“Tifatul telah membuat analogi kasus secara tidak tepat dan tidak logis,” tegas rilis Fahmina-institute. Tifatul dalam kesempatan tersebut memiripkan polemik video porno mirip Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari dengan perdebatan teologis Islam-Kristen terkait penyaliban Isa atau Yesus. Pada kesempatan tersebut, Tifatul menyatakan ketidaktegasan pengakuan ketiga selebriti itu akan berimplikasi panjang, yaitu sebagaimana implikasi perbedaan keyakinan umat Islam yang menganggap bahwa yang disalib itu hanyalah mirip Isa, sementara Kristen menganggap yang disalib adalah Yesus.
Pernyataan Tifatul di depan para media ini seakan melempar bola perlawanan ke arah kelompok masyarakat yang selama ini bergerak di basis antaragama, termasuk Fahmina-institute Cirebon. Kelompok masyarakat yang senantiasa mencita-citakan langgengnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan di atas prinsip Bhineka Tunggal Ika merasa disudutkan oleh pernyataan Menkominfo. Lebih dari itu, menurut Direktur Fahmina-institute Cirebon, Marzuki Wahid, dalam rilisnya pada Rabu (23/6), pernyataan Tifatul berlawanan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, Pancasila dan UUD 1945.
“Sebagaimana kita ketahui, implikasi konsep penyaliban pada Isa dalam Islam-Kristen telah menimbulkan ketegangan, pertentangan, bahkan keresahan di antara kedua umat beragama. Bahkan hingga saat ini, masih ada di antara kedua umat ini yang bersitegang dengan mengangkat isu penyaliban ini,” papar Marzuki.
Meskipun Tifatul telah meminta maaf melalui akun jejaring sosial (facebook) pada 21 Juni 2010, lanjut Marzuki, namun tidak ada kalimat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan mencabut apa yang pernah dikatakan sebelumnya. Sebaliknya, Tifatul semakin memperkuat pernyataannya tentang implikasi panjang dari perdebatan Kristen-Islam tentang penyaliban Isa.
Berkaitan dengan pernyataan Tifatul Sembiring, Fahmina-institute Cirebon berpandangan bahwa pernyataan Tifatul telah keluar dari cita-cita dan komitmen bangsa dan negara Indonesia untuk hidup damai dan maslahah dalam pluralitas sosial keragaman. Apalagi sebagai pejabat publik, pernyataan Tifatul sama sekali tidak tepat, tendensius, dan meresahkan masyarakat dengan mengeksploitasi perbedaan pemahaman teologi untuk mendidihkan kemarahan masyarakat.
“Tidak selayaknya penyataan-pernyataan yang berpotensi memicu ketenangan masyarakat disampaikan pejabat publik di hadapan media. Hal itu sama sekali tidak etis dilakukan seorang Menteri,” tandas Marzuki.
Tifatul Harus Mencabut Pernyataannya
Meskipun sudah memohon maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia, Tifatul Sembiring harus mencabut pernyataannya dan memohon maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia melalui media publik, tidak cukup hanya melalui akun facebook. Fahmina-institute juga menuntut kepada Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) untuk memperingatkan dengan keras Menkominfo Tifaul Sembiring agar berperilaku dan bertutur yang sopan, santun, etis, dan sensitif terhadap perasaan keagamaan masyarakat Indonesia.
“Apabila tidak, maka Presiden SBY berarti menyetujuinya. Bila Presiden SBY menyetujui, maka Pemerintahan SBY berarti sama sekali tidak sensitif terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia,” jelas Marzuki.
Merespon atas pernyataan Menkominfo Tifatul Sembiring tentang polemik video mirip Ariel dengan perdebatan teologi Islam-Kristen, Fahmina-institute juga berharap masyarakat tetap tenang dan tidak terprovokasi dengan pernyataan-pernyataan Menkominfo. Kerukunan umat beragama agar tetap terjaga dengan baik dan damai di segala lapisan.(a5)