Negara Indonesia, yang tercatat sebagai negara berpenduduk sangat banyak dan cukup luas, meniscayakan keragaman dalam segala bidang. Baik dalam agama, bahasa, suku, dan etnis. Karenanya para foundingfather kita membentuk kesepakatan yang tertuang dalam satu idiologi Pancasila dan Bineka Tunggal Ika, sebagai bentuk ikhtiar bersama untuk membangun masyarakat majemuk yang penuh dengan penghargaan dan penghormatan terhadap keberbedaan. Hal ini mirip dengan apa yang pernah dilakukan kanjeng Nabi Muhamamad saw bersama masyarakat Madinah untuk hidup rukun dan saling menghargai keberbedaan antar agama (Yahudi, Nasrani dan Islam) dalam satu kesepakatan perjanjian, Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).
Namun pada sisi lain, penghargaan dan penghormatan antar-umat beragama seringkali mengalami hambatan yang cukup krusial, baik di tingkat nasional, regional bahkan pedesaan. Lebih-lebih sekarang ini, sebagian masyarakat kita, terkadang mudah memunculkan stereotip terhadap individu maupun pihak yang berbeda, baik agama maupun aliran agamanya. Sehingga menimbulkan kecurigaan-kecurigaan yang bisa dijadikan bara konflik antar sesama. Sekalipun konflik yang sesungguhnya seringkali persoalan politik dan ekonomi, tetapi kecurigaan antar agama bisa menjadi pemantik yang paling cepat menyalakan konflik antar kelompok masyarakat. Pengalaman Poso antara komunitas kristen dengan komunitas muslim, karena posisi satu dengan yang lain berimbang, justru lebih sulit untuk meredam konflik berdarah antar mereka. Dan yang melestarikannya adalah kecurigaan-kecurigaan dan ketakutan-ketakutan idiologis, yang satu terhadap yang lain.
Daerah Cirebon, yang secara umum relatif damai dan aman, tidak menutup kemungkinan bisa memanas jika satu kelompok terhadap yang lain tidak ada penghormatan, tidak memelihara ketetanggaan dan lebih memilih komunikasi yang penuh kecurigaan dan tuduhan-tuduhan. Kelompok yang satu memaksakan kehendak, atas nama uang karena merasa pengusaha, atau atas nama kekuasaan karena merasa pejabat, atau atas nama mayoritas dengan jumlah massa yang besar, lalu kelompok yang lain melakukan penekanan atau pembangkangan dengan memantik bara api konflik.
Desas-desus dan kecurigaan antar kelompok agama ini yang sedang menghinggapi sebagian warga Kecamatan Ciwaringin Cirebon. Keberadaan sebuah rumah sakit Sumber Waras di wilayah ini, dan kegiatan pemiliknya dr. Suwanta yang beragama Katolik, sering diisukan terkait dengan praktik kristenisasi yang tidak bertanggung jawab. Kecurigaan antar kelompok ini, jika tidak diredam bisa menjadi pemantik yang merusak keharmonisan hubungan antar kelompok agama. Semua pihak harus mengintensifkan pola komunikasi, agar hubungan ketetanggaan tetap terjaga dan justru menjadi kekuatan sosial untuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan.
Salah seorang kyai pesantren di wilayah ini mengungkapkan, bahwa kecurigaan masyarakat hanya sebatas kekhawatiran. Masih sulit menemukan bukti-bukti nyata mengenai kegiatan kristenisasi yang terkait dengan eksistensi Rumah Sakit Sumber Waras maupun sang pemilik dr. Suwanta. Tetapi kekhawatiran itu menjadi kuat, karena dr. Suwanta dikabarkan masuk Islam, yang sebelumnya Katolik, kemudian setelah Islam dia masuk Katolik kembali. Kasus seperti ini dianggap besar bagi sebagian kalangan sehingga memunculkan ‘isu kristenisasi’. Mungkin ada kasus-kasus perdata yang tidak mulus antara pihak Rumah Sakit dengan warga sekitar, yang juga ikut membesarkan isu kristenisasi. Tetapi apapun asal muassalnya, semua isu yang bisa merusak keharmonisan antar kelompok agama harus diklarifikasi.
Pada 10/03/`07, dalam obrolan ringan dengan dr. Suwanta, ia menuturkan bahwa dirinya tidak melakukan kristenisasi. Tududah yang dilontarkan pada dirinya, sejak tahun 1992 paska kepulanganya dari pengobatan matanya dari luar negeri, bahwa dirinya melakukan kristenisasi, belum pernah ada yang membawakan bukti-bukti. Katanya, orang-orang yang diisukan dikristenkan, ternyata mereka mengatakan tidak merasa dikristenkan. Para pekerja yang ia rekrut di Rumah Sakit yang dipimpinya, justru ia tekankan untuk menjadi pribadi yang berkarakter dalam artian harus menjadi orang saleh, takut pada Tuhan, serta siap melayani sesama. Mungkin tuduhan ‘dirinya yang keluar masuk Islam’ yang agak sulit untuk diklarifikasi. Tetapi dia merasa ‘tidak masuk Islam’, dia hanya pernah masuk Tarekat Islam Nurul Hikmah di Cibangkong, untuk mengobati kegundahan psikologisnya.
