Pada Pemilu 2004 yang lalu, banyak partai politik peserta Pemilu belum memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam pencalonan legislatif. Sebelumnya, dalam Pemilu 1999, pemilih perempuan yang berjumlah sekitar 57%, hanya terwakili tidak lebih dari 9% di DPR. Dari sekitar 13% perempuan calon anggota legislatif, hanya sekitar 4,3% yang berada di urutan atas, sisanya di urutan nomor “sepatu”.
Ini berarti keterlibatan perempuan pada pemilu-pemilu era reformasi justru lebih rendah dari sebelumnya. Pemilu 1992 perempuan menempati 51% dari total pemilih. Pada Pemilu 1987, perempuan adalah 16,3% dari seluruh anggota DPR. Sementara itu dalam Kabinet Reformasi (1998-1999) hanya 2 orang perempuan yang menduduki posisi menteri. Baru dalam Kabinet Persatuan Nasional (1999-2004) seorang perempuan berhasil duduk sebagai Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah. (Kompas, 3 April 2000).
Menjelang Pemilu 2009, menurut penelitian kajian wanita Universitas Indonesia (UI), tercatat total pemilih pada 2008 adalah 154.741.787 jiwa. Jumlah pemilih perempuan 76.659.325 jiwa, sedangkan pemilih laki-laki berjumlah 78.082.462 jiwa. Potensi pemilih perempuan sangat potensial. Namun dari hasil akhir Pemilu nampak sekali bahwa posisi dan peran perempuan nampak belum beranjak dari peran dan posisi yang masih tersubrodinasi oleh peran dan posisi politik laki-laki.
Kendala Kebijakan Afirmatif
Sayangnya kebijakan afirmatif bagi perempuan ini belum bisa berlangsung mulus. Ada resistensi tinggi dari sebagian besar politisi, khususnya kaum lelaki. Ferry Mursyidan Baldan, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar (F-PG), misalnya, menilai aturan semacam itu tidak adil. Menurutnya, jika ingin mengakomodasi perempuan alam lembaga legislatif, seharusnya dilakukan dari awal dengan menentukan porsi perempuan di legilslatif. Sementara itu, Saut M. Hasibuan dari Fraksi Damai Sejahtera (F-PDS), menegaskan bahwa KPU tidak berhak menentukan calon terpilih karena akan mencederai kedaulatan rakyat. Proses afirmasi bagi perempuan, katanya, hanya berlaku pada pencalonan. Selanjutnya, rakyat yang menentukan sendiri wakilnya di lembaga legislatif (Kompas, 3/2/2009).
Kendala semacam di atas muncul, kemungkinan besar karena dalam ranah sosial dan budaya negeri ini, posisi kaum perempuan memang belum sepenuhnya berada dalam posisi dan situasi setara. Kuatnya budaya patriarkhi, telah membuat posisi kaum perempuan senantiasa tersubordinasi. Berbagai posisi kunci dalam ranah politik masih dominan dipegang kaum lelaki. Masyarakat patriarkis selalu berprasangka, perempuan cenderung berkapasitas rendah, kurang kompeten, dan tidak bermutu, hanya karena ia berkelamin perempuan. Dengan standar ganda, perempuan yang akan menduduki jabatan publik selalu dipertanyakan kualitasnya, tetapi hal itu tidak pernah atau jarang sekali dipertanyakan kepada lelaki apakah mereka mempunyai kompetensi dan kapasitas yang baik.
Di sisi lain, kebijakan afirmatif action bagi perempuan, dalam prakteknya baru ditafsirkan sebagai perjuangan perempuan untuk mendapatkan kuota 30% di kursi dewan semata. Padahal sesungguhnya tidak hanya sebatas itu. Karena pada kenyataannya, jika pun setiap laki-laki atau perempuan diberi kesamaan hak dan akses, tidak serta merta kesetaraan dapat tercapai. Jika memang tidak ada prakondisi-prakondisi yang mendukungnya. Meski kesempatan di berikan lebar-lebar kepada perempuan untuk dapat berperan, tetapi jika tingkat pendidikan, ekonomi dan kualitas lainnya tidak dipersiapkan secara matang, maka kesetaraan tidak serta merta tercipta.
Sejatinya, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, tidak bisa dilakukan hanya dengan memberinya kuota 30 %. Dibutuhkan kebijakan afirmatif yang lebih sistematis, proaktif, progresif, dan ada kemauan politik kuat untuk melaksanakan sehingga diskriminasi berbasis jender bisa diatasi.
Partisipasi Politik Perempuan Dalam Sejarah Islam
Umumnya ulama fiqh klasik dan sebagian ulama fih kontemporer menolak memberikan hak partisipasi politik kepada perempuan. Mereka menggunakan bermacam dalil dan argumentasi dari Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas, dan lain sebagainya.
Mayoritas ulama syariah sekarang mulai memberi ruang partisipasi kepada para muslimah dalam hal penyenggaraan negara. Meski demikian mereka belum memperbolehkan perempuan menjadi kepala negara, tentu dengan argumentasi yang berlandaskan Al-Qur’an, Sunnah dan persepsi mereka tentang realitas sejarah yang terjadi.
Berbeda dengan kedua kelompok itu, ulama-ulama masa kini memandang bahwa perempuan memiliki kesempatan partisipasi yang sama dengan laki-laki, Dalam kehidupan politik dan penyelenggaraan negara. Mereka ini juga menggunakan alasan sebagaimna ulama-ulama lainnya.
Realitas sejarah Islam menunjukkan, banyak tokoh-tokoh perempuan yang terlibat dalam politik. Seperti Aisyah ra., selain menjadi rujukan berbagai masalah hukum, ia juga terlibat langsung dalam politik, sebagaimana dalam perang Jamal. Naila istri khalifah Utsman, dicatat dalam sejarah sering terlibat persoalan-persoalan politik. Begitu juga Asyifa, Samra Al-Asadiyah, Khaula binti Tsa’labah, Ummu Syarik, Asma binti Abu Bakkar adalah sederet sahabat perempuan Nabi saw yang berpartisipasi aktif dalam persoalan politik. Belakangan nama Zubaidah istri Harun Ar-Rasyid, Syajarat Al-Durr dikenal sebagai politisi yang handal dan berpengaruh. Dengan demikian, meski debatable, partisipasi perempuan dalam politik dan penyelenggaraan negara, diakui dalam Islam. Wallahu’alam bi al-shawab
*) Penulis adalah aktifis Fahmina Institute