Oleh: Aspiyah Kasdini. R. A (Kader Ulama Perempuan Jawa Barat)
Memasuki hari terkahir Dawrah Kader Ulama Perempuan secara daring, fasilitator memberikan tema belajar yang sangat menarik kepada para peserta pada pertemuan tersebut, yakni tentang Tafsir Alquran perspektif Keadilan Hakiki. Tema ini menjadi kelas khusus yang disampaikan oleh ahlinya, yakni Nyai Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm, beliau adalah Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta dan juga founder Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam).
Kajian-kajian beliau tentu telah dikenal dan diikuti khalayak umum dari berbagai latar-belakang, dan juga telah menjadi rujukan bagi para akademisi maupun praktisi keagamaan. Salah satu karya beliau yang fenomenal adalah sebuah buku yang berjudul Nalar Kritis Muslimah. Bagi siapapun yang menginginkan pemahaman atas tema tersebut, buku ini akan memberikan jawaban-jawaban yang cemerlang atas pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya mengganggu dan menghantui pemikiran kita semua.
Sebagaimana yang telah menjadi tradisi, acara pada hari Selasa, 08 Maret 2022, dibuka dengan pembukaan yang dipimpin oleh kelompok 4. Pembacaan Tawasul oleh Nyai Layyinah, pembacaan ayat suci Alquran oleh Nyai Titik, sari tilawahnya dibacakan oleh Nyai Sari Narulita, berikut preview dan review oleh Nyai Dewi Avivah dan Nyai Fatma Laili secara berurutan.
Memasuki acara inti, Nyai Roziqoh membacakan curriculum vitae dari Nyai Nur untuk kemudian menyerahkan acara sepenuhnya kepada beliau sebagai pemateri utama. Nyai Nur membuka materi dengan menjawab pertanyaan preview dari Nyai Dewi Avivah, yakni perihal batas tafsir keadilan hakiki.
Nyai Nur menjelaskan, bahwa perempuan dengan sekat-sekat identitas keagamaan mengakibatkan mereka memiliki pemahaman-pemahaman yang membuat mereka gelisah, karena penafsiran-penafsiran keagamaan yang selama ini diadaptasi adalah penafsiran yang sangat tidak adil dan tidak rahmah kepada perempuan, seperti isu poligami, perkawinan anak, dan lain-lain. Isu-isu ini sering digaungkan dengan iming-iming bahwa perempuan yang taat pada tafsir demikian adalah perempuan yang telah beragama dengan sempurna, padahal mereka diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi.
Bagi Nyai Nur, Alquran adalah wahyu Tuhan yang sudah sangat benar dan adil, baik bagi perempuan dan laki-laki. Namun pemahaman manusia atas Alquran ini belum tentu benar dan belum tentu adil, maka yang dipersoalkan bukanlah Alquran sebagai firman Allah, yang dipersoalkan adalah pemahaman atas Alquran, itupun hanya pemahaman yang tidak adil.
Jika sudah adil ya biarkan saja. Kita hanya mempertanyakan ulang pemahaman terhadap Alquran terhadap hak, keadilan, dan kemerdekaan perempuan yang telah dijamin oleh Allah Swt. Nah, dari sini tampak bahwa tafsir itu bersifat relatif, oleh karena itu, dalam derajatnya ada tafsir yang tidak adil gender, ada tafsir yang adil gender, bahkan ada tafsir adil gender yang mendekati hakiki.
Kemudian Nyai Nur mengajak para peserta untuk berfikir kritis atas Alquran surah Al-Nisa ayat 2-3. Seandainya ayat yang disampaikan hanyalah sampai redaksi al-rubaa’, maka pesan yang dapat difahami hanyalah pesan untuk berpoligami saja, berbeda jika ayat ini difahami hingga redaksi fawahidah, maka pesan yang difahami adalah pesan untuk monogami. Terlebih jika dibaca hingga ayat ketiga, maka pesan yang ditonjolkan adalah letak keadilan, yakni keadilan yang sulit diwujudkan jika menikahi anak yatim, karena pernikahan yang dilakukan disinyalir memiliki unsur mengambil dan memakan harta anak yatim tersebut.