Apapun yang dilakukan dr. Suwanta, seharusnya juga memelihara kewajiban-kewajiban ketetanggaan. Mungkin ada kasus-kasus yang menyangkut hubungan Rumah Sakit dengan warga sekitar, yang bisa menyuburkan kecurigaan ‘kristenisasi’. Ini yang seharusnya juga diperhatikan pihak Rumah Sakit, termasuk para manajemen, terutama pemiliknya Bapak dr. Suwanta. Pihak rumah sakti harus mengintensifkan pola komunikasi dan memenuhi kewajiban ketetenggaan; soal kebersihan lingkungan sekitar, soal-soal tanah dan yang paling penting tepo seliro. Ketika seluruh perusahaan dituntut untuk mengeluarkan dana social responsibility (pertanggung jawaban sosial), maka rumah sakit juga seharusnya melakukan demikian. Dan yang paling berhak atas dana pertangungan sosial adalah mereka yang berada di daerah sekitar rumah sakit.
Pada saat yang sama, warga masyarakat harus mendahulukan klarifikasi daripada menghembuskan kecurigaan dan desus-desus, karena bisa merusak pola hubungan kelompok antar agama. Di samping karena keberadaan rumah sakit, di daerah sekitar, sangat dibutuhkan untuk melayani kebutuhan kesehatan masyarakat.
Keberbedaan agama dan problem sosial-masyarkat
Islam adalah agama yang menjamin keselamatan dunia dan akhirat bagi para pemeluknya. Satu-sutanya agama yang dipilih Allah Swt, saat ini, adalah Islam (innadîna ‘indallâhi al-islâm). Tetapi, Islam juga hadir di muka bumi ini untuk mewujdukan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh alam dan seluruh umat manusia (rahmatan lil alamin). Karena itu, sejak awal misi keselamatan Islam tidak boleh disebarkan dengan pemaksaan, apalagi fitnah dan ancaman (lâ ikrâha fiddîn). Islam mengajarkan relasi sosial kemanusiaan yang setara dan sama antar ummat manusia. Kepada non-muslim sekalipun, Islam melarang praktik-praktik kekerasan, kezaliman, fitnah keji dan segala hal yang menistakan.
Salah satu pesan Nabi Muhammad Saw yang dihafal seluruh ummat Islam adalah: “Barang siapa yang menyakiti orang non-muslim berarti ia menyakitiku”. (man adzâ dzimmiyan faqad azâni), kata Nabi Saw. Ini adalah deklarasi yang sangat tegas dan jelas, bahwa relasi kemanusiaan harus didasarakan pada penghormatan yang pertanggung-jawaban. Seseorang yang berbuat baik untuk masyarakat, harus diapresiasi dan diberi penghormatan oleh masyarakat, dan siapapun yang berbuat kejahatan harus ditindak sebagai penjahat masyarakat. Tanpa fanatisme agama, suku, maupun golongan.
Dalam surat al-Maidah ayat 8, disebutkan bahwa keadilan harus ditegakkan kepada siapapun, termasuk kepada orang yang paling kita benci sekalipun. “Dan janganlah kebencian kamu terhadap suatu kaum, membuat kamu tidak berbuat adil terhadap mereka, berbuat adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada ketakwaan”. (walâ yajrimannakum syanânu qawmin ‘alâ allâ ta’dilû, i’dilû huwa aqrabu littaqwâ, QS. Al-Maidah, 5: 8). Dalam salah satu riwayat, ayat ini diturunkan karena beberapa sahabat yang mudah menuduh kepada tetangga Yahudi sebelum membuktikan kebenaran sebuah kasus. Ini adalah pelajaran berharga bagi ummat Islam agar berbuat adil dan tidak memfitnah terhadap sesama manusia, sekalipun non-muslim.
