Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah, pada Sabtu (20/2) lalu, melakukan silaturahim ke Pondok Pesantren Kempek Cirebon, Jawa Barat. Selain Kempek, Mantan Wakil Ketua Hak Asasi Manusia ini juga berkunjung ke sejumlah Ponpes di Cirebon lainnya, seperti Buntet dan Babakan Ciwaringin.
Dalam acara yang diawali dengan sambutan KH Syarif Usman Yahya, selaku tuan rumah, Gus Sholah mengaku penting menyampaikan pikiran atau gagasannya untuk menyelesaikan masalah bangsa/kedaerahan. Bukan hanya dalam masalah agama, tetapi juga dalam banyak masalah lain seperti ekonomi, lingkungan, pendidikan, buruh migran, pertanian dan lain-lain. Untuk membuka wacana warga Nahdiyin, Gus Sholah juga membahas tentang tantangan-tantangan Nahdlatul Ulama (NU) ke depan.
Kendati apa yang dilakukannya tidak mudah mengubah keadaan. Tetapi setidaknya, dia bisa berbagi gagasan positif tentang persoalan bangsa dan NU di masa Depan. Termasuk memulainya dengan sejarah NU, kekuatan dan kelemahan, serta tantangan-tantangan NU ke depan.
Mengubah Paradigma dari Orpol Menjadi Ormas Keagamaan
Bagi Gus Sholah, mengubah paradigma dari organisasi politik (Orpol) menjadi organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan merupakan tantangan utama bagi perbaikan organisasi NU ke depan. Hal senada juga sering diungkapkan Gus Sholah dalam sejumlah forum, terutama untuk meredam dan mengurangi gesekan di antara tokoh NU di berbagai tempat. Dalam hal ini menurutnya, perlu adanya penegasan posisi NU dalam politik kepartaian. Selain itu juga perlunya rumusan Khittah NU di bidang politik yang tidak multitafsir. NU harus berdiri di atas semua partai politik (Parpol).
“Struktur NU tidak boleh melibatkan diri ke dalam politik praktis. Kalau ada tokoh NU menjadi calon dalam Pilkada/Pilpres, harus mundur dari posisi di dalam struktur NU. Struktur NU tidak boleh mendukung calon manapun di dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada)/pemilihan presiden (Pilpres). Kalau ada struktur NU yang melanggar ketentuan itu, perlu diatur adanya sanksi,” papar Gus Sholah dalam acara silaturahim di depan puluhan hadirin, seperti; tuan rumah KH Syarif Usman Yahya (Pengasuh Ponpes Kempek), KH Syarif Huda Yahya (Babakan Ciwaringin), KH Muhaimin, KH Syarif, Abu Bakar Yahya, KH Muklas, KH Syifa (Arjawinangun), KH Mahfud Bakri, KH Hamidin (Buntet), KH Lutfi Hakim Fuad Hasyim, dan Sejumlah Kiai-kiai se-wilayah 3 Cirebon lainnya.
Gus Sholah juga menegaskan, agar NU harus aktif berpolitik kebangsaan maupun politik kemasyarakatan berdasar nilai-nilai kemanusiaan, bukan politik kepartaian ataupun politik kekuasaan. Karena menurutnya, NU memiliki potensi melakukan itu. Begitupun ketika mengungkapkan pendapatnya tentang kriteria figur pemimpin NU masa depan.
Seorang figur ketua umum PBNU, baginya harus tidak memiliki paradigma politik praktis, bersih dari orientasi dan kepentingan politik kekuasaan. Sebab, kalau berparadigma politik, nanti pasti ada kubu-kubuan (baca: faksi politik), seperti di partai politik. Karena NU bukan partai politik, NU adalah organisasi kemasyarakatan.
“Ketua umum PBNU juga harus sadar dan paham organisasi, memahami organisasi yang akan dipimpinnya. Dia tidak memanfaatkan organisasi untuk kepentingan pribadi, tidak menjadikan NU sebagai ‘batu loncatan’ untuk tujuan politik tertentu. Jangan ‘mengambil’ dari NU, tapi ‘memberikan’ sesuatu pada NU,” jelasnya.
Dukungan Moril
Dalam acara silaturrahim tersebut Gus Sholah mengaku, dirinya tidak menafikan pentingnya dukungan moril yang ditujukan padanya sebagai salah satu calon pemimpin NU ke depan. Begitupun sejumlah Kiai dan Habaib Jawa Timur, diakuinya telah mendukung dan merekomendasikannya sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) ke depan.
