Senin, 23 Desember 2024

Relasi Tauhid dan Kesetaraan Gender

Oleh Hilyatul Aulia

Baca Juga

Tuntutan kesetaraan yang banyak disuarakan oleh gerakan feminis  bukan bertujuan untuk menindas kaum laki-laki, namun kesetaraan ditujukan agar laki-laki dan perempuan dapat bekerjasama untuk menciptakan kehidupan yang lebih harmonis.

Bahwa Tauhid tidak hanya mengurusi zona vertikal saja, yaitu hubungan makhluq dengan Sang Khaliq (Hablun min Allah) namun merambahi zona horizontal juga, yaitu hubungan makhluk dengan sesama makhluk (Hablun min an-nas). Tauhid tidak hanya sekadar yakin akan ke-Esaan Allah SWT, namun juga ketaatan dan kepatuhan total terhadap segala petintahNya juga kesadaran untuk menjauhi laranganNya (Musdah Mulia-Dawrah Fiqih Perempuan).

Ketika pengakuan dan ketaatan terhadap Ke-Esaan dan ke Maha Tunggalan Allah SWT telah  terimplementasikan secara nyata, akan ada kesadaran bahwa selain Allah  semuanya sama dan setara, bahwa selain Allah tidak ada yang patut dijadikan Tuhan. Maka tak layak jika pemimpin, harta, jabatan dan sifat duniawi lainnya dijunjung tinggi dan dipertuhankan.

Prinsip kesetaraan menuntut adanya keadilan dalam setiap tatanan kehidupan baik sosial, politik, ekonomi maupun pendidikan.

Pemahaman seperti ini menimbulkan adanya prinsip kesetaraan dalam relasi kehidupan antar sesama manusia, dimana di hadapan Allah semua manusia mempunyai kedudukan yang sama, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan. Semua manusia mempunyai fungsi yang sama dalam menjalankan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini.

Prinsip kesetaraan menuntut adanya keadilan dalam setiap tatanan kehidupan baik sosial, politik, ekonomi maupun pendidikan. Namun pada kenyataanya banyak terjadi ketimpangan dalam relasi kehidupan, terutama dalam relasi kehidupan laki-laki dan perempuan. Seringkali perempuan dijadikan makhluk subordinasi dan marjinalisasi. Hal ini disebabkan oleh pandangan umum yang berpendapat bahwa perempuan itu lemah dan mempunyai kemampuan lebih rendah dibandingakan laki-laki.

Padahal pada kenyataannya, banyak kaum perempuan yang dianugerahi kemampuan lebih dan mampu berdiri sebagai pemimpin. Adanya ketidakseimbangan dalam relasi laki-laki dan perempuan lebih banyak disebabkan oleh lingkungan yang tidak memberikan banyak peluang dan wadah bagi perempuan untuk tampil dan berkarya di depan publik.

Dalam dimensi sosial, perempuan seringkali dibatasi ruang geraknya. Bahkan doktrin agama yang didasari oleh pemahaman yang tidak sesuai dengan konteks masyarakat masa kini, yang bersumber dari tradisi, membuat perempuan terasingkan di dalam rumah. Seolah-olah menjadi sebuah aib yang besar jika perempuan berjibaku di dunia luar secara berlebihan dan menempati bidang yang pada umumnya ditempati oleh kaum laki-laki. Padahal, itu merupakan hak semua manusia, begitu pun kaum perempuan, mereka seharusnya mempunya banyak peluang untuk berkarya dan berkarir demi menunjang kehidupan mereka sendiri.

Ajaran agama yang mendroktrin kewajiban nafkah yang dibebankan kepada suami menyebabkan para istri tidak dibebaskan untuk memandang dunia luar. Tradisi yang menjadikan dapur, sumur dan kasur sebagai zona wajib bagi para istri membuat mereka tak dapat bergerak bebas untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Padahal dapat dijadikan sebuah keteladanan ketika istri berkarir di luar rumah bekerjasama dengan suami mensejahterakan ekonomi keluarga. Hal ini juga dapat menjadikan isrti lebih mandiri dan dapat meringankan beban suami, sehingga menciptakan sebuah kemaslahatan dalam kehidupan berkeluarga.

