”التَّكَبُّرُ علَى المُتَكَبِّرِ صَدَقَة/وفى رواية :حسنةٌ”
“Bersikap sombong terhadap orang yang sombong adalah sedekah” atau : “Sombong terhadap orang sombong adalah baik”.
Kata-kata itu begitu populer. Aku telah lama mendengarnya. Banyak orang hafal kata-kata ini, dan acap dipakai atau disampaikan di depan forum pengajian-pengajian.
Tetapi kata-kata ini menurutku aneh. Bukankah kesombongan itu tercela, haram, berdosa besar dan pelakunya tak akan masuk surga. Nabi bersabda :
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ.
“Tidak akan masuk sorga orang yang dalam hatinya ada sebesar atom kesombongan.”
Bukankah itu juga berarti keburukan diatasi dengan keburukan, perbuatan dosa dihilangkan dengan cara yang berdosa?. Kemungkaran diberantas dengan kemungkaran?. Bukankah itu akan menyulut perang?.
Sebaliknya bukankah Allah mencintai orang yang rendah hati, suka memaafkan dan berbuat baik?. Allah menyatakan :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (yang baik) serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
Lebih dari itu bukankah Nabi yang kita cintai tidak pernah mengatasi kesombongan dengan kesombongan, melainkan membalasnya justeru dengan kebaikan. Justeru cara inilah yang menjadi daya tarik dan pesona bangsa Arab terhadap beliau sehingga berbondong-bondong dengan rela hati menjadi pengikutnya yang setia. Al-Qur’an menyatakan hal ini :
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”.
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar”.
Imam Syafi’i berkata :
يُخَاطِبُنِي السَّفِيْهُ بِكُلِّ قُبْحٍ
فَأَكْرَهُ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ مُجِيْبًا
يَزِيْدُ سَفَاهَةً فَأَزِيْدُ حُلْمًا
كَعُوْدٍ زَادَهُ الْإِحْرَاقُ طِيْبًا
Seorang jahil mencacimaki aku begitu sengit
Aku tak suka membalasnya
Dengan begitu dia makin tampak bodoh
Sedang aku makin jadi santun
Bagai kayu gaharu yang dibakar,
Ia makin menebar wangi
Seorang bijak-bestari mengatakan :
“Jika gangguan datang mengusikmu
Janganlah kau cari cara bagaimana membalasnya dengan cara yang sama atau lebih. Tetapi carilah cara bagaimana membalasnya dengan yang baik atau terbaik”.
Ada orang yang mengatakan kata-kata di atas adalah hadits Nabi. Tetapi orang lain lagi mengatakan ia bukan hadits.
Al-‘Ajluni dalam “Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Ilbas” mengatakan : “Hadzihi al-‘Ibarah Laisat bi Hadits” (kata-kata itu bukan hadits).
Imam Al-Subki, dalam “Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra” mengatakan ” “Lam Ajid Lahu Isnad” (aku tak menemukan rangkaian sanad/jalur transmisinya).
Ibnu Utsaimin dalam “Fatawa Islamiyyah” mengatakan :
وأما الحديث الذي ذكره السائل فهو حديث باطل لا يصح عن النبي ، – صلى الله عليه وسلم – .
“Hadits yang disebutkan si penanya tadi adalah bukan hadits Nabi yang sahih”.
Tetapi sejumlah orang berpendapat kata-kata di atas itu, meski bukan hadits sahih, namun dapat dimengerti maksudnya. “Orang sombong harus disombongin biar dia gak sombong lagi”.
Nah, siapa mau ikut tafsir ini?.