Di Cirebon, sejumlah kiai terutama dari Ponpes Buntet, Babakan Ciwaringin, dan Kempek, juga melakukan hal yang sama. Yakni memberikan dukungan moril kepada cucu Hadratusyeh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU itu. Di depan para kiai yang hadir, Gus Sholah menyatakan kesiapannya menjadi pemimpin NU jika ada 100 pengurus cabang NU yang mendukungnya.
Gus Sholah bertekad membawa Nahdlatul Ulama ke arah lebih baik. Dengan mengembalikan NU pada posisinya sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan terbesar di Indonesia. Termasuk bersih dari berbagai bentuk kepentingan politik partisan. Ia ingin menjadikan warga Nahdiyin sebagai masyarakat sipil yang demokratis dan kritis terhadap pemerintah.
KH Syarif Usman Yahya, mengaku sangat berkepentingan mendapatkan informasi dari Gus Sholah tentang NU ke depan. Sekarang juga waktu yang tepat untuk mengenal sosok Gus Sholah lebih dekat. Karena selama ini masyarakat lebih mengenal kakak kandungnya, yakni almaghfurlah Gus Dur. “Tapi kali ini Gus Sholah tidak hanya meneruskan cita-cita besar Gus Dur, tetapi juga mewakili keluarga besar Tebu Ireng secara keseluruhan. Juga tentunya sejarah panjang dari mbah-mbah-nya sampai sekarang ini. Dan tentunya kita juga berkepentingan untuk ke depannya Tebu Ireng aka seperti apa dan kita (warga NU) akan seperti apa,” terang sosok yang akrab disapa abah Ayif ini.
Rekomendasi Masyayikh dan Habaib Wilayah Tiga Cirebon
Sementara menurut penanggungjawab acara tersebut, Rahmatullah Alwi, dalam rilisnya menyampaikan rekomendasi para Masyayikh dan Habaib Wilayah Cirebon yang melakukan silaturahim di PP Khatulistiwa, Kempek, Cirebon. Beberapa hal yang direkomendasikan itu di antaranya masalah NU dan Keumatan. Dimana NU perlu meneguhkan kembali untuk khidhmah di jalur gerakan social keagamaan, sebagai ruh gerakan yang dirumuskan dalam khittah NU. Selain itu juga menolak NU difungsikan sebagai ruh gerakan yang dirumuskan dalam khittah NU, serta menolak NU difungsikan untuk meraih jabatan-jabatan kekuasaan dan politik praktis serta sarana untuk mencapai keuntungan pribadi.
Selain tentang NU dan keumatan, juga tentang kepemimpinan NU. Dimana perlunya NU konsen dan komitmen terhadap masalah-masalah kerakyatan yang riil di masyarakat, mulai persoalan pertanian, nelayan, ekonomi, kebudayaan, perburuhan, pendidikan (pesantren), kesehatan dan sejenisnya. Selain itu juga perlunya kembali mengaktifkan dan mengoptimalkan peran lembaga dan lajnah yang mengurusi masalah-masalah riil yang dihadapi masyarakat seperti Lembaga Perekonomian NU (LPNU), Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LP2NU), Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi), Lembaga Pelayanan Kesehatan NU (LPKNU), dan lain sebagainya. Serta perlunya kembali melakukan gerakan regenerasi dan kaderisasi secara serius di semua tingkatan. Sehingga kader potensi NU tidak justru diambil oleh kelompok lain yang bersebrangan dengan paham Ahlussunah Wal Jama’ah atau dibiarkan menjadi sasaran indoktrinasi dari paham-paham yang bersebrangan.
Kemudian tentang Kepemimpinan NU. Dimana perlunya NU, digerakkan oleh kepemimpinan yang berkarakter dan tegas dalam menegakkan khittah NU dansupremasi syuriyah. Perlunya NU dipimpin oleh orang-orang yang memilki komitmen yang jelas untuk menghidupkan NU, amanat, jujur, adil, dikenal luas, meagakar di masyarakat, mau mendengar nasehat ulama dan mau melaksanakan kerja-kerja yang berpihak pada warga NU.
Terakhir adalah tentang Muktamar di Makasar yang akan dilaksanakan pada akhir Maret 2010 mendatang. Kiranya tidak dikotori dengan praktik money politics oleh siapapun terutama para calon baik rois syuriyah maupun tanfidziyah, yang justru akan merusak sendi-sendi moral NU yang selama ini dibangun oleh para Ulama. Para calon hendaknya memberikan tauladan kepada umat dengan berpolitik secara santun, bermoral dan tidak menghasud atau menjelekkan calon lainnya. Muktamar ke 32 di Makassar hendaknya betul-betul dimanfaatkan untuk merumuskan garis-garis keorganisasian NU yang jauh dari politik praktis. (a5)