Sepanjang abad, agama didiskusikan manusia, namun persepsi dan pemahaman mereka terhadapnya tidak pernah satu dan sama. Selayang pandang selalu terlihat kenyataan yang sangat menarik tentang fakta-fakta keagamaan, yaitu variasinya yang hampir tidak terbatas. Tidak saja kepercayaan manusia itu telah melahirkan kelompok-kelompok penganut agama-agama besar di dunia, melainkan kelompok-kelompok besar agama itu terbagi lagi menjadi sub-sub kelompok, golongan-golongan dan unit-unit yang lebih kecil. Hal semacam ini dialami oleh semua agama timur dan barat. Variasi itu tidak hanya lahir sebagai akibat perbedaan rinci tentang ritus, dogma atau ajaran, dan otoritas agama, tapi juga sampai pada pengertian istilah atau terminologi tentang agama itu sendiri.
Pada tingkat pernyataan atau kesaksian diri, hampir setiap orang ingin menyatakan diri sebagai orang yang beragama, karena baginya agama merupakan sesuatu yang sakti, luhur, menyangkut rohani dan subjektif. Maka kalau orang berbicara tentang agama, tentu pembicaraan itu selalu bersemangat dan emosional kalau dibandingkan dengan berbicara soal lain.
Sehubungan dengan itu seorang ahli sosiologi Inggris, Bryan Wilson, menemukan sesuatu yang menarik, ketika ia memperhatikan kondisi masyarakat Eropa yang telah mencapai kemajuan yang luar biasa dengan segala bidang. Menurut dia, orang-orang Eropa, termasuk Amerika, berada dalam keadaan yang sangat menderita karena kehilangan sesuatu yang sangat bernilai dalam kehidupannya, yaitu agama. Artinya agama merupakan kesempurnaan eksistensi manusia, dan agama menjadi sumber vitalitas yang mewujudkan perubahan dunia dan melestarikannya. Orang tanpa agama tidak sempurna, seperti juga akal. Akal dan agama menjadi pembeda yang hakiki antara manusia dan mahkluk lainnya. Itu pula sebabnya, Allah menurunkan sejumlah nabi, menyertai perjalanan sejarah manusia untuk menunjukkan dan mengajarkan manusia tentang hidup yang terkendali.
Karena agama merupakan salah satu sumber nilai, memiliki peranan penting, arti dan bahkan sumbangan yang sangat besar dan paling tinggi harganya bagi setiap jenjang kehidupan manusia. Semua kelahiran kebudayaan besar dan bersejarah, diilhami oleh nilai dan semangat yang berurat-berakar dari agama. Dan sebagian besar pula peristiwa-peristiwa unifikasi dan konflik dunia dilatarbelakangi oleh faktor agama.
Agama mempunyai kekuatan mengikat yang luar biasa ke dalam (power of internal integrity) dan semangat yang keras untuk menyalakan pertentangan ke luar. Atas nama agama, orang bersatu dan bersaudara dan demi agama pula orang bertengkar dan berseteru. Itulah pertanda bahwa manusia mahkluk agamis, homo religius. Sebagai homo religius, mahkluk agamis dan makhluk fitrah maka sejarah manusia adalah sejarah agama, yaitu cara-cara indah yang dipergunakan keluarga manusia yang berbeda-beda untuk meningkat dan menuju pengetahuan yang lebih benar dan cinta yang lebih mendalam kepada apa yang dipercayai sebagai Tuhan. Sejarah tidak pernah menjumpai adanya satu kelompok manusia atau satu kurun waktu tertentu yang tidak mengenal agama. Agama adalah bagian dari hidup manusia yang selalu mempengaruhi perasaan dan pikirannya. Dalam konsep Al-Qur’an, bahwa Allah menciptakan manusia sebagai mahkluk yang tersempurna dan terindah, kemudian mengembalikannya menjadi yang paling rendah kecuali kalau mereka beriman dan beramal shaleh, atau manusia diciptakan menurut gambar Tuhan sendiri (dalam konsep Perjanjian lama).
Terusirnya Musa dari Mesir karena konflik agama. Kematian Yesus Kristus di tiang salib adalah konflik agama. Jika dilihat dari sudut sejarah, ternyata pelbagai agama telah terlibat dalam berbagai peperangan yang simultan. Diantara perang agama yang sangat terkenal dan berlangsung lama serta mengorbankan banyak nyawa dan harta benda, jiwa dan kebudayaan umat manusia adalah perang salib (the crusade). Peperangan ini merupakan serangkain peperangan yang berlangsung selama lebih dua abad (1096 – 1270) dan menempuh delapan gelombang.
Sangat ironis, ketika semua agama, yang oleh masing-masing penganutnya diyakini sebagai dimensi yang paling suci dan menyebabkan hidup serta kehidupan pribadi serta kelompok manusia menjadi sakral, ternyata, dalam perjalanan sejarahnya, sering terlibat sekandal hubungan konflik antara satu sama lain. Telah menodai lukisan sejarah perkembangan hubungannya dengan tetesan darah para martir dan syuhada di masing-masing pihak. Hubungan konflik, saling curiga, kebencian dan bentuk-bentuk hubungan negatif lainnya muncul dimana-mana hingga dewasa ini. Dan menurut ramalan S.P Huntington pertarungan antara dunia Kristen dengan dunia Islam atau istilah lain timur dan barat, akan semakin mendominasi konflik dunia global.
Karenanya agar tidak sampai terjadi apa yang diramalkan oleh Huntington, kiranya perlu ada refleksi dan introspeksi bagi kita sebagai umat Islam terutama pada suasana Ramadhan ini, dengan harapan akan melahirkan sebuah kesadaran kolektif dan langkah yang konkret. Yakni dengan merajut kembali nilai-nilai universalitas yang terkandung di balik ritual puasa Ramadhan. Dengan begitu ibadah puasa difahami sebagai ritual simbolik sakral guna meningkatkan eksistensi diri, baik dalam dimensi spiritual maupun sosial bagi umat Islam . Momentum puasa pun harus dapat menjadi momentum sakral bagi seluruh elemen umat beragama guna merajut nilai-nilai toleransi dan pluralitas dalam tatanan keagamaan di negeri ini.
Sebagaimana difahami bersama dari teks disebutkan bahwa kewajiban puasa bagi umat Islam bukanlah sebuah ritual keagamaan yang diwajibkan pada golongan umat beragama tertentu (Islam). Namun, ritual puasa merupakan doktrin ritual klasik yang jauh sebelum keberadaan Islam telah diwajibkan kepada umat-umat terdahulu (pra-Islam sekaligus non-Islam). Bahkan, seluruh agama, khususnya agama-agama samawi, dilengkapi serangkaian doktrin yang memerintahkan umatnya untuk merealisasikan ritual puasa dalam corak ragam dan waktu yang berbeda.
Nah, pada titik ini ritual puasa menemukan semangat universalitasnya yang tersirat di balik rekaman sejarah-sejarah umat beragama terdahulu sebagai sebuah interpretasi atas ayat tuntutan berpuasa dalam teks. Dalam rangkaian ayat tuntutan puasa dalam Al-Qur’an setidaknya dapat dipahami secara objektif bahwa pada dimensi universalnya, puasa merupakan sebuah ritual simbolik yang menyimpan nilai-nilai kontekstual berupa tuntutan bagi pelakunya untuk selalu mencerminkan sikap keberagamaan yang sarat dengan nilai-nilai pluralitas dan toleransi antarumat beragama.
Sikap toleran serta menghargai ajaran-ajaran umat beragama terdahulu merupakan salah satu pelajaran “mahal” dari doktrin kewajiban puasa. Berangkat dari sini, jika kita mengacu pada teks suci Al Qur’an tentang kewajiban puasa, maka sikap pluralis dan toleran terhadap agama lain merupakan suatu keniscayaan bagi seluruh umat beragama sebagai bentuk implementasi konkret atas makna dan semangat puasa Ramadhan. Oleh karena itu, ada baiknya bila momentum Ramadhan kali ini diposisikan sebagai momentum bagi umat Islam dan umat beragama lainnya untuk menggalang sikap plural dan toleransi antarumat beragama. Ke depan kita tidak perlu meretas segala bentuk diskriminasi terhadap agama yang telah menjadi pemicu dan legitimasi atas berbagai tindak anarkisme dalam tatanan sosial masyarakat.
Kita semua adalah satu untuk berserah diri kepada Tuhan pencipta alam semesta ini, bukan menghancurkan ciptaanNya dengan tindakan kekerasan dan teror. Goncangan berbagai peristiwa atas nama agama yang terlihat di tanah air, maka tidak ada alasan lagi bagi umat beragama untuk saling curiga dan meretas permusuhan secara terang-terangan dan diam-diam. Sebab dalam jiwa agama-agama yang damai dan toleranlah, umat manusia bisa bersama-sama membangun kehidupan dan masa depan yang adil, setara dan plural. Dan jiwa agama-agama itu hanya dapat dibangun dengan keyakinan yang teguh atas masing-masing agama, dan penghormatan yang tinggi atas keberadaan umat lain.
Sekarang, makin terlihat peningkatan jumlah penganut dari berbagai agama yang menyuarakan bahwa kebutuhan umat manusia terhadap saling mengerti dan bekerjasama diantara umat beragama, jauh lebih penting daripada penaklukan dunia oleh satu agama. Gerakan persahabatan antar umat beragama dan seagama merupakan kekuatan kreatif, proyek persaudaraan antar umat berbagai agama yang berbeda, menjadi usaha menata kehidupan yang rukun, penuh kedamaian.