DI bulan Ramadan, umat Islam akan menjumpai satu malam yang berisi banyak keutamaan. Jika beramal di dalamnya, akan mendapat kebaikan melebihi kebaikan seribu bulan.
Malam itu disebut “Lailatul Qadar”. Setiap muslim pasti berharap menjumpainya. Rasulullah SAW bersabda: “Inilah sebenarnya puncak pahala yang diberikan Allah SWT di bulan Ramadan kepada mereka yang dengan ikhlas menjalankan ibadah puasa”.
Namun Lailatul Qadar tetap misterius. Umat Islam harus mampu menguak kemisteriusan ini dalam konteks sosial yang lebih dekat. Sebab tidak ada yang mengetahui secara pasti penentuan waktu, tempat, dan karakteristik orang yang mendapatkannya, kecuali Allah SWT. Nabi hanya memberi informasi umum, Lailatul Qadar turun pada malam ganjil di antara sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadan.
Dengan kemisteriusan inilah, di kalangan umat Islam yang pemahaman agamanya minim, kerap berkembang mitos-mitos yang tidak bersumber pada ajaran Islam.
Misalnya, bila malam Lailatul Qadar hadir, maka semua air membeku, angin berhenti bertiup, iklim sejuk dan cuaca malam itu tenang. Padahal, ciri-ciri itu tidak ada sumber dalam ajaran Islam. Mestinya, sebagai muslim, kita tidak perlu menafsir dengan kategori-kategori fisik terhadap hal-hal yang bersifat metafisik.
Yang pasti, Lailatul Qadar adalah malam kemuliaan. Barangsiapa melakukan ibadah di malam itu, maka ia mendapat kebajikan melebihi 1.000 bulan, seperti yang dijanjikan dalam Alquran, Surat Al-Qodr, ayat 1-5.
Menurut M Quraish Shihab (2003), terhadap Lailatul Qadar manusia tidak dapat membayangkan betapa mulianya. Lailatul Qadar dilukiskan sebagai keselamatan dan kedamaian bagi yang mendapatkannya sampai terbitnya fajar. Ini menjadikan hati orang itu selalu damai dan tenteram sehingga mengantar dari ragu kepada yakin, dari kebodohan kepada ilmu, dari lalai kepada ingat, dari khianat kepada amanat, dari riya kepada ikhlas, dari lemah kepada teguh, dari sombong kepada tahu diri, dan dari pelit kepada dermawan.
Uzlah
Malam ke berapa Lailatul Qadar hadir, tidak ada yang tahu. Hanya Tuhan yang tahu. Salah satu riwayat menyebut ia hadir pada tanggal-tanggal ganjil: 21, 23, 25, 27, atau 29 di bulan Ramadan. Oleh karena itu, mulai malam 21 Ramadan, di beberapa daerah di Indonesia ada tradisi berzikir (dalam istilah Jawa: selikuran). Harapannya, agar mendapat “malam utama” itu.
Nabi mencontohkan senantiasa melakukan i’tikaf di masjid di setiap malam itu. Hadis yang dikutip dari Ibnu Umar menyebutkan: “Adalah Rasulullah ber-i’tikaf (berdiam/berzikir di masjid) pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan.” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).
Masjid adalah tempat yang paling suci dan yang sangat pantas untuk menantikan Lailatul Qadar. Di samping itu, kita mesti menyadari, untuk mencapai pengajaran langsung dari Tuhan, diperlukan proses penyucian qalbu dari segala hawa nafsu.
Menurut Imam Al-Ghazali, untuk memperoleh kejernihan diri, orang perlu melakukan pengasingan diri (‘uzlah). Harapannya adalah dia akan mampu merenung tentang diri dan masyarakatnya secara jujur.
Dalam konteks kehidupan modern sekarang, ‘uzlah dan i’tikaf tidak dapat hanya dimaknai secara harfiah: mengasingkan diri. Sebab jika itu dilakukan, maka kita akan dinilai sebagai orang yang menjauhi kenyataan, lari dari tanggungjawab dalam mengatasi problem sosial.
Ketika problem sosial semakin meningkat, seperti kemiskinan, anak-anak putus sekolah, jumlah pengangguran yang bertambah, maka umat Islam harus menafsirkan ‘uzlah di malam Lailatul Qadar dengan ibadah konkret yang dapat dirasakan langsung oleh sesama umat manusia.
Kepedulian sosial merupakan satu perwujudan dari keimanan. Bagi mereka yang sedang diberi amanah berupa kekuasaan, hendaklah lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dengan upaya semakin memperhatikan nasib dan kepentingan rakyat. Rakyat harus didekati untuk mengetahui lebih jauh tentang keinginan mereka.
Bagi mereka yang mempunyai kelebihan harta, maka bersedekahlah kepada mereka yang menbutuhkan. Pesan sosial ini juga tersirat dalam perintah mengeluarkan zakat fitrah, berupa 2,5 kilogram beras/makanan pokok sebagai penyempurna puasa.
Bagi mereka yang diberi kelebihan ilmu, maka transformasikanlah untuk mereka yang tidak/putus sekolah.
Religiusitas sosial Lailatul Qadar seperti itu hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mereka yang mempunyai kekuasaan, harta, dan ilmu pengetahuan.[]
-Kholilul Rohman Ahmad, sarjana Filsafat Islam IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Sumber: www.suaramerdeka.com