Pesta demokrasi wilayah Kabupaten Cirebon sebentar lagi. Pemilihan Walikota Cirebon yang menurut rencana akan digelar pada 24 Februari 2013 mendatang, diramaikan lima pasangan calon walikota (Cawalkot) telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Cirebon. Jika mengamati berdasarkan derap mereka di media massa, sepertinya para Cawalkot sudah seratus persen mempersiakan dan mengatur strategi politiknya masing-masing yang didukung oleh beberapa partai politik (Parpol). Di antaranya sudah banyak terpampang foto para calon-calon entah itu melalui media massa, sticker atau baliho-baliho di sudut-sudut sejumlah jalan utama Kota Cirebon, komplit dengan visi dan misinya dalam menggaet simpatisan.
Pemilihan Cawalkot adalah bukti terealisasinya sistem demokrasi yang dianut negara kita. Entah itu dari pemilihan Walikota, Bupati, sampai pemilihan Gubernur, seperti yang terkandung dalam pasal 18 ayat 2 dalam UU 1945 bahwa: “Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemeritah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Dalam pasal ini, tujuannya tiada lain hanya untuk menjamin prinsip kedaulatan rakyat dan untuk menghasilkan pemimpin yang menurut rakyat dianggap sudah layak untuk menjadi penyelenggara pemerintahan, kerena itulah di antara fungsi dari demokrasi.
Pemimpin yang Berkaca pada Sejarah
Sebagai calon pemimpin, mereka harus benar-benar melihat sejarah para walikota terdahulu. Terutama para pemimpin yang telah berjaya membawa Cirebon sampai saat ini, apalagi Cirebon telah mempunyai dua puluh tiga Walikota, sejak pertama kali di zaman Hindia Belanda tahun 1921-1926. Saat itu Cirebon dipegang Walikota J.H. Johan sampai walikota yang sekarang masih menjabat (Subardi, Spd.). Dari dua puluh tiga contoh saja dirasa sudah cukup jika kita mau bercermin pada pengalaman yang pernah singgah untuk memajukan daerah Cirebon ini. Kita bisa meniru bagaimana cara mengatur daerah, menghormati rakyat dan lingkungannya, sehingga kita bisa mengerti dan peduli dengan apa yang diharapka rakyat dan bisa memiliki kepekaan dalam pengelolaan lingkungan.
Menurut Sarwono Kusumaatmadja (2007) dalam “Politik dan Lingkungan,” “setiap calon penyelenggara negara dan yang menjalankan pemerintahan harus mempunyai konsep, komitmen dan kepedulian terhadap pengelolaan lingkungan hidup untuk kepentingan Negara dan masyarakat”. Sebagai masyarakat umum, kita juga tidak bisa menganggap remeh tugas-tugas seorang pemimpin, di sana seorang pemimpin sangat diikat sekali oleh negara melalui UU tentang kepemimpinannya, seperti yang terkandung dalam pasal 18A ayat 2 (2012), bahwa: hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Sebenarnya banyak teori-teori yang dicantumkan UU Negara ini untuk kemajuan bangsa, apalagi jika para calon-calon pemimpin daerah ini benar-benar mengerti dan mengamalkan nilai-nilai pancasila sebagai ideologi dan dasar-dasar Negara, seperti dalam buku ajar “Pendidikan Kewarganegaraaan” untuk kelas dua SMP Edisi 4, bahwa; Mempelajari Pancasila lebih dalam akan menjadikan kita sadar sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan harus diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari untuk menunjukan identitas bangsa yang lebih bermartabat dan berbudaya tinggi. Itulah anjuran untuk kita semua sebagai warga Negara Indonesia, bukan hanya pemimpin saja, tetapi kita sebagai rakyatnya dituntut untuk mengerti arti dari nilai-nilai pancasila.
Mengangkat Jati Diri Cirebon
Cirebon yang dari dulu dikenal sebagai kota sejarah harus bisa mengangkat jati dirinya melalui nilai-nilai sejarahnya, mulai dari sejarah kerajaan, kesenian, kerajinan tangan, atau pun sejarah kuliner. Karena dari sejarah kita semua bisa bercermin untuk harapan masa depan Cirebon itu sendiri, mulai dari kemajuan moral, sosial maupun ekonomi, karena dalam kenyataanya masyarakat Cirebon sendiri masih banyak yang merasa kurang diperhatikan oleh pemimpinnya.
Saya pernah bertanya kepada bapak Sulaiman (46), salah satu warga Sendang Cirebon, tentang Pemilu di negeri ini, mulai dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sampai Pemilihan Presiden (Pilpres). Beliau menjawab bahwa: “semua Pemilu sama saja. Intinya, Pemilu sekarang sama seperti orang dagang”. Cuma bedanya kalau orang dagang bisa merayu calon penjualnya agar tertarik untuk membeli barang dagangannya, dalam rangka mencari untung dari barang dagangannya tersebut, tetapi kalau Pemilu, mereka merayu rakyat dengan segudang janji-janjinya sampai rakyat tertarik untuk memilihnya. Tapi ketika mereka sudah terpilih, mereka sering lupa kepada rakyatnya. Mereka lebih mengutamakan kedaulatan pibadinya dan golongannya ketimbang mengutamakan kedaulatan rakyatnya. Itulah cermin demokrasi di negeri ini, arti demokrasinya baru sampai pada kalimat dari rakyat nya saja, tetapi kenyataannya belum sampai pada kalimat selanjutnya yaitu, untuk rakyat nya, kerena demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat.
Pengamalan demokrasi bukan hanya sampai pada Pemilu saja, masih banyak pengamalan demokrasi bagi sang penyelenggara pemeritahan yang masih dirasa kurang di mata rakyat khususnya wilayah Cirebon. Seperti masih banyaknya masyarakat Cirebon Timur yang makan nasi aking (nasi bekas yang dikeringkan lalu dimasak lagi), masih banyak wilayah Cirebon Utara yang kekurangan air bersih, masih banyak wilayah Cirebon Selatan yang air sungainya dulu bersih sekarang keruh akibat limbah Batu Alam.
Belum lagi tentang kesehatan, masyarakat sering dibikin pusing dengan pelayanan kesehatan, mulai dari Puskesmas sampai rumah sakit, pihak Puskesmas atau rumah sakit lebih sering mengutamakan orang yang berduit dari pada rakyat yang menggunakan Kartu Tanda Miskin (KTM) atau Kartu Jamkesmas. Padahal jelas dalam pasal 34 ayat 3 tentang Kesejahteraan Sosial yang berbunyi: Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Tetapi kenyataannya banyak sekali yang menyimpang, mungkin inilah tugas para calon-calon pemimpin kita, alangkah baiknya jika seorang pemimpin tidak hanya mengandalkan suruhannya (bawahannya), tapi mau terjun langsung untuk mengetahui kondisi rakyat yang sesungguhnya, meski pun hal seperti ini sangat berat untuk seorang pemimpin, tapi inilah hakikat seorang pemimpin dambaan rakyat.
Akhir tahun lalu, tepatnya 30 Desember 2012, saya sempat bertanya sedikit kepada salah satu warga di Wilayah Cirebon, Bp Ahmad (63) tentang bagaimana rasanya tinggal di Indonesia khususnya wilayah Cirebon? “ya mboh keder, uwong kaya kula urip ning Indonesia sih khususe cirebon kudu akeh sabare, kudu akeh nerimae. Kang sugih nambah sugih, kang melarat tambah melarat. Buktine kaya limbah pabrik watu, masyarakat pada akeh sing di rugiaken, nandur sawah ora dadi, duwe balong iwake pada mati, banyu kali kang bengiene bisa nganggo adus, saiki lamun adus dadie gatel-gatel. Padahal wis pada di omongi tapi angger bae, yah, adate ari wong sugih kuh pada karep dewek”. (Indonesia: ya, saya bingung, orang seperti saya hidup di Indonesia khususnya Cirebon, harus banyak bersabar, harus banyak menerima. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Buktinya, seperti limbah pabrik batu, masyakat banyak yang merasa dirugikan, menanam padi tidak jadi, kolam ikan (empang) pada mati, air kali yang dulunya bias buat mandi, kini malah bikin gatel-gatel, padahal sudah dibilangin, tapi tetap saja, ya maklum kebiasaan orang kaya sesuaka hatinya sendiri saja.”
Coba bayangkan, jika kita jadi Bp. Ahmad yang kesehariannya hanya mengandalkan sawahnya, tapi masih saja kehidupan bapak Ahmad dan reken-rekan sesama petaninya terus diganggu oleh orang-orang kaya yang tidak pernah peduli akan kerusakan mental masyarakat dan kerusakan lingkungan demi rupiah. Kekacauan di setiap desa seperti ini akibat tidak tersentuh oleh para pemimpin-pemimpin daerah. Mereka yang sibuk menikmati kursi empuknya dan adanya pemerintah seolah-olah dalam hubungan sosialnya, lebih cenderung kepada orang-orang kaya saja. Sama seperti ucapan Amsar Dul Manan M.Si, salah satu pengamat Demokrasi Universitas Indonesia yang juga Dosen Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) ISIF Cirebon, menilai bahwa watak demokrasi di Indonesia adalah bagian dari kepentingan kapitalisme saja.
Rakyat hanya butuh perhatian para pemimpinnya, rakyat hanya butuh hak-haknya sebagai penguasa, karena pada hakikatnya pemerintah bukanlah penguasa, melainkan pelayan masyarakat. Sementara menurut Marzuki Wahid, salah satu peneliti persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) Yayasan Fahmina Cirebon, demokrasi adalah tawaran untuk membikin orang supaya adil oleh karenanya demokrasi adalah satu sistem yang terbaik saat ini. Jadi, ketika kita sudah sepakat mengambil keputusan untuk menjalankan sistem demokrasi, maka di situ kita semua selaku warga Negara yang baik dituntut untuk bisa berbuat adil kepada sesama manusia, dan bersama-sama saling mengisi antara rakyat dan pemimpinnya untuk memajukan Negara khususnya wilayah Cirebon sendiri. Dan untuk para pemimipin supaya bisa memberi keadilan untuk kemaslahatan rakyatnya sebagaimana yang diusung dalam cita-cita demokrasi itu sendiri.
Harapan kami sebagai rakyat, agar para Calon Walikota Cirebon ini bisa memberi komando kepada para tim suksesnya agar bisa memberi rasa nyaman kepada masyarakat Cirebon, dengan tidak adanya saling sikut antar golongan. Tidak ada adu domba antar kubu dan tidak ada permusuhan antar masing-masing pendukung. Sehingga tercipta suasana yang tentram, damai, aman dan terkendali, karena ini Negara hukum, jadi semuanya pasti ada aturan dan etika berpolitik untuk menjadikan wajah demokrasi di Negara ini semkin bersinar.
Alhasil, mudah-mudahan siapa saja yang terpilih, bisa benar-benar mendengarkan segala aspirasi rakyat, sehingga bisa menjadi teladan bagi rakyatnya. Seperti ucapan Ki Hajar Dewantara, Ing ngarso sung tulodho ing madya mangun karso dan tut wuri handayani. Artinya, di depan memberi contoh, di tengah memberi inspirasi dan di belakang mendorong. Jadi, ketika menjadi seorang pemimpin harus memberi contoh yang baik kepada rakyatnya, agar rakyat bisa meniru kebaikan kita. Dan ketika sang pemimpin berada di tengah-tengah permasalahan masyarakat, maka dia harus menjadi inspirasi bagi masyarakat tersebut. Seorang pemimpin juga harus bisa memberikan motivasi untuk rakyatnya agar terus memberikan sesuatu yang terbaik untuk daerahnya.
Itulah cerminan sang pemimpin dambaan rakyatnya, karena jika mereka sadar, pasti mereka selalu berusaha manjauhkan hal-hal yang bisa sifatnya bisa merugikan rakyatnya sendiri, dan selalu berusaha untuk mengutamakan kepentingan rakyatnya ketimbang kepentingan Partainya atau golongannya. Semoga.
*Syafrotullah adalah Mahasiswa Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.