Oleh: Zaenal Abidin
Pesantren KHAS Kempek menjadi tuan rumah kegiatan Sekolah Agama dan Kepercayaan (SAK), sebuah program yang dirancang untuk mempererat toleransi antar-umat beragama melalui pemahaman mendalam tentang berbagai keyakinan pada hari Sabtu, 30 November 2024 yang lalu.
Kegiatan ini dihadiri oleh sejumlah tokoh, di antaranya KH Ahmad Dahlan, Nyai Hj. Toah Jafar sebagai pengasuh pesantren, Direktur Fahmina Institute Marzuki Rais, serta fasilitator Roziqoh. Acara tersebut juga melibatkan peserta lintas agama, termasuk dari Kristen, Katolik, dan Sunda Wiwitan.
Acara dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, simbol persatuan dan semangat kebhinnekaan. Dalam sambutannya, Marzuki Rais menjelaskan tujuan SAK untuk memberikan pemahaman mendalam tentang konsep agama dan kepercayaan, mulai dari sejarah hingga praktiknya.
“Kami ingin menanamkan bahwa semua agama memiliki potensi yang sama dalam membangun perdamaian maupun menghadapi tantangan radikalisme,” ujarnya.
Program SAK dirancang untuk memahami berbagai keyakinan melalui kunjungan langsung ke rumah ibadah, seperti Pura Agung Jati Pramana, Vihara Welas Asih, Klenteng Talang, Gereja MDC Fajar Keagungan, hingga Gereja Katolik Santo Yusuf. pada rangkain pertemuan ke eenam ini, peserta mempelajari Islam di Pesantren KHAS Kempek, dengan fokus pada sejarah, pendidikan, dan nilai-nilai keberagaman.
Nyai Hj. Toah Jafar menekankan bahwa pesantren adalah wadah pendidikan fundamental yang mengajarkan keteladanan, kemandirian, dan keberagaman.
“Pesantren adalah miniatur keberagaman, di mana santri dari berbagai latar belakang belajar menghormati perbedaan,” jelasnya.
Dalam sesi dialog, berbagai pertanyaan muncul, seperti pandangan Islam terhadap doa dalam bahasa lokal, sejarah kepemimpinan dalam Islam, hingga isu sensitif seperti radikalisme dan konflik antaragama. KH Ahmad Dahlan menjawab dengan penekanan pada nilai-nilai universal Islam, seperti keadilan, kesetaraan, dan ihsan (kebaikan).
“Islam mengajarkan kita untuk saling mengenal, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an. Dengan memahami, kita dapat menghilangkan prasangka yang sering menjadi akar konflik,” ujar KH Ahmad Dahlan.
Marzuki Rais menyoroti pentingnya ruang dialog untuk mengatasi stereotip dan prasangka. Ia mencontohkan bagaimana anggapan bahwa terorisme identik dengan Islam sering muncul karena kurangnya pemahaman.
“Moderasi beragama ini perlu dikuatkan agar kita tidak terjebak pada akal primitif yang saling memusuhi, melainkan beralih ke akal baru yang merangkul keberagaman sebagai rahmat,” ungkapnya.
Acara diakhiri dengan sesi refleksi, di mana peserta menuliskan harapan mereka. Banyak yang menginginkan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin, penghormatan terhadap hak beragama, serta pengetahuan tentang keberagaman dalam Islam. Peserta non-Muslim, seperti Kevin dari Katolik dan Mira dari Sunda Wiwitan, mengapresiasi keterbukaan pesantren dalam membahas perbedaan.
Nyai Hj. Toah Jafar menutup dengan harapan agar sekolah semacam ini terus berlanjut dan melibatkan lebih banyak pihak.
“Kami di Pesantren KHAS Kempek percaya bahwa dialog adalah jalan menuju harmoni,” tutupnya.
Pesantren Ramah Lingkungan Selain mempromosikan toleransi, Pesantren KHAS Kempek juga dikenal sebagai pesantren ramah lingkungan. Mereka telah mendapatkan penghargaan dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cirebon atas pengelolaan sampah yang inovatif.
Kegiatan ini membuktikan bahwa pendidikan berbasis pesantren dapat menjadi katalisator dalam membangun harmoni antarumat beragama, sekaligus berkontribusi pada pelestarian lingkungan. []