Minggu, 22 Desember 2024

Perlahan, Polri Belajar Memahami Gender

Baca Juga

Perlahan, Polri Belajar Memahami Gender

Mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai bentuk penghormatan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM), menjadi keharusan tersendiri bagi Polisi Republik Indonesia (Polri). Kewajiban ini dipertegas oleh Intruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Lebih-lebih bagi polisi wanita (Polwan) di bagian Unit Penanganan Perempuan dan Anak (PPA).

Maraknya sejumlah kasus seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perdagangan anak dan perempuan (trafiking), sebagai alasan kenapa Polwan dibutuhkan. Korban KDRT yang umumnya dari kalangan perempuan seringkali malu jika kasusnya ditangani oleh Polri. Sebaliknya jika ditangani oleh Polwan, korban akan lebih leluasa. Begitupun, dalam penyelesaian masalah dan bagaimana memperlakukan korban. Memperlakukan korban tidak sama dengan memeriksa dengan korban.

Hal itu ditegaskan Irawati Harsono, Mantan Komisioner Komnas Perempuan sekaligus pensiunan Polwan, dalam Pelatihan Gender untuk Anggota Unit PPA dengan tema Mempertegas Kerjasama antara Polisi dan Masyarakat dalam penanganan Kasus-Kasus Perempuan dan Anak, di Hotel Triyas Cirebon, pada Selasa (19/8) lalu.

Pelatihan yang digelar Fahmina-Institute bekerjasama dengan Polresta Cirebon, ini juga menghadirkan Narasumber dari unsur kepolisian, Kompol Indarto SH, Sik, SSos, Wakapolresta Cirebon, serta Marzuki Wahid, Direktur Fahmina-Institute, sebagai fasilitator dalam acara tersebut. Pengalaman Irawati di kepolisian memang menjadi pelajaran tersendiri bagi para peserta yang sebagian besar terdiri dari Polwan.

Irawati menuturkan, tahun 1948 tercatat dalam sejarah Kepolisian Indonesia sebagai tonggak eksistensi polisi wanita (Polwan). Berawal di Bukit Tinggi, sebuah kota sejuk di ranah Minangkabau, Pemerintah Indonesia menginstruksikan Sekolah Polisi Negara setempat untuk membuka pendidikan inspektur polisi khusus bagi wanita. Intruksi ini menyikapi arus pengungsian dari Semenanjung Malaya akibat Agresi II. Ketika itu, wanita yang mendominasi jumlah pengungsi menolak digeledah oleh polisi laki-laki (Polki).

Selang 50 tahun kemudian atau tepatnya pascagerakan reformasi, eksistensi Polwan semakin menyeruak. Dari segi kuantitas, jumlah Polwan terus meningkat.  Dari segi jabatan, ditandai dengan dibukanya kesempatan bagi Polwan menduduki pos-pos penting di struktur Kepolisian.

Sementara sebagai fasilitator pelatihan gender, Marzuki Wahid lebih banyak menggiring pola pikir peserta pada pemahaman kesetaraan dan keadilan gender, mulai dari pemahaman dasar hingga terkuaknya faktor utama yang menyebabkan timbulnya ketidakadilan gender.

“Ketidakadilan gender terjadi karena adanya relasi yang tidak adil. Laki-laki diposisikan di atas dan perempuan di bawah. Ada kasus di Cirebon ada seorang kiai yang poligami alasannya karena karena istrinya tidak punya anak laki-laki. Itu terjadi dipesantren dan saya sangat prihatin sekali. Inilah salah satu contoh relasi yang timpang di masyarakat,” papar Marzuki di depan seluruh peserta.

Melayani dengan Empati

Empati polisi-masyarakat merupakan keharusan (tan kena ora), bila Polri benar-benar ingin “menyatu” dengan masyarakat. Juga sebagai prasyarat mutlak pembentukan kehendak masyarakat memperoleh pelayanan sepenuh hati dari Polri. Hal ini juga yang terus disosialisasikan oleh Kompol Indarto. Menurutnya, perubahan sosial yang terjadi menciptakan suatu perubahan nilai-nilai masyarakat dalam melihat profesionalisme polisi.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, empati berarti perasaan dimana seseorang ikut merasakan dan memahami seseorang yang lainnya. Atau lebih gampangnya empati berarti menempatkan diri seolah-olah menjadi seperti orang lain. Mempunyai rasa rasa empati adalah keharusan seorang manusia, karena di sanalah terletak nilai kemanusiaan seseorang. Rasa inilah yang tentunya dimiliki seorang polisi dalam menghadapi korban, terutama perempuan dan anak, dalam hal ini Unit PPA. Setidaknya, rasa itulah yang seharusnya dimiliki oleh anggota polisi, terutama jika berhadapan dengan korban suatu kasus.

Dalam tataran itulah, pentingnya empati polisi-masyarakat, mengingat watak keras sebagian warga masyarakat gampang mengancam fisik polisi. Untuk itu, diperlukan kematangan rasio polisi. Penggunaan rasionalitas, jauh lebih diandalkan. Konsekuensinya, Polri yang bertugas harus mampu “menyayangi” sasaran pelayanannya. Konotasi “menyayangi” adalah memosisikan diri sebagai bagian dari warga masyarakat yang dilayani. Posisi demikian, bisa disebut sebagai empati. Empati polisi-masyarakat dapat diwujudkan manakala keduanya sama-sama memerankan diri sebagai budak hukum, dalam konteks apa pun. Termasuk dalam konteks kekuasaan (lembaga) negara di satu sisi, dan konteks kekuasaan publik di sisi lain.

Polisi yang profesional tidak lagi hanya sekadar jujur, tangkas, keras dan tegas terhadap pelaku kejahatan. Masyarakat lebih membutuhkan polisi profesional yang memahaminya. Polisi profesional harus lebih mengerti dan memahami apa harapan harapan masyarakat akan pelayanan polisi. Salah satu bagian dari masyarakat yang paling membutuhkan pelayanan polisi adalah korban kejahatan. Harapan korban kejahatan berkaitan dengan hasil teknis dan prosesnya.

Harapan akan hasil teknis berupa tertangkapnya pelaku, yang merupakan sarana balas dendam dan pencegahan kejahatan baik bagi si pelaku ataupun orang lain. Korban juga berharap polisi merehabilitasi pelaku ataupun korban. Harapan terakhir adalah kembalinya barang miliknya atau diberikannya ganti rugi atas kerugian yang dialaminya. Sedangkan harapan yang berkaitan dengan proses dapat dikelompokan dalam berbagai dimensi yaitu dimensi yang mewakili pelayanan yang bersifat fisik (tangibility), kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara nyata, terpercaya dan akurat (realibility), keinginan dan kemauan untuk membantu (responsivness), kemampuan, keahlian, dan pengetahuan dalam bidang pelayanan yang diberikan (assusrance), dan kepedulian yang ditunjukkan polisi (emphaty).

“Dalam konteks Polri, maka pemenuhan harapan pada proses menjadi penting. Karena keterbatasan yang ada tidak memungkinkan Polri dapat memenuhi semua harapan akan hasil teknis,” tegasnya. Senada dengan Indarto, Irawati menambahkan, empati akan muncul kalau kita mengerti.(a5)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya