Oleh: Zaenal Abidin
Gedung Negara Cirebon menjadi saksi momen bersejarah pada Rabu, 11 Desember 2024, saat Panggung Kolaborasi puncak peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan berlangsung. Acara ini tidak hanya menjadi ajang sosialisasi terkait anti kekerasan terhadap perempuan, tetapi juga menyuguhkan talkshow inspiratif yang mengupas isu-isu aktual tentang keberagaman agama dan keyakinan, serta tantangan generasi muda dalam merawat toleransi.
Dalam acara ini, narasumber yang hadir merupakan alumni Sekolah Agama dan Kepercayaan (SAK) angkatan pertama yang digelar beberpa waktu lalu. Diantaranya Catur Widyaningsing yang merupakan Penyuluh Agama Buddha, Kevin Gevandes Pemuda Katolik, Brian Putra Pemuda Muslim, dan Tutiah Pemudi Katolik sekaligus masyarakat adat Sunda Wiwitan. Mereka berbagi pengalaman dan pandangan mereka tentang pentingnya keberagaman dalam kehidupan beragama, serta tantangan yang mereka hadapi dalam membangun hubungan antar umat beragama.
Kevin Gevandes menyoroti masalah penolakan terhadap kebebasan beragama yang masih terjadi di beberapa daerah, seperti penolakan misa Natal di Jakarta dan pendirian gereja di Cirebon. Ia menyatakan bahwa generasi muda harus lebih berani terlibat dalam isu ini, karena mereka akan menjadi pemegang estafet kepemimpinan bangsa di masa depan.
Sementara itu, Catur Widyaningsing menambahkan bahwa perbedaan dalam agama tidak seharusnya menjadi penghalang untuk hidup rukun. Keberagaman harus dilihat sebagai sebuah anugerah, yang membawa kedamaian jika dipahami dengan bijak.
Pentingnya saling memahami dan berinteraksi langsung dengan penganut agama lain juga disampaikan oleh Brian Putra. Ia bercerita tentang pengalamannya berinteraksi dengan teman-teman dari agama lain melalui program SAK, yang mengajaknya mengunjungi tujuh tempat ibadah. Dengan berkenalan langsung, ia menyadari bahwa perbedaan agama tidak menghalangi hubungan manusiawi yang penuh kasih dan saling menghargai.
“Agama mana pun mengajarkan untuk tidak membenci. Tuhan menciptakan kita berbeda, tapi tujuannya satu: untuk saling mencintai,” ujar Brian.
Tutiah juga menceritakan pengalamannya sebagai pemudi Katolik yang aktif dalam komunitas Sunda Wiwitan. Ia berharap bahwa isu keberagaman terus berkembang dan menjadi agenda utama di kalangan anak muda.
“Toleransi adalah kunci. Kami harus bergerak bersama untuk kerukunan umat beragama,” kata Tutiah.
Salah satu tema penting yang dibahas dalam talkshow ini adalah kekerasan terhadap perempuan, yang sering kali dipicu oleh perbedaan agama dan keyakinan. Catur menegaskan bahwa agama tidak seharusnya digunakan untuk merendahkan perempuan.
“Kekerasan terhadap perempuan sering dimulai dari pacaran. Kita harus bisa membedakan cinta sejati dari kontrol yang merugikan,” ujarnya.
Sementar Brian menambahkan bahwa penting bagi generasi muda untuk memahami konteks dalam ajaran agama, agar tidak terjebak pada tafsiran yang menyudutkan perempuan.
Kevin juga menekankan bahwa dalam agama Katolik, perempuan dihargai setara dengan laki-laki, sebagaimana terlihat dalam kisah Bunda Maria yang mendampingi Yesus. Menurutnya, agama harus mengajarkan saling menghormati, bukan saling merendahkan.
Di akhir acara, Komala Dewi mengingatkan pentingnya menjaga kembali nilai-nilai keberagaman di Cirebon, yang dikenal dengan nama “Caruban” (beraneka ragam).
“Keberagaman adalah aset kita. Kita harus terus merawatnya agar Cirebon tetap menjadi tempat yang rukun dan damai,” pungkasDewi.
Sebagai simbol penghargaan atas kolaborasi dan komitmen terhadap keberagaman, acara ini juga dilanjutkan dengan pembagian plakat kepada tujuh rumah ibadah yang telah berperan aktif dalam rangkaian kegiatan SAK (Sekolah Agama dan Kepercayaan). Dengan demikian, acara ini menegaskan pentingnya dialog dan kerja sama antar umat beragama dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan toleran. []