Jumat, 22 November 2024

Perempuan Bergerak Membangun Desa

Oleh: Alifatul Arifiati

Baca Juga

 

Minimnya keterlibatan perempuan muda dalam pembangunan di desa menyebabkan banyak anak muda terutama perempuan tidak mendapatkan informasi tentang pembangunan desa

Sebagai perempuan muda yang bekerja dan belajar dalam sebuah lembaga non-pemerintah, saya merasa senang ketika diminta Forum Aktivis Perempuan Muda (FAMM) Indonesia menjadi bagian dari penelitian partisipasi perempuan muda di Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Cirebon. Sudah menjadi minat saya bertemu dan berdialog dengan banyak orang menggali informasi, pengetahuan, dan pembelajaran. Bagi saya, pengetahuan yang paling berharga adalah pengetahuan dari orang yang mengalami.

Memperoleh banyak cerita dari perempuan-perempuan muda yang bergerak di lingkungan desanya, merupakan kekayaan tersendiri. Sebuah proses yang membahagiakan. Menggerakkan optimisme untuk terus memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. Saya belajar dari mereka tentang semangat kaum muda yang tulus.

Saya adalah perantau, meninggalkan desa untuk belajar hidup dan mencari penghidupan. Tinggal di perumahan tentulah berbeda dengan hidup di desa. Karena itu butuh waktu lebih lama beradaptasi dengan lingkungan desa.  Namun bersentuhan langsung dengan perempuan-perempuan muda telah memberi saya ruang untuk terus-menerus berbuat baik. Kerja-kerja mereka tentang upaya membangun desa sungguh mengagumkan. Beberapa ketangguhan mereka saya ceritakan disini.

Perempuan Muda Sulit Terlibat dalam Pembangunan Desa

Perempuan telah diberi ruang yang besar dalam paraturan perundangan. Undang-undang Desa No. 6 tahun 2014 misalnya, menyaratkan perempuan terlibat dalam pembangunan Desa. Pada struktur Badan Permusyawaratan Desa  (BPD),  jika mengacu pada UU Desa No. 6 Tahun 2014, pasal 58 ayat (1) menyatakan bahwa jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah gasal paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (Sembilan) orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan keuangan desa.

Pasal lain, pada pasal 54 ayat (1) Musyawarah desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Dalam lembar penjelasan atas undang-undang desa, untuk pasal 54 ayat (1) yang dimaksud dengan unsur masyarakat adalah antara lain tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin, kelompok perempuan dan kelompok miskin.

Dua pasal tersebut sudah kuat untuk menegaskan bahwa perempuan harus dan penting berada pada struktur pemerintahan desa, maupun dalam berbagai forum desa. Pada praktiknya, seringkali kehadiran perempuan dalam struktur maupun musyawarah desa hanya untuk memenuhi kuota, yang penting ada perempuan didalamnya. Bahkan terkadang keterlibatannya bukan sebagai orang yang memberikan pendapat atau memutuskan, tetapi sebagai pendukung seperti seksi konsumsi, bagian administratif untuk menyiapkan daftar hadir.

Keterlibatan perempuan dalam forum-forum musyawarah desa kadang bukan karena dirinya sebagai perempuan yang memiliki hak, namun karena suami merupakan aparat pemerintah, atau tokoh masyarakat. Karena jabatan suaminya di desa atau posisi suaminya di masyarakat, perempuan masuk dalam struktur Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)  dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan desa. Jika bukan bagian dari keduanya, sangat sulit bagi perempuan untuk terlibat dalam posisi strategis desa dan ruang-ruang pengambilan kebijakan desa.

Jika terus demikian, perempuan muda mengalami dua kali pengabaian keberadaannya dalam masyarakat. Pertama, pengabaian karena belum bersuami yang membuatnya tidak dilihat oleh pemerintah desa. Kedua  Jika telah bersuami, suaminya bukan perangkat desa atau tokoh masyarakat perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam pemerintahan desa dan pengambilan keputusan-keputusan penting lainnya. Dengan kata lain, jika perempuan masih sangat sedikit yang terlibat dan/atau dilibatkan dalam pembangunan, maka perempuan muda lebih sedikit. Pun jika mereka datang dan menyampaikan pendapat dalam musyawarah desa, dianggap sebagai situasi yang tidak biasa.

Ditengah kenyataan perlakuan perempuan di desa, stereotipe yang ada, selalu ada sosok perempuan muda yang berani bergerak, berani maju, dan berani bersuara. Satu diantaranya adalah Risma. Perempuan berusia 23 tahun ini sempat aktif di Karang Taruna di Desa tempat ia tinggal. Sebuah desa kecil di Kabupaten Cirebon dengan sumber daya alam, dan tambang batu. Sejak duduk di sekolah menengah atas, Risma aktif mengikuti kegiatan-kegiatan Karang Taruna, bukan sebagai partisipan tetapi menjadi bagian dari kepanitiaan.

Risma berbagi cerita dengan saya. Suatu hari, Risma mengikuti musyawarah desa untuk membahas anggaran biaya pembangunan jalan dan didalamnya ia memberikan pendapat. Hari ini, ketika kisah ini ditulis Risma yang masih tercatat sebagai mahasiswi IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini tidak mengira bahwa itu adalah akhir kali mengikuti musyawarah desa, karena rapat-rapat desa selanjutnya tidak pernah diundang lagi.  Risma baru mengetahui bahwa dia dianggap terlalu kritis pada pemerintah desa. Oleh karen itu ia tak lagi dilibatkan.

Risma mengingat pada sebuah forum desa yang ia ikuti itu, para petinggi desa menyampaikan rincian kebutuhan anggaran, tanpa membuka kesepakatan dengan warga yang hadir. Atas hal itu, Risma menyatakan ketidaksetujuannya. Seharusnya, menurut Risma  rincian anggaran dibuat bersama warga, agar lebih jelas dan transparan. Namun usulan itu tidak diindahkan oleh perangkat desa yang hadir. Hal ini berujung tak pernah ada undangan rapat desa lagi yang datang padanya. Sampai saat ini, Risma masih terus mengikuti perkembangan desanya. Walau tidak bisa langsung memberi pendapat, ia peroleh informasi desa dari Sekretaris Desa.

Pengalaman Risma berbeda dengan Tessa. Tessa tinggal di salah satu desa yang dipimpin oleh seorang perempuan. Sebuah desa di Kabupaten Bandung. Tessa banyak dilibatkan oleh Ibu Kepala Desa, baik dalam musyawarah desa maupun dalam kegiatan-kegiatan desa. Tessa bukan hanya sebagai partisipan tetapi juga bertanggung jawab mengelola kegiatan desa. Menjadi panitia lomba desa, bertanggung jawab mengundang perempuan lain dalam musyawarah desa adalah bagian dari aktivitasnya. Perempuan berusia 21 tahun ini dipercaya kepala desa menjadi guru di sekolah agama dan guru ngaji di desa. Ecca, demikian Tessa sering dipanggil, sudah 2 tahun menjadi pendamping Bale Remaja (Bare), sebuah komunitas remaja di desa untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupan remaja. Ia peroleh pengetahuan itu dari Sapa Institute. Lalu dengan pengetahuan itu ia ajarkan kepada remaja-remaja di desa. Aktivitas Ecca didukung oleh kepala desa.

Perjalanan Tessa untuk bisa percaya diri dan aktif dalam kegiatan-kegiatan desa tidaklah mulus. Selepas lulus SMA, keluarga terutama kaka-kakaknya meminta Tessa untuk segera menikah. “Warisan tidak akan dibagi selagi saya belum menikah,” tutur Tessa. Sebagai anak terakhir, Eca merasa sedih. Mimpi untuk melanjutkan ke jenjang strata 1 terhambat. “Saya tidak mau menikah muda seperti temen-temen saya yang lain. Saya masih ingin belajar,” sambungnya.

Di tengah keterpurukan itu, Tessa bertemu dengan Sapa Institute, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif memberikan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat untuk keadilan dan kesetaraan gender.  Dari Sapa Institute, Tessa banyak mendapatkan pengetahuan, kepercayaan diri, dan penguatan kapasitas. Ia ikuti pelatihan, tentang hak seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja, juga sekolah feminis. Aktif di Balai Remaja membuatnya semakin percaya diri dan membuktikan kepada keluarganya bahwa banyak aktivitas positif yang berguna bagi lingkungannya. Keluarganya melihat aktivitas Tessa sehingga dorongan untuk menikah tidak lagi terlalu kuat. Akhirnya keluarga menyetujui keinginan Ecca untuk melanjutkan pendidikan sarjana.

