Senin, 25 November 2024

'Semangat Garuda' Buruh Migran di Singapura

Baca Juga

Ditha Purnama (35 tahun) asal Ciamis, Jawa Barat, ketika bekerja di Singapura dia mendapatkan gaji 250 dollar Singapura per bulan. Pada tahun ketujuh (2008) di Singapura, gaji bulanan Ditha mencapai 450 dollar Singapura (sekitar Rp 3 juta). Meskipun sebagai pekerja rumah tangga (PRT), Dhita tidak ingin terbelakang.
 
Di sela-sela tugasnya sebagai PRT keluarga asal Swedia, Dhita mengambil kursus komputer dan manajemen bisnis, serta menjalankan bisnis multilevel marketing.
 
Dari uang yang dikirim kepada orang tuanya di Indonesia, Dhita sudah memiliki investasi mesin penggiling padi seharga Rp 70 juta. Usaha penggilingan padi yang dijalankan oleh orang tuanya mampu menghasilkan pemasukan Rp 2 juta sampai 2,5 juta per ulan untuk keluarganya.
 
Sekarang, Dhita kembali mengumpulkan modal puluhan juta rupiah untuk mewujudkan cafe internet sewaktu dia pulang kampung kelak. Kita bisa melihat secara seksama, bahwa kesuksesan yang tercermin dari buruh migran tadi karena dia memiliki samangat “Garuda”. Yakni wujud nyata dari usaha-usaha mengembalikan Garuda Indonesia yang terus mengerdil, hingga menjadi burung emprit agar bisa tumbuh membesar kembali sebagai garuda sejati. Sehingga apa yang terjadi pada sementara orang sebagai buruh migran di luar negeri, bukan untuk selamanya menjadi buruh, namun untuk kelak di kemudian hari bisa menjadi sebagai pemilik buruh.
 
Pada tahun 2000 saat bersama majikan asal Swiss, dia bisa belajar komputer di Institut Informatika Singapura selama 1,5 tahun. Atas usaha dan semangat untuk menempa diri, pada tahun 2008 Sumarni diperkenalkan dan diumumkan sebagai Ketua Himpunan Penata Laksana Rumah Tangga di Singapura (HPLRTIS), suatu wadah komunitas pekerja rumah tangga di Singapura dari lebih 10.000 buruh migran di Singapura dengan para pejabat setempat.
 
Bekerja dan Menempa Diri
 
Ruang-ruang kesempatan untuk menempa diri selama menjalankan kontrak kerja di luar negeri, merupakan kesempatan emas yang perlu diisi dengan aktivitas yang terbaik. Yaitu bagaimana memanfaatkan waktu dan situasi yang sama, namun engan hasil yang lebih. Niat yang dibangun ketika menjadi buruh migran bukan hanya soal mencari d a n mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan makan harian.

Banyak yang bisa diraih dari sekadar akumulasi (terkumpulnya) materi-materi, harta dan benda. Di antaranya akumulasi modal, pengetahuan, jalinan hubungan yang luas, dan keahlian yang terus meningkat, serta akumulasi generasi, karena landasan pijak untuk semua laku ialah ketepatan menjalani niat.

Seperti difirmankan Allah SWT dalam surat Asyura Ayat 20 [Q.S. 42: 20]; Allah memberikan pembalasan kepada amal seseorang menurut niatnya. Dengan demikian, meskipun disibukkan dengan kewajiban mengurus rumah tangga majikan, buruh migran yang punya kebulatan tekad untuk menempa diri, Allah SWT akan memberikan jalan-Nya.

Meneguhkan Semangat Garuda

Fakta-fakta tadi adalah suatu bukti ketika ruang antar-dalam kemanusiaan tesingkap, maka jalan penghubung kelengkapannya terbuka lebar. Perbedaan antara buruh dan majikan mungkin terbatas pada bahasa penyebutan atau status kerjasama, bukan pada status beda agama atau beda kepemilikan materi. Justru sebagai hubungan kemanusiaan, buruh dan majikan adalah setara dalam ke-khalifahan [Q.S. 2:30].

Jalinan dan pertautan kerjasama saling membutuhkan dan menguatkan tersurat dalam surah al-Hujurat ayat 13. ”…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu…” [Q.S. 49: 13].

Semangat yang menembus selsel batas antarmanusia akibat bentukan beda negara, status sosial, lingkungan, agama, dan kepemilikan materi, perlu terus-menerus diteguhkan jalannya. Semangat garuda bisa juga diartikan penghilangan atas rasa minder dan rendah diri terhadap bangsa lain.

Karena keminderan manusia PRT atas makhluk lain merupakan jalan lancar untuk berpaling dari-Nya. Syeikh Abdul Qodir Jaelani memberikan tiga hal yang bisa kita pakai untuk membuka ruang perantara hubungan setara antarsesama yang
dapat pula dipakai pada relasi buruh migran dengan majikan. Yakni, ilmu, hikmah, dan siyasah. Ketiganya niscaya diperlakukan secara berimbang dan pas agar tercipta jalinan selaras antarruang kehidupan dan kemanusiaan. Menjadi buruh migran atau PRT di luar negeri bukanlah perburuhan, namun kemuliaan atau tingginya derajat pencapaian. Karena perubahan dan kehormatan posisi sesungguhnya merupakan perwujudan dari kelakuan pelakunya [Q.S. 13: 11]. Wallahu a’lam bil-shawab.[]


*Penulis adalah alumni IAIN Wali Songo Semarang, kini aktif sebagai salah satu peneliti di Rumah GANA Semarang. Mengurai Indonesia Membaca Dunia

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya