Oleh: Nur Azka Inayatussahara
Ekstremisme di Indonesia saat ini mencuat sebagai sebuah permasalahan Nasional yang menuntut tiap lapisan masyarakat untuk turut serta memberantasnya. Pemerintah, melalui Kementerian Agama—dan kemudian diteruskan oleh banyak perguruan tinggi keagamaan Islam—begitu gencar mendiseminasikan gagasan moderasi beragama, yang esensinya mengajarkan nilai toleran, damai, dan inklusif dalam upaya menangkal pemahaman ekstrem.
Tak hanya itu, lembaga-lembaga sosial dan ormas juga turut mengambil bagian. Jaringan Gusdurian, misalnya, secara gencar dan konstan menebarkan pesan-pesan damai dan harmoni antarsesama manusia terlepas dari beragam agama dan latar belakang. Nahdlatul Ulama, di sisi lain, menebarkan ide Islam Nusantara yang dibangun atas dasar nilai tawassuth, tawazun, ta’adul, dan tasamuh.
Meskipun pemerintah dapat dikatakan sudah tidak angkat tangan terhadap permasalahan ini, nyatanya ideologi-ideologi yang bernada Islam politis dan menjurus pada fundamentalisme Islam—yang banyak diasosiasikan dengan makna ekstremisme—masih banyak ditemukan di negara ini.
Kelompok-kelompok ekstrem tersebut menggunakan beragam cara dan berbagai macam taktik untuk menarik masyarakat supaya ikut serta. Dalam hal ini, subjek yang juga memiliki posisi yang urgen, baik dalam penanggulangan maupun pelibatan, adalah perempuan. Oleh karenanya, adalah sebuah keharusan bahwa perempuan memiliki kapabilitas untuk didengar dan “beraksi” dalam rangka pemutusan ideologi ekstrem.
Perempuan dan Kelompok Ekstremis
Dari sekian banyak kelompok yang dikenal memiliki ideologi ekstrem, entah kelompok mana pun dapat dipastikan berpengaruh pada perempuan. Mereka memandang perempuan sebagai kelas kedua dan makhluk subordinat. Artinya, status, hak, peran, dan tanggung jawab perempuan, baik di lingkungan keluarga maupun publik, cenderung dipinggirkan bahkan tidak diindahkan. Ini yang dikatakan oleh Norani Othman dalam tulisannya, “Muslim Women and the Challenge of Political Islam and Islamic Extremism”.
Lebih jauh lagi, pernyataan kesamaan status antara perempuan dan laki-laki tidak jarang dianggap sebagai sesuatu yang begitu asing bagi mereka. Perempuan lagi-lagi dianggap tidak ada apa-apanya dibanding laki-laki.
Namun begitu, kelompok-kelompok ini memiliki cara tersendiri dalam memikat hati para perempuan—dan simpatisan lainnya. Peran perempuan yang secara sosial mendukung dan merawat laki-laki dijadikan pemanis dalam diskursus keislaman mereka.
Perempuan diagung-agungkan dengan sebutan “nyonya rumah” dan sebagai seorang istri yang mencintai suaminya dengan menyetujui apa pun. Ini merupakan sebuah model ideal seorang perempuan yang dibentuk berdasarkan horizon dan perspektif mereka. Tentang hal ini, Othman mengatakan bahwa kerap kali terjadi jarak yang cukup kentara antara ide yang dilontarkan dan realitas yang terjadi di lapangan.
Namun, ternyata data yang ada pun menunjukkan bahwa tidak sedikit perempuan terlibat dalam gerakan-gerakan itu. Jika dibedakan, setidaknya terdapat tiga kemungkinan posisi perempuan saat ia berkaitan dengan ekstremisme: mendukung, bergabung, dan terlibat.
Pemberitaan media tentang betapa para ekstremis menyiapkan perempuan untuk para aktivis jihad merupakan sebuah tindakan misoginis.
Padahal, sebuah studi menyimpulkan bahwa para simpatisan perempuan banyak berasal dari golongan berpendidikan. Sayangnya, pilihan yang sepenuhnya mereka kehendaki tidak begitu baik di mata masyarakat, di mana kelompok-kelompok tersebut hanya dapat merusak kemanusiaan perempuan dengan mengikat dan memperbudaknya. Setidaknya demikianlah yang dikatakan oleh Jayanthi Devi Balaguru, ketua CALD Women’s Caucus.
Perempuan Menangkal Ekstremisme
Beragam fakta yang harus dihadapi mengenai ekstremisme membuat perempuan, dan lembaga sosial perempuan, harus turun tangan dalam menanggulanginya. Ideologi ekstremisme jelas merupakan bahaya yang mengancam stabilitas pertahanan dan perdamaian negara, sehingga langkah yang dibuat pun harus tepat sasaran.
Akar masalah sebaiknya dapat ditemukan dengan benar dan dicarikan solusi yang paling sesuai. Alih-alih hanya berkutat pada persoalan kecil yang tidak memiliki pengaruh yang signifikan, perempuan harus menghapus ideologi tersebut secara perlahan namun epistemik dan terstruktur.
Hukum-hukum keluarga Islam sebaiknya dibuat berdasarkan atau melalui sudut pandang perempuan. Teori hukum Islam yang dijadikan acuan diharapkan dapat menghiraukan perspektif gender di dalamnya. Bukan tanpa alasan, pengaplikasian gender dalam hukum Islam berkaitan erat dengan perhatian terhadap problem-problem keagamaan modern yang semakin berkembang. Hukum Islam yang ramah gender menjadi harapan akan terciptanya keadilan dan perlindungan bagi perempuan dari aksi ekstremis yang mengancam.
Selain pembentukan alat hukum yang memihak perempuan, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghapus ideologi ekstremisme, yang diidentifikasi Kamala Chandrakirana dan Yuniyanti Chuzaifah menjadi lima poin utama: pertama, pengembangan interpretasi keagamaan dan struktur pengetahuan baru sebagai fondasi utama penegakan demokrasi, pluralisme, dan keadilan sosial.
Kedua, implementasi program sistematis dalam hal pendidikan publik dan media. Ketiga, pembentukan aliansi inter-religius. Keempat, dialog terbuka dengan anggota kelompok fundamentalis dan ekstremis. Kelima, pembenahan problem transnasional dengan aliansi antarbangsa.
Demikian, meskipun langkah yang dilakukan kecil, jika diteruskan secara konsisten, akan terlihat bagaimana ideologi ekstrem perlahan dapat ditanggulangi.[]