenuhan kebutuhan seksual, yang artinya juga bisa diperjual belikan. Untuk mengatasi perdagangan perempuan dan anak tidak bisa hanya menggunakan pendekatan moral.

Tanggungjawab Pemerintah

Dengan tidak memadainya payung hukum yang jelas dalam penghapusan perdagangan perempuan, negara sesungguhnya tidak menghargai hak asasi warganya. Para TKI (khususnya perempuan) diperlakukan seperti barang dagangan. Negara hanya rajin mengambil prosentasi keuntungan materi hasil keringat para pekerja yang diperdagangkan itu. Ini terjadi karena diantaranya KBRI (Kedutaan Besar RI) di luar negeri tidak serius dalam melindungi para TKI. Padahal ada Undang-Undang Hubungan Luar Negeri No. 37 th. 1999 yang mengatur WNI bermasalah di luar negeri, tetapi ini kurang direalisasikan secara bertanggung jawab. Karena dalam penanganan TKI, biasanya KBRI menyerahkan tanggung jawabnya kepada Perusahan Jawatan Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Sementara PJTKI tidak ada yang mengontrol. Inilah salah satu sumber masalah yang memberi peluang pada maraknya perdagangan perempuan. Kiranya pemerintah bisa berbenah dengan melangkah dari sini.

Yang lebih penting dari semua itu adalah adanya keinginan serius pemerintah untuk memberantas perdagangan perempuan. Karena dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Lâ takrahû fatayâtikum ‘ala al-bighâli in aradna tahashunâ” (Janganlah kalian memaksa puttri-putrimu dalam pelacuran, jika memang mereka menhendaki penyucian).
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa pelacuran atau perdagangan perempuan terajadi karena desakan situasi dan kondisi. Karena itu tugas pemerintah adalah menciptakan situasi kondisi, sistem, dan undang-undang yang dapat memberantas habis praktek-prektek perdagangan perempuan

Ini harus dilakukan, karena sebagai manusia, perempuan memiliki hak asasi untuk hidup layak. Dalam posisinya sebagai bagian dari masyarakat dan warga negara, ia berhak mendapat perlindungan hukum , untuk tidak dieksploitasi baik fisik maupun kejiwaan. Sebagai makhluk Allah SWT, perempuan berhak mendapat perlakuan setara dengan manusia jenis lainya. Rasul SAW bersabda bahwa: “Ingatlah, aku berpesan: agar kalian berbuat baik terhadap perempuan karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian. Padahal sedikitpun kalian tidak berhak memperlakukan mereka kecuali untuk kebaikan”. (HR. al-Turmudzi).[] Pernah di muat di Warkah al-Basyar Vol. III th. 2004 edisi 02

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya