Fahmina institute Cirebon, pada tanggal 22 April 2007 menggelar diskusi sebagai refleksi peringatan hari Kartini yang bertajuk “Emansipasi sebagai Wujud Kebangkitan Perempuan untuk Meraih Kepemimpinan dalam Politik”. Diskusi mengambil tempat di ruang perpustakaan Baytul-Hikmah Fahmina Institute. Agenda tersebut dihadiri sejumlah aktifis perempuan, Organisasi Perempuan Kota dan Kabupaten Cirebon serta anggota legislatif perempuan Kabupaten Cirebon.
Dalam diskusi kali ini mencoba mengeksplorasikan berbagai macam persoalan perempuan serta pengalaman-pengalaman perempuan. Beberapa berpendapat bahwa budaya patriarkhi masih menjadi penghalang bagi kemajuan perempuan. Masih banyak perempuan yang berpendidikan rendah dan termarginalkan. Perempuan hanya di posisikan pada wilayah domestic. Hal ini merupakan factor penyebab masih sedikitnya perempuan yang mau berkiprah dalam politik. Kalau mau jujur, sebenarnya setiap manusia dilahirkan menjadi seorang poitikus. Namun politik sudah mengalami penyempitan makna, karena politik masih dianggap sebagai dunianya laki-laki. Namun tidak seperti yang dikatakan oleh salah satu anggota legislatif perempuan Kabupaten Cirebon bahwa “sebenarnya semua aktifitas dalam kehidupan bermakna politik dan tidak ada kelebihan laki-laki atas perempuan untuk membangun ummat.
Diskusi semakin menarik ketika pengalaman-pengalaman perempuan diungkapkan satu persatu, dimana perjuangan perempuan untuk menapaki tangga keberhasilan tidaklah gampang. Sampai muncul pernyataan, bahwa “ternyata menjadi perempuan itu lebih capek daripada laki-laki”. Begitu juga perempuan ketika terjun ke dunia politik, Ia harus berhadapan dengan laki-laki, dan tidak jarang juga mendapatkan kekerasan psikhis. Sehingga mental yang kuat menjadi modal utama bagi perempuan. Tugas kita bersama adalah mengubah persepsi masyarakat bahwa sebenarnya politik itu santun. Quota 30 % sebagai affirmative action dinilai kurang efektif apabila tidak didukung dengan peningkatan kualitas perempuan. Sehingga perempuan harus benar-benar membuktikan bahwa dia mampu.
Untuk membangun kebersamaan ke depan perlu adanya pendidikan politik untuk menyamakan persepsi antara perempuan dan laki-laki. Dan bagaimana strategi ke depan untuk melibatkan kelompok laki-laki dalam setiap kegiatan baik yang bersifat kesadaran maupun action. Akhir diskusi dicapai satu kesepakatan bahwa suara perempuan harus bersatu untuk mengusung calon kepala daerah yang mempunyai komitmen memperjuangkan hak-hak dan martabat perempuan. []