Senin, 30 Desember 2024

Sebuah Perjuangan Hidup, Dibalik Minimnya Perlindungan

Baca Juga

Setelah sang suami menghilang dan tidak diketahui keberadannya, Titi Siswanti, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal kabupaten Brebes, kini menjadi tulang punggung kehidupan keluarga. Untuk memenuhi kebutuh­an sehari-hari dan membesarkan kedua orang anak yang kini sudah mulai memasuki usia SD serta kelas 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, bukan merupakan tugas yang mudah bagi seorang single parent berlatar belakang pendidik­an SLTP.

Keputusannya untuk bekerja keluar negeri hadir bukan karena paksaan orang lain. Melainkan dorongan atas kondisi dan keinginan kuat, untuk merubah nasib menuju kondisi ekonomi yang lebih baik.

Keberangkatannya kali ini merupa­kan keempat kalinya setelah sebelumnya ia bekerja sebagai TKI di negara Malaysia, Oman dan Kuwait. Pengalamannya bekerja di luar negeri  tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, mendapatkan majikan yang baik, gaji lancar, dan semua kebutuhan tercukupi. Apa yang dialami Titi justru lebih banyak penderitaan yang menghiasi hari-harinya selama bekerja di luar negeri.

Ketika bekerja di Malaysia, ia diberangkatkan melalui jalur darat di wilayah Kalimantan perbatasan dengan wilayah Kuching. Sementara ketika bekerja di negara Oman, ia sempat terjatuh dari lantai II sehingga terpaksa dipulangkan sebelum kontrak kerja selesai. Begitu pula ketika di negara Kuwait, ia tidak luput dari siksaan majikan di mana ia bekerja.

Derita “Pahlawan Devisa” meru­pakan sebuah kisah nyata yang tidak pernah akan ada habisnya bila dikisahkan. Fenomena tersebut sangat dekat dan berada di sekitar kita. Namun masih banyak pihak yang sengaja tutup mata dengan penderitaan mereka, padahal mereka dan kita adalah sama; “Warga Negara Indonesia”. Realitas tersebut sangat mungkin akan terjadi lagi dikemudian hari, jika pemerintah tidak segera membenahi sistem untuk melindungi warga negaranya.

Perlindungan Berorientasi Pencegahan

Apa yang dilakukan Titi dengan bekerja ke luar negeri adalah bagian dari upaya yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW agar bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Begitupun Firman Allah SWT dalam surat al-A’raf ayat 10 yang berbunyi; “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan” (Q.S. al-A’raf: 10).

Dalam pandangan Islam, mendapat­kan pekerjaan itu adalah hak setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Meski dalam ba­nyak ayat al-Qur’ân dan al-Hadîst anjuran be­ker­ja hanya ditujukan kepada laki-laki, tetapi tidak mungkin suatu anjuran baik hanya diperuntukkan laki-laki. Jika tidak ada penegasan yang khusus, maka anjuran itu diperuntukkan laki-laki dan perempuan sekaligus. Karena bekerja mencari penghidupan itu bagian dari amal saleh, sebagaimana ditegaskan al-Qur`an, maka tak dibedakan antara laki-laki dan perempuan untuk bekerja.

Pemerintah dalam hal ini adalah berkewajiban melakukan perlindungan terhadap warga negaranya. Namun realitasnya masih belum maksimal. Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan kebebasan memilih pekerjaan pada dasarnya dilindungi UUD 1945 dan sudah dijamin dalam konstitusi kita, Pasal 27 Ayat 2, bahwa, “Setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pengaturan lebih lanjut diatur melalui UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan Keputusan Presiden R.I Nomor 36 tahun 2002 tentang Ratifikasi Konvensi ILO.

Perlindungan TKI adalah segenap upaya yang dilakukan untuk melin­dungi calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuh­an hak, sesuai dengan peraturan perundang-undang­an. Baik sebelum berangkat, selama bekerja maupun sesudah bekerja.

Upaya perlin­dungan hendaknya dilakukan mulai dari proses awal di daerah, meng­ingat beberapa alasan di antaranya; pertama, daerah lebih mengetahui keadaan dan kebutuhan dasar calon TKI dan keluarganya karena mereka adalah warga daerah tersebut. Kedua, permasalahan dalam persiapan keberangkatan muncul dari daerah tersebut seperti pemalsuan dokumen, umur dan kurangnya informasi akurat yang diterima calon TKI. Ketiga, jika terjadi permasalahan maka pihak yang langsung menanggung masalah adalah keluarga TKI yang tinggal di daerah tersebut. Keempat, perekrutan CTKI tidak berdiri sendiri, ada pihak lain seperti sponsor atau kantor cabang PPTKIS yang melakukan perekrut­an di lapangan.

Dalam hal ini, daerah memiliki kedudukan sangat penting dan strategis dalam mempercepat pembenahan kinerja pembinaan, penempatan dan perlindungan TKI sampai ke tingkat yang paling bawah dan paling dekat dengan TKI. Karena pada dasarnya masalah/kasus-kasus yang dihadapi oleh TKI di luar negeri  berawal dari proses rekrutmen di lapangan.

Selama ini perlindungan TKI selalu berkonsentrasi pada pusat kekuasaan saja, sehingga tidak menyentuh persoalan dasarnya, oleh karenanya mari kita menggeser perspektif perlindungan, dari perlindungan yang berorientasi pada penanganan kasus TKI di luar negeri, menuju ke perlindungan yang lebih berorientasi pada pencegahan/pengurangan terjadinya kasus. Dengan demikian maka perlindungan dapat dilakukan lebih dini, mulai dari tingkat yang kecil.

Mewujudkan TKI yang bermartabat dan sejahtera, merupakan amanat konsitusi yang harus segera dilaksanakan. Mengingat gelar “pahlawan devisa” yang selama ini melekat tidak akan berarti apa-apa, selama sisi perlindungannya masih jauh dari harapan.[]

*) Agus Supriyanto adalah Pemerhati masalah buruh migran, tinggal di Brebes.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

FKUB Kab. Cirebon Berikan SK untuk 10 Kecamatan Penggerak Moderasi

Oleh: Zaenal Abidin Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Cirebon berikan Surat Keputusan bagi 10 Kecamatan Penggerak Moderasi. SK ini...

Populer

Artikel Lainnya