Hingga kini, perempuan masih dihinggapi berbagai problematika yang menyelimuti mereka. Dalam berbagai hal misalnya tingkat pendidikan dan angka partisipasi perempuan selalu jauh lebih rendah dari laki-laki. Juga dalam banyak hal, perempuan masih mendapatkan perlakuan marjinal dan diskriminatif, termasuk dalam pandangan budaya dan Agama. Benarkah Agama memarjinalkan perempuan? Lalu apa sebenarnya pandangan agama dalam melihat persoalan itu?
Ungkapan-ungkapan itu muncul dalam dialog perempuan Islam-Kristen di Hotel Asri Crebon, 9-10 Mei 2005. pertemuan itu dihadiri sekitar 60-an tokoh perempuan Islam dan Kristen, yang terdiri dari para Nyai Pondok Pesantren, Pendeta, akademisi, tokoh organisasi keagamaan perempuan dan para aktivis perempuan dari berbagai daerah di Jawa Barat.
Indriani Bone, seorang pendeta asal Bandarlampung yang didaulat berbicara sebagai narasumber dalam forum itu tidak menampik bahwa perempuan memang memiliki banyak problem baik dalam rumah tangga maupun dalam ajaran agama Kristen yang selama ini diajarkan. Di gereja misalnya, meski tingkat keaktifan ibadah perempuan sangat tinggi, namun dalam struktural gereja jarang sekali perempuan dimunculkan. Dan tidak jarang marjinalitas perempuan dilegitimasi oleh tokoh agama dengan menggunakan teks suci. Bagi KH Husein Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Dar al Tauhid Arjawinangun Cirebon yang juga narasumber dalam forum itu, Agama hadir untuk kebaikan semua, tidak hanya laki-laki. Dalam Islam, banyak teks Al Quran yang secara jelas menyatakan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Masalahnya kemudian teks-teks itu ditafsirkan oleh laki-laki tanpa pespektif kesetaraaan, hingga kemudian muncul tafsir yang bias gender. Itulah makanya, menurut KH Husein kini diperlukan tafsir agama yang adil gender. Dikemukakan juga oleh Indriani, dalam Kristen sekarang muncul wacana “Membaca Alkitab dengan Mata Baru”, yang berarti membaca Al kitab dengan adil gender.
Pertemuan berlangsung dengan hangat, setiap selesai paparan narasumber, dihangatkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang cukup kritis. Pertanyan-pertanyaan itu tidak saja tentang wacana perempuan, tetapi juga tentang banyak hal lain, seperti pandangan-pandangan agama lain yang belum diketahui. Pendek kata, banyak juga pertanyaan-pertanyaan yang bernuansa keingintahuan terhadap agama lain. Contoh yang menarik adalah tentang kecurigaan adanya Kristenisasi di kalangan Islam, yang ternyata di kalangan Kristen juga muncul kecurigaan adanya Islamisasi. Para pesertapun sepakat, bahwa memaksakan agama kepada orang lain adalah tidak pada tempatnya.
Malam hari, dilakukan diskusi kelompok. Setiap kelompok terdiri dari perempuan Islam dan Kristen untuk membicarakan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Merajut dan mempererat persaudaraan kemanusiaan dan menghargai perbedaan adalah salah satu hal yang muncul dalam pembicaraan kelompok. Muncul juga kesadaran untuk bersama-sama meminimalisir budaya patriarki dan melakukan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan. Diantara rekomendasi yang muncul dari diskusi kelompok itu antara lain membentuk women crisis centre yang dikelola oleh GKP.
Keesokan harinya, para peserta melakukan kunjungan ke Women Crisis Centre (WCC) Mawar Balqis di Pondok Pesantren Dar Al Tauhid Arjawinangun pimpinan Nyai Lilik Nihayah Fuady. Di sana mereka menggali banyak pengetahuan tentang penanganan dan pendampingan korban kekerasan. Nampak sekali antusiasme dan kekaguman mereka, bahwa pesantren mampu mengelola lembaga yang sangat peka terhadap penderitaan sesama. Pertemuan tersebut berlangsung hingga siang hari. Setelah menikmati makanan khas Cirebon Tahu Gejrot dan Nasi Jamblang, peserta meneruskan perjalanan dengan melakukan kunjungan ke Pondok Pesantren Al Kautsar Babakan Ciwaringin Cirebon asuhan Nyai Hamidah Masduqi Ali. Mereka meihat dari dekat bagaimana para santri menjalani kehidupan keseharian mereka di pesantren.
Nuansa persaudaraan antaragama begitu terasa dalam forum itu. Bagaimana kalau Nyai menginap satu kamar dengan pendeta perempuan? Wah asyik juga ternyata. []