Tentu saja, himbauan yang sama juga seharusnya disampaikan kepada mereka yang non-muslim ketika berelasi dengan tetangga mereka yang muslim, agar mendasarkan pada penghormatan dan pertanggungjawaban. Mereka tidak selayaknya menumpangi kerja-kerja kemanusiaan, seperti kesehatan, sebagai media pemindahan agama. Ini tentu saja bisa menyakitkan banyak orang, terutama kalangan pesantren dan para kyai. Mungkin ini menjadi kerja berat pemerintah, bagaimana seharusnya mengatur agama-agama misi; seperti Islam dan Kristen. Karena watak dari kedua agama ini selalu menginginkan orang lain berpindah agama. Jika tidak ada aturan yang adil, tidak menutup kemungkinan, akan terus menjadi bumerang dan pemicu ketegangan konflik antar komunitas Islam dan Kristen.
Ujian umat beragama dalam hal ini penting dibicarakan. Kefanatikan yang berlebihan juga sedikit-banyak bisa mejadi penghalang bagi terciptanya ruang komunikasi antar umat beragama. Jauh-jauh hari, Rosulullah SAW telah memberikan batasan yang gamblang, tentang hubungan dengan non-muslim. Batasan itu, tiada lain untuk menciptakan suasana masyarakat yang baik dan sejahtera. Pesantren, sebagai basis pengembangan pemahaman keberagamaan seharusnya mampu memberikan tauladan bagi masyarakat di sekitarnya. Namun demikian, barangkali pihak pesantren ingin memberikan kejelasan ajaran-ajarannya. Mengingat, santri atau masyarakat yang tinggal di sekitar RS. Sumber Waras relatife masih awam.
Apapun ‘kepentingan’ dari pihak Kristen atau ‘kecurigaan’ dari pihak muslim yang terjadi, harus diklarifikasi agar tidak merusak relasi sosial yang seharusnya terbangun secara baik untuk kepentingan masyarakat. Banyak upaya-upaya yang dapat ditempuh. Pertama, memperkuat akidah Islam, sambil memberikan semangat keharmonisan terhadap non-muslim. Ini penting, mengingat RS. Sumber Waras yang pemiliknya kebetulan non-muslim menjadi sarana vital keberlangsungan hidup, bagi masyarakat sekitarnya yang muslim dan kebanyakan nahdhiyin. Kedua, materi pesantren yang terkait dengan kesehatan, seperti bab thaharoh, haidh, dan seterusnya, akan menjadi menarik ketika melibatkan juga tenaga kesehatan –seperti dr. Suwanta- sebagai narasumber.
Apabila itu bisa dilakukan, kiranya bisa diperoleh titik temu prinsip agama-agama dalam hal kesehatan dan kemaslahatan masyarakat. Ibnu Aysur dalam kitabnya Maqashid al-Syari’ah menyatakan bahwa Islam sendiri secara umum, memiliki prinsip-prinsip berikut: menjaga agama (hifdz al-din), menjaga akal (hifdz al-‘aql), menjaga kesehatan reproduksi (hifdzu al-nasl), menjaga kepemilikan harta (hifdz al-mal), dan menjaga jiwa (hifdzu al-nafs). Menjaga agama, agar terhindar dari keburukan hidup yang akan menderita manakala tidak mempunyai agama. Menjaga Akal, agar kita berfikir bahwa Allah Maha Kasih, Cinta Damai, Bijak dan seterusnya. Akal juga digunakan untuk mendistorsi informasi-informasi negatif. Menjaga Keturunan, agar terhindar dari fitnah maka Islam menetapkan pernikahan. Sebagai bentuk ibadah. Menjaga Harta, agar harta milik kita digunakan secara proporsional, memiliki nilai kemanfaatan yang luas dan terjaga oleh kita dari sesuatu yang buruk. Menjaga Jiwa, agar jiwa kita yang merupakan amanat Allah menjadi kewajiban kita untuk tidak membiarkan sakit. Yang terakhir, Menjaga Jiwa, kiranya patut kita renungkan bersama. Dalam konteks ini, bukankah keberadaan RS. Sumber Waras bisa dipahami sebagai media menjaga Jiwa?
KH. Yahya Masduki Ali (al-maghfrullah) pernah mengutip pernyataan kyai senior NU, KH. Ahmad Siddiq, yang menyatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada 2 hal yang harus diperhatikan: (1) Ukhuwah Islamiyah, persaudaraan sesama muslim. (2) Ukhuwah basyariah atau ukhuwah insaniyah, persaudaraan sesama manusia. Mestinya sebagai muslim kita tidak hanya memperhatikan harmonisnya hubungan antar saudara seagama, tetapi juga menghargai saudara kita yang berbeda agama. Karena mereka juga sama-sama manusia. Karena itu segala hal yang merusak dua jenis persaudaraan tersebut, hendaknya dijauhi. Atau diwaspadai, ada apa di balik itu semua. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Penulis adalah anggota Dewan Asatidz Pesantren Muta’alimin Babakan Ciwaringin dan kini aktif di forum pengajian Bidayatul Mujtahid asuhan ust H. Faqihuddin Abd Kodir