Minggu, 8 September 2024

Pidato Penerimaan Opuz Prize

Baca Juga

Oleh: KH. Husein Muhammad

Sejumlah teman memintaku bercerita tentang Fahmina yang memeroleh Penghargaan Dunia atas kerja-kerja kulturalnya.

Saya seorang santri dari sebuah desa di Cirebon. Suatu hari mengalami nyaris ekstase. Sebuah kondisi psikologi yang hanyut dalam ketidakmengertian.

Tanggal 13 Nopember 2013 saya atas nama Fahmina Institute, memeroleh kehormatan untuk menyampaikan pidato penerimaan penghargaan Opus Prize, di depan para akademisi sebuah universitas tua di Washington DC, Amerika Serikat: “Georgetown University”. Hadir dalam acara itu Rektor beserta civitas akademika Univ, dan sejumlah intelektual terkemuka dunia, antara lain Prof. Akbar S. Ahmed.

Ini cuplikan saja.

Mengapa dan Untuk Apa Fahmina Institute Lahir?

Fahmina lahir didesak oleh kesadaran teologis bahwa warga harus digerakkan untuk memaknai kembali eksistensinya sebagai manusia yang merdeka dan bermartabat di dalam sebuah negara bangsa yang plural baik dari sisi sosial ekonomi, gender maupun keyakinan, setelah.

Sistem politik lama yang sentralistik, seragam dan represif yang berlangsung sekitar 30 tahun, tidak menyediakan ruang atas keragaman serta sikap kritis warga negara. Ini telah menciptakan kehidupan yang stagnan, rapuh dan rentan gesekan sosial.

Situasi ini juga telah menghasilkan kebodohan dan kemiskinan sosial yang masif, rasa saling curiga yang mudah menyulut konflik berbasis sentimen keagamaan, etnis dan sosial ekonomi.
Dalam stuktur sosial seperti ini kaum minoritas agama, gender, anak-anak menjadi pihak yang sangat rentan kehilangan eksistensinya. Mereka didiskriminasi dan dimarginalkan.

Di hadapan realitas sosial di atas Fahmina berpendapat bahwa sebuah perubahan harus dilakukan. Dan perubahan ini harus digerakkan dari dalam dan melalui tradisi masyarakatnya sendiri.

Fahmina berkeyakinan bahwa transformasi sosial akan menemukan signifikansi dan efektivitasnya yang kuat jika dijalankan melalui atau bersama tradisi dan budaya yang dikenali masyarakatnya.

Sebaliknya, perubahan sosial akan gagal manakala tercerabut dari akar tradisi dan historisitasnya. Dari sini Fahmina membuat jargon; “Bersama Tradisi untuk Keadilan dan Kemanusiaan”.

Langkah Fahmina untuk mewujudkan gagasan itu adalah mengembangkan wacana keagamaan dan sosial melalui pembacaan kritis dan kontekstual atas warisan intelektual Islam yang menjadi basis pengetahuan keagamaan Pesantren dan masyarakat muslim Indonesia.

11.05.21
HM

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Jangan Terjebak Pola Pikir Biner

  Oleh: Faisal Rifki Pagi Idul Fitri kemarin ada ucapan dari Tacik pemilik toko yang cukup meninju pelipis kiri saya, “Ada...

Populer

Artikel Lainnya