Ayat ini juga berpesan agar tidak menikah secara poligami, karena memiliki kecenderungan tidak adil yang sangat besar. Sehingga menikah monogami justru memiliki kecenderungan untuk tidak berbuat aniaya. Ayat ini juga menegaskan bahwa dalam poligami itu sangat sulit untuk mewujudkan keadilan. Ringkasnya, ayat ini ingin mengatakan “JANGAN POLIGAMI.”
Nyai Nur memperkuat tafsir ayat ini dengan mengutip redaksi hadis yang berisikan tentang permintaan keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah yang meminta izin agar menikahkan putri mereka kepada Ali bin Abi Thalib dan direspon dengan penolakan keras dari Nabi Muhamamd Saw. “Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, ku persilahkan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya, adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya, adalah menyakiti hatiku juga.”
Menurut Nyai Nur, ayat yang sama dapat melahirkan penafsiran-penafsiran yang saling bertentangan. Tafsir itu harus menggunakan perspektif keadilan, jika ingin tafsir tersbut sampai pada keadilan perempuan, maka harus menggunakan keadilan hakiki perempuan. Mengapa? Karena yang digunakan adalah perspektif pengalaman perempuan dan hal tersebut menjadi standar kemaslahatan Islam. Sehingga tidak lagi laki-laki yang menjadi standar kemaslahatan, melainkan juga pengalaman perempuan.
Contoh dalam kasus poligami, tentunya berbeda antara laki-laki yang memiliki dua istri (sudut pandang laki-laki), dan perempuan yang diduakan (sudut pandang perempuan). Dalam isu ini kemaslahatan hanya dirasakan oleh laki-laki, tidak untuk perempuan. Di sinilah fungsi dari tafsir keadilan hakiki.
Aspek keadilan hakiki meliputi persamaan, perbedaan, berikut keragaman yang terdapat pada diri perempuan dan laki-laki. Dalam hal persamaan, Nyai Nur juga menegaskan, bahwa Maqashid Syariah itu tidak saja berlaku untuk laki-laki saja, tetapi juga untuk perempuan; jangan larang perempuan untuk belajar, jangan ganggu dan lindungi organ reproduksi yang dimiliki perempuan, jangan larang perempuan untuk dapat mencukupi kebutuhan ekonominya sendiri, dan lain-lain.
Selama berabad-abad, penafsiran Islam didominasi oleh penafsir laki-laki, tidaklah salah, namun laki-laki tidak pernah mengalami hal-hal yang menjadi pengalaman para perempuan, sehingga corak-corak penafsiran yang diciptakan adalah penafsiran-penafsiran yang tidak adil dan tidak hakiki.
Pada aspek perbedaan, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan secara biologis dan sosial, sehingga perspektif laki-laki tidak dapat dijadikan standar tunggal dalam mewujudkan kemaslahatan. Bahkan bagi sesama perempuan pun, perspektif perempuan satu dan lainnya tidak bisa disamakan, karena pengalaman setiap perempuan tentunya berbeda-beda.
Sehingga, dalam konteks tafsir keadilan hakiki, penafsir tidak menjadikan seorang atau sekolompok manusia manapun sebagai standar tunggal; adanya persamaan, perbedaan, dan keragaman menjadi pertimbangan utama dalam rangka mewujudkan kemaslahatan.
Berislam adalah berikhtiar terus menerus, berikhtiar dengan pembuktian terhadap amal salih yang dalam sederhanaya adalah mengubah sistem yang masih zalim agak bergerak menuju sitem kehidupan yang adil.
Ciri sistem yang Islami atau tidak zalim ialah: sistem yang islami, yang paling utama, adalah menjadi anugrah bagi pihak yang acap dilemahkan/rentan/mustad’afin; sistem yang Islami mungkin terwujud jika manusianya memiliki akhlak yang mulia; kuasa dalam bentuk apapun diyakini oleh pihak yang kuat sebagai amanah dan perlu diberdayakan, bukan untuk memperdayai yang lemah; ketaatan mutlak hanya kepada Allah Swt., bukan kepada laki-laki (suami, bapak, dan lain-lain).
Laki-laki dan perempuan memiliki status yang melekat, tidak luntur dalam relasi pernikahan atau relasi apapun, yakni status sebagai hamba yang sama-sama menghamba kepada Allah Swt.; juga status sebagai khalifah fi al-Ardh, baik laki-laki maupun perempuan memiliki tanggung-jawab bersama sebagai pemimpin di muka bumi (ruang publik dan domestik). Laki-laki dan perempuan sama-sama makhluk fisik, makhluk intelektual, dan juga makhluk spiritual, sehingga yang membedakan adalah sejauh mana mereka dapat menggunakan anugrah-anugrah ini dengan sebaik-baiknya.
Lensa keadilan hakiki perempuan menyangkut pengalaman biologis dan pengalaman sosial. Untuk pengalaman biologis laki-laki, hanya ada satu, yakni keluarnya sperma, itu pun hanya dalam hitungan menit dan terasa nikmat. Berbeda dengan pengalaman biologis perempuan (menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui) yang dirasakan tidak saja dalam hitungan menit, tapi juga mingguan, bulanan, bahkan tahunan, dan rasanya bukanlah nikmat, melainkan sakit. Dari sini saja dapat dilihat, laki-laki tidak akan tahu apalagi merasakan bagaimana pengalaman khas biologis perempuan, akan tetapi laki-laki umumnya mendominasi dalam pengambilan keputusan-keputusan yang juga menimpa perempuan, kan sungguh tidak adil.
Ketika perempuan menyampaikan pengalaman-pengalamannya ini, hal ini justru dianggap tabu bahkan pula diremehkan. Seperti ayat tentang tidak menggauli istri yang sedang menstruasi, dianggapnya ayat tersebut untuk menjauhi istri, istri sedang dalam kondisi KOTOR, padahal ayat ini mengajak untuk berEMPATI kepada perempuan yang menstruasi, karena mereka sedang merasakan pengalaman khas yang menyakitkan.
Dalam budaya patriarki, pengalaman khas biologis perempuan dianggap sebagai alat untuk melemahkan dan menistakan perempuan, padahal seharusnya pengalaman khas biologis perempuan adalah sebagai standar untuk berterimakasih kepada perempuan sebagai Ibu Kehidupan. Jadi, pengalaman khas biologis perempuan bukanlan untuk menistakan perempuan, melainkan untuk difasilitasi, karena laki-laki tidak akan pernah mengalami hal-hal istimewa ini.
Pengalaman sosial perempuan masih sering terjadi di masyarakat patriarki manapun. Seperti saat suami meninggal, istri harus ikut turut mati atau memotong sebagian jari tangannya; atau pada budaya-budaya pernikahan dengan cara ditangkap dan lain-lain. Pengalaman sosial pada perempuan yang demikian harus dicegah dan dihapus.
Pengalaman sosial perempuan meliputi: stigmatisasi, apapun yang terjadi kepada perempuan dianggap perempuanlah yang menjadi sumber fitnahnya, seperti pemerkosaanbterhadap perempuan, KDRT terhadap istri, lagi-lagi perempuan yang selalu disalahkan; marginalisasi, perempuan kerap dikecualikan dalam kemaslahatan, dan juga didahulukan dalam kemafsadatan; subordinasi, perempuan hanya dijadikan alat yang diambil manfaatnya, kebutuhan perempuan adalah pemenuhan yang tidak utama; kekerasan, kekerasan kerap dialami perempuan, dan ini bersifat luas, baik kekerasan verbal, oral, gestur, pemikiran, humor, kebijakan, kearifan, dan lain-lain; beban ganda, perempuan sering mengalami beban ganda tanpa kesepakatan bersama, yakni adanya pembagian ruang domestik secara dikotomis dan tidak fleksibel.
Nyai Nur lagi-lagi menegaskan, tafsir yang valid adalah tafsir yang tidak membuat pengalaman perempuan semakin sakit dan mempertimbangkan pengalaman perempuan ini sebagai produk tafsir yang berkeadilan hakiki untuk menciptakan kemaslahatan bagi siapapun. Walaupun laki-laki tidak mengalami ini, namun laki-laki dapat memiliki empati, mau mendengarkan, dan mau ikut memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi hak perempuan, seperti Yai Hussein, Yai Faqih, mereka tidak merasakan pedihnya pengalaman biologis dan sosial perempuan, namun mereka adalah laki-laki yang memiliki pandangan tafsir keadilan hakiki.
Rasul sudah selesai diutus, namun kezaliman masih terus ada, apakah Rasul gagal dalam misinya? Tidak demikian, misi Rasul adalah agar manusia terus istiqamah untuk mewujudkan kehidupan yang adil. Namun tidak bisa dipungkiri, bahwa sistem-sistem sosial kerap menomor –satukan laki-laki (subjek) dan menomor duakan perempuan (objek), ini sudah berlangsung secara berabad-abad, sehingga sudah mendarah-daging dalam alam bawah sadar manusia kebanyakan. Sehingga keadilan hanya untuk laki-laki, bukan untuk perempuan, hal inilah yang harus disetarakan.
Perempuan diakui sebagai manusia hanya saja mereka memiliki pengalaman kemanusiaan yang dimiliki juga oleh laki-laki dan dapat melakukan kerja bersama, namun perempuan kerap dikecualikan saat mereka mengalami pengalaman biologisnya, dianggapnya itu adalah urusan perempuan, bukan tanggung-jawab yang harus diurus secara bersama. Hal ini harus dipastikan agar dapat bergerakkepada sistem sosial yang adil gender, yakni perempuan dan laki-laki adalah setara dengan menjadikan pengalaman perempuan sebagai bahan pertimbangan dalam mewujudkan kemaslahatan dan keadilan.
Islam dapat berfungsi sebagai sistem (misi, landasan moral, cara); dan juga berfungsi sebagai proses, yakni bergerak melalui titik berangkat (patriarki garis keras dengan kesadaran terendah, dimana laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek/ jaman arab jahiliyah) melalui target antara (patriarki garis lunak dengan kesadaran menengah, dimana laki-laki adalah makhluk primer dan perempuan sebagai makhluk sekunder/ saat perempuan mulai mendapat perhatian dalam pembagian waris, kesaksian, sumpah li’an, dan lain-lain) menuju tujuan final (yakni adil gender dengan kesadaran tertinggi, dimana laki-laki dan perempuan merupakan subyek penuh).
Islam sebagai proses ini merupakan sistem kehidupan yang menjadi rahmat bagi semesta, termasuk bagi perempuan. Dalam Alquran, yang mengatakan perempuan adalah obyek, ada ayatnya; yang mengatakan perempuan makhluk sekunder, ada ayatnya; yang mengatakan perempuan adalah makluk penuh, BUWANYAK sekali, namun tidak pernah disampaikan. Ini juga berlaku atas ayat-ayat tentang laki-laki.
Yang sering menjadi polemik adalah tentang poligami Rasulullah Saw. Jika mau membandingkan, jangan membandingkan Kanjeng Nabi dengan umatnya, bandingkan beliau dengan pemimpin-pemimpin besar yang sezaman dengannya, harus apple to apple. Jika penulis boleh meminjam pernyataan salah satu guru, perihal poligami Kanjeng Nabi, pribadi Kanjeng Nabi adalah pribadi yang berprinsip monogami, dan ia memiliki kekhususan dalam adil berpoligami yang hanya diperuntukkan untuknya, bukan bagi umatnya.
Ringkasnya, tafsir keadilan hakiki ini merupakan salah satu tafsir yang harus digunakan dalam berfikir, bertindak, dan melahirkan fatwa dengan mempertimbangkan pengalaman perempuan sebagai standar kemaslahatan demi mewujudkan keadilan yang hakiki. Karena pada dasarnya tidak ada tafsir yang bersifat mutlak kebenarannya, melainkan semua penafsir berusaha menuju makna terdekat dengan maksud ayat, agar pesan Tuhan dapat menjadi kemaslahatan, baik bagi laki-laki maupun perempuan.