Perempuan juga layak untuk menduduki jabatan politik. Banyak diantara mereka yang memiliki jiwa kepemimpinan. Salah satu fungsinya yaitu untuk menyampaikan suara kaum perempuan. Karena rakyat tidak hanya terdiri dari laki-laki, namun juga perempuan. Perempuan lah yang lebih banyak merasakan ketidakadilan dan ketertindasan. Namun seringkali suara dan aspirasi perempuan tidak didengar oleh para pemimpin karena mereka masih dianggap sebagai makhuluk terpinggirkan. Maka perlu adanya perwakilan dari kaum perempuan untuk menduduki kursi politik agar suara dan aspirasi mereka didengar dan dihargai. Sehingga keadilan dapat terjunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat.

Masyarakat pun butuh terhadap perempuan yang memiliki daya intelektual yang mumpuni, karena banyak masalah tentang perempuan hanya dapat difahami oleh perempuan itu sendiri.

“Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.” Kutipan ini sudah menjadi hal yang sangat maklum, karena memang benar, ibu adalah orang pertama yang mengajarkan banyak hal kepada buah hatinya dari bayi hingga dewasa. Ibu adalah orang yang paling dekat dan paling mengerti dengan kebutuhan buah hatinya. Agar melahirkan generasi yang cerdas, seorang ibu juga harus cerdas. Cerdas dalam hal ini tidak hanya dalam aspek emosional dan spiritual saja, yang dapat terpenuhi melalui pendidikan non formal, namun juga cerdas cecara intelektual. Perempuan yang memiliki wawasan luas akan lebih kreatif dalam mengatur kehidupan pribadi dan keluarganya.

Perempuan yang memiliki pengetahuan yang luas akan lebih cepat mengatasi masalah pribadi dan keluarganya. Karena itu, perempuan pun berhak untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Perempuan harusnya mempunyai peluang yang luas untuk berpendidikan. Masyarakat pun butuh terhadap perempuan yang memiliki daya intelektual yang mumpuni, karena banyak masalah tentang perempuan hanya dapat difahami oleh perempuan itu sendiri. Dengan banyaknya perempuan cerdas dalam masyarakat, akan melahirkan generasi-generasi penerus bangsa yang lebih cerdas.

Oleh karena itu, kesetaraan merupakan dasar dalam relasi kehidupan antara laki-laki dan perempua. Karena kesetaraan akan menciptakan keadilan dan menciptakan kemaslahatan dalam kehidupan. Dan pada aplikasinya, harus ada prinsip kesalingan, dimana diantara keduanya harus ada kesadaran untuk saling menghargai,  mencintai dan menghormati. Tuntutan kesetaraan yang banyak disuarakan oleh gerakan feminis  bukan bertujuan untuk menindas kaum laki-laki, namun kesetaraan ditujukan agar laki-laki dan perempuan dapat bekerjasama untuk menciptakan kehidupan yang lebih harmonis.

Ini merupakan hakikat ketauhidan yang sesungguhnya. Kehidupan yang adil merupakan perwujudan dari keadilan Allah SWT. Karena Allah Maha Adil, Dia tidak mungin berbuat dzalim kepada makhlukNya. Agama pun turun dengan membawa banyak keadilan. Al-Qur’an pun adil, hanya saja, penafsiaran manusia terhadap ayat-ayatnya saja yang terkadang menimbulkan ketimpangan, maka perlu adanya penafsiran baru yang sesuai dengan realita masa kini terhadap ayat-ayat Al-Qur’an agar keadilannya dapat terwujudkan sepanjang zaman. Kini, tugas kita sebagai umat Rasulullah saw, adalah meneruskan risalah beliau yang penuh dengan keadilan dan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya