Rencana penggusuran pedagang kaki lima (PKL) depan Grage Mall Kota Cirebon, akhirnya terlaksana pada Kamis (29/9) dini hari, oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Cirebon. Meskipun sempat terjadi kericuhan selama lima menit, akhirnya penggusuran dilakukan hanya untuk dua lapak yang memang sudah kosong. Kericuhan terjadi setelah masing-masing pihak muncul. Tepat setelah bentrok, kedua belah pihak melakukan negosiasi. Cukup alot memang, tapi tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Forum Pedagang Kaki Lima (FPKL) mengizinkan Satpol PP untuk melakukan penggusuran dengan syarat hanya dua lapak saja. Usai menggusur dua lapak, Satpol PP diharuskan segera pergi.
Penggusuran hari pertama yang dilakukan di Jalan Tentara Pelajar, ini hanya untuk dua lapak milik salah seorang pedagang dan akan berlanjut hingga tanggal 1 Oktober 2009. Penggusuran juga disaksikan sejumlah aktifis satuan forum komunitas pedagang kaki lima (FPKL), satuan keamanan Polisi Resor Kota Cirebon (Polresta), dan masyarakat setempat.
Menurut Erlinus Thahar, salah satu aktifis Fahmina-Institute yang bertanggungjawab mendampingi FPKL Cirebon menegaskan, aksi tersebut merupakan aksi damai sebagai salah satu upaya menolak penggusuran. Pria yang akrab disapa Yunus, itu tetap berharap agar proses penyelesaian persoalan PKL tetap dilakukan dengan upaya persuasif. Kepada sejumlah pihak seperti Polri dan TNI, juga tetap dimintai dukungannya agar tetap memantau, hingga tidak terjadi konflik dan untuk mendorong upaya damai kepada semua pihak, serta membantu mencarikan solusi
Namun diakui Yunus, upaya aksi damai tersebut dikatakan tidak berjalan lancar. Karena sempat terjadi ketegangan antara Satpol PP dan pengunjuk rasa. Sehingga PKL akan tetap mengusahakan aksi lanjutan. Meskipun PKL memberikan izin Satpol PP untuk menggusur dua lapak, namun sebenarnya PKL inginnya melawan. “Kenapa PKL harus melawan? Karena argumentasi untuk pemindahan itu tidak cukup kuat. Diakui memang, PKL salah berdasarkan Perda Nomor 9 tahun 2003, tetapi Pemkot sendiri tidak konsisten terhadap kontrak tersebut. Alhasil, pihak yang paling diuntungkan adalah Grage Mall. Nuansa low and order juga kental sekali. Karena ada indikasi bahwa penerapan aturan itu berdasarkan pesanan pihak tertentu saja,” papar Yunus.
Kemudian dalam pemberitahuan selama ini, lanjut Yunus, PKL itu tidak ada dalam skema penataaan kota Cirebon. Jadi nuansa terhadap Grage Mall, itu bukan karena Grage Mall tersendiri. Di sini ada keberpihakan, terutama terhadap para pemilik modal besar dan menafikan adanya PKL di sana. “Maka wajib hukumnya untuk melawan. Hari-hari berikutnya akan lebih berat lagi persoalan yang dihadapi oleh PKL. Karena sampai detik ini belum ada kesepakatan yang menguntungkan PKL. Walawpun ada penataan di sana, PKL tetap berharap agar berjualan di sana (depan Grage Mall Cirebon, red),” jelas Yunus.
Menurut Ketua FPKL Cirebon, Ade Priyanto, kendati Satpol PP terus melakukan penggusuran sampai tanggal 1 Oktober 2009 mendatang, mereka akan tetap bertahan. Dia menegaskan, PKL juga siap menunggu hingga proses penertiban selesai dilakukan. Selama ini, diakui Ade, FPKL telah membentuk Korwil sekitar pedagang kaki lima dikota Cirebon. Yang berarti, selaku PKL di ruas kanan dan kiri, akan terus menuntut agar tetap berjualan. “Kami akan tetap mempertahankan lahan mencari nafkah kami. Kalaupun harus menunggu sampai dua bulan setelah penertiban selesai dilakukan, kami tetap siap menunggu. Yang terpenting kami tidak digusur tanpa ada kejelasan,” tandasnya.
Hal serupa juga ditegaskan sejumlah demonstran yang secara lantang menyuarakan harapannya agar tidak digusur. Seperti Rosi, perempuan pedagang empal gentong sekaligus salah satu aktifis FPKL Cirebon. Dia mengungkapkan kesiapannya sebagai PKL yang siap ditata, bukan digusur tanpa ada kejelasan. Apalagi jika tidak dilakukan pendekatan secara baik. “Kami para PKL tetap butuh perlindungan dan persamaan, kami ingin dimanusiakan,” ujar Rosi.
Negosiasi Bukan Jalan Akhir
Di tengah riuh rendah para demonstran, Ketua sementara DPRD Cirebon, Drs Nasrudin Azis SH, juga turut terjun langsung ke lokasi unjuk rasa. Hal itu diakuinya untuk memberikan dukungan kepada PKL. Selain itu, sosok yang biasa disapa Azis, ini datang untuk membicarakan bagaimana agar aksi berjalan secara aman dan tidak merugikan para pengguna jalan lainnya.
“Karena pemblokiran jalan yang dilakukan FPKL ini menghalangi pejalan lain, yang tidak bersalah apapun. Jadi tunjukkan simpatinya, agar mendapat simpati dari yang lain. Sehingga tujuan agar terhindar dari penggusuran, pun tercapai dan mendapat jalan terbaik. Karena walabagaimanapun, negosiasi bukan jalan akhir,” ungkap Azis.
Sementara itu, masih menurut Yunus, upaya pemblokiran harus tetap dilakukan untuk mengontrol berjalannya aksi unjuk rasa. “Terutama jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti munculnya penyusup yang malah akan mengacaukan proses berjalannya aksi damai.”
Beberapa hari sebelumnya, FPKL telah telah melayangkan surat kepada Ketua Satpol PP Kota Cirebon, dengan tembusan kepada jajaran Muspida, antara lain Walikota Cirebon, Wakil Walikota Cirebon, Danlanal Cirebon, Ketua DPRD, Ketua Komisi A DPRD Kota Cirebon, Dandenpom II Cirebon, Kepala Pupesdam Kota Cirebon, Kesbangpol Kota Cirebon, Camat Kejaksan, Lurah Kejaksan, serta Ketua RW Setempat.
Beberapa poin dari surat tersebut, di antaranya mengenai pertemuan pertama yang dilakukan di aula kantor Satpol PP, pada 3 Agustus 2009. Dimana saat itu tidak menghasilkan keputusan atau kesepakatan apapun. Yang ada hanya keinginan pihak Satpol PP untuk “menggusur” PKL di Jalan Tentara Pelajar, dalam penentuan jadwal tertentu secara sepihak. Dalam surat tersebut, FPKL juga mempertanyakan alasan penggusuran, karena dalam pertemuan pertama hanya disebutkan karena kontraknya habis. Bahkan tanpa ada dokumen apapun yang memperlihatkan “seperti apa” bentuk perjanjianya. Yang berarti, bahwa jika tidak ada dokumen yang dimaksud, tentu masing-masing pihak baik FPKL maupun Satpol PP bisa menafsirkan “Kontrak” tersebut sesuai dengan pemahaman masing-masing. Jika pun proses penggusuran tersebut untuk proses trotoarisasi, seharusnya bisa dilangsungkan oleh pihak PU, tanpa mengusir pedagang apalagi hingga memindahkan sampai batas waktu yang tidak jelas. Selain itu dalam surat tersebut juga pemerintah diingatkan kembali akan janji-janjinya semasa kampanye dulu. Karena jika benar PKL diusir, maka dalam hal ini pihak Pemkot hanya menaungi para pengusaha besar dan kapitalis. Padahal, walikota ketika berkampanye selalu bersama wong cilik.
Dalam surat tersebut juga dibahas tentang kekecewaan FPKL dalam pertemuan 3 Agustus 2009, bahwa para PKL merasa diintimidasi. Dimana saat itu PKL disuruh berkumpul dalam satu tempat, dikumpulkan dengan jajaran polisi dan Dandim. Dimata FPKL, cara itu terkesan cara-cara yang dilakukan pada jaman Orde Baru. Selebihnya, surat tersebut mendesak Pemkot dan DPRD kota Cirebon untuk mendisain ulang kebijakan penanganan di kota Cirebon. Karena sampai saat ini belum ada kebijakan yang komprehensif tentang pola penanganan PKL, terutama yang mengedepankan azaz keberpihakan kepada usahawan kecil. Masih dari isi surat yang dilayangkan, bahwa FPKL tidak segan-segan memperkarakan secara hukum Walikota Cirebon, selaku penentu kebijakan. Serta kepala Satpol PP selaku pelaksana pelanggar Hak Azasi Manusia. Menanggapi reaksi FPKL, jauh-jauh hari Kepala Satpol PP, Dedi Nurayadi ST, menegaskan kepada media bahwa pihaknya akan membenahi sesuai dengan program pemerintah akan menata lingkunganya termasuk menata pedagang, dan jika sikap Satpol PP terkesan menguasai, maka itu tidak lebih dari tanggungjawab sebagai pelaksana, dan tidak ada alternatif lain selain memindahkan PKL.(a5)