Oleh: Muhammad Imadudin Nasution
Dalam catatan sejarah bangsa, kemerdekaan Indonesia baru diakui secara politik lewat penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat. Tepatnya pada 27 Desember 1949, atau 75 tahun yang lalu. Dengan kata lain, Revolusi Kemerdekaan telah benar-benar selesai pada 27 Desember 75 tahun silam.
Sayangnya, residu konflik multipihak yang terjadi sejak awal kemerdekaan rupanya membelokkan sejarah dengan bubarnya Republik Indonesia Serikat, tak lama setelah berakhirnya Revolusi Kemerdekaan. Pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat resmi menyerahkan seluruh kedaulatannya pada Republik Indonesia, dengan wilayah kedaulatan yang mencakup seluruh bekas negara kolonial Kerajaan Hindia Belanda.
Mengidentifikasi Konflik Awal Kemerdekaan
Di awal kemerdekaan Indonesia, tercatat adanya konflik ideologis dan primordial yang pecah di beberapa daerah. Sebagian kekuatan politik Islam yang kecewa dengan perjuangan Bung Karno dan kawan-kawan selama masa Revolusi Kemerdekaan mengadakan pemberontakan di sebagian Jawa Barat, Sulawesi, dan Sumatera. Di Madiun, terjadi konflik berdarah yang melibatkan kelompok komunis PKI dan para petani pada 1948. Peristiwa-peristiwa tersebut disusul pula oleh berbagai peristiwa seperti upaya makar Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Westerling dan Sultan Hamid II dari Pontianak.
Jika dipetakan, terdapat beberapa kelompok yang ingin menerapkan gagasan mereka masing-masing sebagai landasan negara Indonesia yang sudah merdeka. Kelompok Islam politik menghendaki terbentuknya negara Islam, sementara terdapat pula sekelompok lain yang ingin memperkuat federalisme Indonesia. Namun ke dua kelompok kepentingan ini terang-terangan telah menggunakan jalan kekerasan, yang berdampak pada meletusnya serangkaian pemberontakan hingga konflik berdarah di beberapa daerah di tanah air. Baik itu terjadi di Pulau Jawa, maupun di berbagai pulau di luar Jawa. Setelah Pemilu 1955 pun masih terdapat rangkaian pemberontakan seperti Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perhimpunan Rakyat Semesta (Permesta) di berbagai wilayah Indonesia.
Pertikaian terbuka terjadi karena kontestasi gagasan yang tidak dikelola secara bijak. Baik oleh pihak pemerintah di bawah kepemimpinan Soekarno-Hatta, maupun oleh kelompok-kelompok yang terlibat di dalamnya. Masih tingginya angka buta huruf Latin dan kuatnya dominasi otoritas lokal (misalnya otoritas keagamaan), barangkali juga ikut mempengaruhi tingginya tensi di antara berbagai kelompok yang mengusung gagasan-gagasan berbeda tentang negara Indonesia.
Tercatat setidaknya lima aliran ideologis yang terlibat dalam kontestasi politik nasional di Indonesia dalam dua dekade sejak kemerdekaan. Selain golongan Islam politik dan nasionalis sekular, terdapat pula kelompok sosialis, komunis, dan tradisionalis (Jawa) yang masing-masing memiliki satu atau lebih partai politik.
Sejak pembentukan BPUPK, representasi Islam politik tidak begitu besar. Dominasi kelompok nasionalis (terutama Jawa) dan sosialis (sosial demokrasi) cukup terlihat dalam komposisi keanggotaan BPUPK yang dibentuk dan dilantik oleh Pemerintah Pendudukan Jepang. Menurut Yudi Latif, Jepang memang lebih mempercayakan kerja menyusun pembentukan sebuah negara baru pada kalangan inteligensia Indonesia hasil didikan Barat modern. Baik dari lembaga pendidikan kolonial di Hindia Belanda, maupun dari lembaga pendidikan Eropa sendiri. Soekarno merupakan alumni Sekolah Tinggi Teknik yang kemudian menjadi ITB di Bandung, sedang Mohammad Hatta lulus dari kampus yang sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam.
Residu yang Tersisa Kini
Harus diakui bahwa Era Developmentalisme Represif Orde Baru berhasil membius sebagian besar kelompok ideologis. Nyaris tidak terdapat konflik ideologis maupun pemberontakan yang bersifat masif dan terbuka sepanjang Era Orde Baru. Dengan tangan besinya, Soeharto berhasil menjinakkan kelompok-kelompok ideologis yang bertentangan dengannya.
Namun demikian, bukan berarti kelompok-kelompok ideologis yang ada lantas terbasmi habis. Mereka cenderung mengubah strategi, ataupun mengubah sikap politik. Misalnya dari penerimaan terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Terdapat pula sebagian kelompok masyarakat yang diam-diam tetap dalam pendirian mereka yang rigid dalam memahami ajaran agama maupun ideologi mereka. Di Era Reformasi, terbukalah kembali ruang untuk adanya kontestasi gagasan secara bebas di ruang publik. Terutama sejak maraknya penggunaan media sosial dan mudahnya akses internet di Abad Digital ini.
Di kalangan elit politik, nyaris tidak terjadi lagi konflik ideologis yang bersifat terbuka. Seluruh elit politik tanah air rupanya telah sepakat dengan Pancasila dan bagaimana Piagam Jakarta telah menjiwai UUD NRI 1945. Hanya saja, ternyata pergesekan masih bisa terjadi di level akar rumput. Rakyat yang kurang terbuka pikirannya dan minim memperoleh pendidikan tinggi begitu mudah terbawa arus politik kepentingan yang membawa berbagai rupa ideologi.
Gagasan Marxis dan neo-Marxis, gagasan Pasca-Islamisme, Khilafah, hingga pemanfaatan nilai-nilai kearifan lokal kedaerahan; semuanya telah digunakan oleh elit politik nasional untuk meraup suara dan memperoleh kekuasaan. Penggunaan isu agama, etnisitas, dan budaya lokal untuk kepentingan politik kekuasaan makin marak dilakukan dari satu pemilu ke pemilu. Hampir tidak ada pemilu (termasuk pemilihan kepala daerah) yang bebas dari pemanfaatan politik identitas.
Dilihat dari latar belakangnya, konflik politik identitas hari ini berbeda jauh dari konflik ideologis yang terjadi sampai meletusnya G30S/PKI pada 1965 silam. Terutama bila kita menilik kembali perseteruan antara PKI dan Masjumi dulu, lalu dibandingkan dengan kontestasi politik hari ini. Apa yang dilakukan oleh partai-partai terbuka berasas Pancasila, seperti PDIP, Partai Demokrat, Gerindra, dan Golkar, masih memiliki kemiripan dengan pemanfaatan politik identitas yang dilakukan oleh partai-partai seperti PAN, PKB, PKS, dan PPP. Hampir tidak ada bedanya.
Pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1967), kebanyakan partai politik masih mengusung gagasan tersendiri mengenai dasar negara, seperti Islam dan sosial demokrasi. Namun hari ini, semua partai politik dan elitnya justru berkutat pada suksesi kepemimpinan politik, kekuasaan, dan pemanfaatan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Melihat ke Depan: Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka
Di Era Reformasi, politik dipenuhi dengan intrik kekuasaan, tindak korupsi, hingga praktik politik uang dan oligarki. Dalam pemilihan kepala daerah, bisa terjadi seluruh kandidat menjalankan aksi politik uang secara terstruktur, sistematis dan masif. Bahkan di beberapa daerah, terdapat pertarungan antar keluarga besar untuk memperoleh kekuasaan di level pemerintahan daerah. Mereka telah berubah menjadi sekumpulan raja kecil yang berpotensi meluaskan sayap kekuasaannya ke level politik nasional. Ideologi politik telah kehilangan maknanya. Gagasan telah tersingkir dari kontestasi politik tanah air.
Politik dinasti menyuburkan oligarki dan memperlebar kesenjangan sosial di seluruh pelosok negeri. Elit politik tidak jarang berubah dari baik menjadi jahat, karena budaya organisasi negara yang sudah terstruktur ke arah koruptif. Dari pemilu ke pemilu, kualitas demokrasi justru semakin buruk saja. Nyaris tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik.
Tahun 2025 mendatang adalah 20 tahun menuju seabad kemerdekaan Indonesia. Rakyat bertanya-tanya: seperti apakah Indonesia di usianya yang ke-100 nanti? Melihat perkembangan sosial, politik, dan ekonomi, sepertinya bangsa kita sedang menuju sebuah bangsa yang terbelah. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin tidak dapat lagi diatasi. Elit politik akan terlalu fokus pada urusan makro yang berpotensi meninggalkan rakyat jelata di belakang.
Hari ini, populisme Islam masih terlihat nyata. Demikian pula dengan populisme nasionalis dan tradisionalis. Partai-partai terus mengklaim dirinya sebagai partai wong cilik, tanpa aksi nyata di tingkat legislasi dan regulasi. Anggota parlemen (MPR/DPD/DPR) lebih memilih bersembunyi di balik meja dan di atas kursi empuk Senayan. Bukan menyambangi kelompok masyarakat yang berpanas-panasan menyuarakan aspirasi mereka. Kedekatan elit politik dengan rakyat hanya sebatas pemanis bibir dan pajangan di masa pemilu.
Bagaimana dengan kebebasan beragama, pluralisme, dan perlindungan kelompok rentan? Sampai hari ini wacana toleransi dan pluralisme masih sebatas bersifat seremonial. Seolah jika sudah mengucapkan selamat hari raya agama yang berbeda, lantas sudah disebut toleran ataupun pluralis. Pluralisme seolah harus diperlihatkan dalam bentuk ekspresi keberagamaan dan ritualitas, alih-alih spiritualitas dan kohesi sosial.
Keberagaman budaya, etnis, agama, dan gagasan dibatasi pada apa yang dapat menarik perhatian global. Sebatas tontonan seremonial yang tidak cukup besar dampaknya bagi pembangunan daerah. Berharganya kearifan lokal belum bisa memberi dampak signifikan pada ketersediaan sarana dan prasarana publik, maupun pemenuhan hak warga negara secara utuh. Misalnya untuk memperoleh pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan transportasi publik yang berkualitas secara adil dan merata.
Ketimpangan nyaris dianggap biasa, bahkan di dunia pendidikan, pelayanan medis, hingga transportasi publik. Padahal seharusnya, kebinekaan dapat mempersatukan seluruh komponen bangsa, untuk kemudian mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. []