Di sisi lain, memiliki keluarga yang menjadi perangkat desa tidak berbanding lurus dengan mudahnya mendapatkan akses untuk berpartisipasi dalam forum-forum pengambilan keputusan di desa. Setidaknya itu yang dialami Hera dan Aida. Ayah Hera adalah salah satu perangkat desa, tetapi sang Ayah tidak memberikan kesempatan Hera untuk Aktif dalam kegiatan-kegiatan penting di desa. “Saya dianggap masih muda, jadi belum bisa diajak dalam musyawarah desa,” ungkap Hera. Selain karena alasan “masih muda”, pola-pola rapat dan rembug desa sering dilakukan di malam hari. Hal ini juga berpengaruh terhadap kenyamanan peserta rapat perempuan untuk mengikuti kegiatan secara intens.

Hal ini dialami oleh Aida. Aida memiliki Ibu yang menjadi salah satu pengurus Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Namun karena sibuk mengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI, Setara Sekolah Dasar) dan mengampu majlis taklim di desa, Ibu Aminah, ibu dari Aida, sering meminta Aida untuk mewakilinya mengikuti rapat atau pertemuan lainnya. Tetapi karena waktu rapat malam hari dan yang terlibat dalam rapat semuanya orang tua, Aida tidak merasa nyaman untuk menggantikan Ibunya.

Terkadang, perempuan juga menganggap bahwa keputusan terkait kebijakan publik menjadi wewenang perangkat desa saja yang mayoritas laki-laki. Perempuan tidak menjadi masalah jika tidak dilbatkan. “Ya saya sih Bapak-Bapak aja, Ibu sih golongannya jamiyah aja. Kalau Bapak-Bapak kan kadang malam”, ungkap perempuan yang aktif di kepengurusan pengurus Cabang Muslimat Kabupaten Cirebon ini. Pun, jika perempuan terlibat dalam forum warga atau musyawarah desa, perempuan dilibatkan sebagai bagian yang bertanggung jawab di pengadaan konsumsi rapat.

Terkait waktu rapat yang malam, Kustari, Kuwu (sebutan khas Cirebon untuk Kepala Desa) Sindang Jawa mengatakan; “Kalau rapat dilakukan pagi, siang atau sore hari kebanyakan masyarakat masih bekerja, jadi rapat dilakukan malam hari”.  Kustari sadar bahwa jika waktu rapat malam hari, perempuan tidak dapat aktif terlibat. Pertama karena pada saat malam hari mereka harus menjaga anak-anak mereka yang akan dan sedang tidur. Kedua, masih ada anggapan miring di masyarakat tentang perempuan yang beraktivitas di luar rumah pada malam hari, meskipun untuk rapat kepentingan desa.

Ketidakhadiran perempuan dalam ruang-ruang pengambilan keputusan, tentu akan berdampak negatif pada tahapan-tahapan pembangunan desa. Apalagi, menurut Kustari, Desa berencana membangun pasar untuk mendongkrak pendapatan desa. “Selama ini desa tidak memiliki asset untuk mendapatkan anggaran pendapatan desa. Maka kami berpikir perlu membangun Pasar Desa,” tambah Kustari. Bisa dibayangkan, selama ini pengguna pasar sebagian besar adalah perempuan. Selain berdagang, perempuanlah yang banyak berbelanja kebutuhan sehari-hari atau untuk dijual kembali. Maka, sudah seharusnya perempuan dilibatkan dalam forum-forum diskusi mengenai pembangunan pasar, karena perempuan tahu kebutuhan apa saja yang diperlukan dalam pembangunan pasar.

Minimnya keterlibatan perempuan muda dalam pembangunan di desa menyebabkan banyak anak muda terutama perempuan tidak mendapatkan informasi tentang pembangunan desa. Hanya anak muda yang aktif di Karang Taruna yang mendapatkan informasi, sedangkan pelibatan anak muda agar aktif di Karang Taruna tidak digarap dengan serius. Komunikasi dengan perangkat desa hanya terkait kebutuhan administrasi, prosesnya mudah tidak ada kesulitan yang berarti. Tetapi berkomunikasi dengan perangkat desa berkaitan dengan kegiatan yang bersifat penguatan, seperti sosialisasi kesehatan reproduksi, tidak mudah. Karena dianggap tidak menjadi bagian dari program pemerintah desa.

Di beberapa desa, seperti yang terjadi di Desa tempat tinggal Hera, Karang Taruna menjadi persoalan tersendiri. Pegiat Karang Taruna yang ‘tidak lagi muda’ atau semua yang aktif adalah anggota dari Pemuda Pancasila. Ketua Karang Taruna berusia 40 tahun. Hal ini  berdampak pada pola relasi, kaum muda menjadi sungkan untuk terlibat didalamnya. Jarak usia yang timpang, mengakibatkan Karang Taruna kurang produktif, kegiatan-kegiatan yang dilakukan bukan berdasar kebutuhan anak muda di desa, melainkan kegiatan apa yang biasanya diselenggarakan oleh karang taruna di desa-desa lain. Tidak dilakukan kegiatan berdasar pemetaan kebutuhan anak-anak muda di desa.

Perempuan Muda Membaca Potensi Desa

Tidak banyak terlibat dalam proses pembangunan di desa, tidak membuat para perempuan muda abai terhadap potensi-potensi yang ada di desanya. Hampir semua perempuan muda yang terlibat dalam penelitian Mahina Masohi, memiliki keinginan besar untuk bermanfaat bagi lingkungannya. Perempuan-perempuan muda ini resah terhadap persoalan sosial yang terjadi di desanya. Narkoba, pernikahan anak, kehamilan tidak diinginkan, adalah sedikit dari persoalan-persoalan yang bisa disebutkan di desa. Perempuan-perempuan muda juga melihat potensi-potensi apa yang ada di desanya terutama sumber daya alam, yang dapat memacu perkembangan ekonomi.

Beberapa potensi desa yang dilihat oleh perempuan muda akan mampu mengangkat pendapatan asli desa. Beberapa potensi telah mereka identifikasi. Pertama, sumber daya wisata sungai Cimanis, suasana sungai, sejuknya udara dan pemandangan yang masih asri yang dapat didorong untuk menarik warga desa dan dari luar desa sebagai alternatif tempat untuk berwisata. Tetapi pemerintah desa belum melihat hal ini sebagai potensi wisata. Kedua, potensi pengolahan ikan. Di Desa Kapetakan kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon adalah daerah laut yang hasil tangkapan ikannya dapat diolah untuk memberdayakan perempuan guna meningkatkan pendapatan keluarga. Selain itu bisa menjadi alternatif pilihan diluar keluar negeri sebagai tenaga kerja. Selain ikan laut, di daerah ini juga banyak budi daya belut. Hanya pemerintah desa belum melihat ini sebagai potensi ekonomi, sehingga warga tidak diberikan pengetahuan tentang pengelolaan belut.

Di Dusun Keputihan, Desa Kertasari, dimana Hera tinggal, bisa dikembangkan sebagai desa wisata. Menurut Hera, dilihat dari sejarah, pola hidup masyarakat yang masih memegang teguh budaya dan tradisi, menarik masyarakat luar daerah untuk mengenal lebih dalam tradisi dusun tersebut. “Seperti yang terjadi di Kampung Naga Tasikmalaya atau Kampung Gede Kasepuhan di Sukabumi,” tutur Hera.

Perempuan-perempuan yang saya ceritakan di atas memiliki kecintaan dan komitmen untuk membangun desa. Perempuan-perempuan muda ini resah terhadap persoalan sosial di lingkungannya, terutama pada persoalan-persoalan perempuan dan anak, pernikahan usia anak yang masih marak. Namun mereka tidak tinggal diam, berkomunikasi dengan pihak kecamatan, pihak desa, memberikan kesempatan kepada masyarakat mengetahui bahaya dari perkawinan anak melalui sosialisasi-sosialisasi, telah mereka lakukan.

Seperti yang dilakukan Dewi, membangun komunikasi dengan pemerintah desa mengadakan sosialisasi kesehatan reproduksi dan penghapusan kekerasan seksual. Bukan hal yang mudah hingga pemerintah desa menyambut positif rencana tersebut. Pertanyaan-pertanyaan mengenai konsumsi untuk warga yang hadir, ada pengganti transport atau tidak, apakah harus membayar narasumber, keraguan bahwa warga akan dapat hadir, menjadi kendala-kendala yang dihadapi di awal.

Dewi berhasil meyakinkan pemerintah desa bahwa sosialisasi ini merupakan rangkaian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) yang bersifat partisipatif. Setiap orang atau lembaga yang terlibat berkontribusi sesuai dengan kemampuannya. Ada yang berkontribusi menjadi narasumber, moderator, kendaraan, dan sebagainya. Akhirnya, perangkat desa menyanggupi dan antusias menerima kegiatan ini, walaupun mereka belum bisa berkontribusi dana karena kas desa sedang menipis di akhir tahun. Tetapi keterbukaan mereka terhadap kegiatan dan mengundang warganya untuk hadir, merupakan kontribusi yang tidak ternilai pentingnya bagi pengetahuan masyarakat.

Begitupun yang dilakukan oleh Robiah, membangun komunikasi dengan Kepala Kecamatan tempatnya tinggal, untuk memberikan sosialisasi kesehatan reproduksi, bahaya perkawinan anak, dan penghapusan kekerasan seksual. Beruntung, Camat menyambut baik, dan menggunakan agenda koordinasi bulanan Desa sebagai media untuk memberikan sosialisasi. Pada tanggal 2 Desember 2016, sekitar 60 orang perwakilan desa yang terdiri dari Karang Taruna, penggerak Pembina kesejahteraan keluarga (PKK), tokoh masyarakat, laki-laki dan perempuan, mengikuti sosialisasi yang diselenggarakan dari pukul 09.00 WIB sampai dengan 14.30 WIB di Kecamatan Depok. Robiah berbangga dengan kegiatan itu.

Kegiatan-kegiatan tersebut adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh perempuan- perempuan muda yang tergabung dalam Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan sebagai jalan meningkatkan pengetahuan dan informasi tentang upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebuah dorongan untuk mengentaskan Cirebon dari peringkat terendah dalam indeks pembangunan manusia (IPM) di Jawa Barat.

Perempuan-perempuan muda ini juga melakukan pendekatan kepada DPRD Kabupaten Cirebon untuk mendorong pemerintah kecamatan maupun pemerintah desa memberikan akses yang kuat kepada perempuan untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan. Karena salah satu yang menjadi tugas pokok DPRD adalah legislasi,  prempuan-perempuan muda ini meminta agar setiap sosialisasi rancangan peraturan daerah di tingkat kecamatan menginformasikan kepada jaringan, sehingga mereka dapat menginformasikan jadwal dan terlibat dalam sosialisasi.

Pendekatan tersebut mulai berdampak baik. pada tahun 2015 ketika DPRD sedang menyusun raperda Pelayanan Kesehatan, mereka menginformasikan jadwal sosialisasi ke kecamatan, sehingga anggota jaringan dapat mengikuti sosialisasi di kecamatan tempat dia tinggal.  Tahun 2016, DPRD tengah menyusun raperda tentang perlindungan perempuan dan anak, para perempuan muda mendorong agar DPRD melakukan upaya konsultasi publik di tingkat Kabupaten, selain sosialisasi di tingkat kecamatan.

Salah satu anggota DPRD yang menjadi teman bagi perempuan muda adalah Hj. Yuningsih. Selain memberikan informasi, Wakil Ketua DPRD ini juga memberikan draft raperda kepada jaringan agar dipelajari bersama mengenai kekurangan dan kelebihan Raperda, sehingga sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat umum.

Di Cirebon, Fahmina Institute dan WCC Mawar Balqis adalah dua lembaga yang sangat konsen pada kaderisasi aktivisme. Dua lembaga ini menginisiasi Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan dan memotivasi para perempuan muda untuk aktif dalam pertemuan jaringan setiap satu bulan sekali. Pertemuan ini biasanya diisi dengan penguatan pengetahuan tentang isu-isu perempuan dan penguatan kapasitas pendampingan kasus. Para perempuan muda telah bergerak. Dari kisah tersebut membuktikan bahwa perempuan mampu dan berdaya untuk membangun Desa bahkan Bangsa. Selamat hari perempuan Sedunia. []

 

*Penulis adalah Aktifis Perempuan Cirebon saat ini bekerja di Fahmina-Institute.

Tulisan ini merupakan bagian tulisan dari buku “Mahina Masohi; Pergerakan Perempuan Muda Mengukir Zaman” yang diterbitkan FAMM Indonesia tahun 2017

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya