Untuk hal yang bersifat parsial dan kasuistik, terjadi keragaman pandangan ulama, seperti cara beribadah, perkawinan, perceraian, hak untuk bekerja, belajar, aktif di ruang publik atau hal lain. Dalam hal ini, beberapa keputusan syariat muncul tanpa pemihakan pada perempuan. Pandangan atau praktek yang menyudutkan atau tidak menguntungkan perempuan, telah dikritik terutama oleh perempuan sejak zaman Nabi Saw.
Dalam tulisan sejarah terungkap bagaimana perempuan mendatangi Nabi Saw, menuntut hak-hak mereka yang tidak disebutkan oleh Al-Qur’an. Allah-pun merespon tuntutan mereka dan menurunkan ayat kesetaraan hak perempuan dan laki-laki (QS Al-Ahzab, 33:35). Allah juga menurunkan satu surat tersendiri untuk menjawab kegundahan perempuan, bernama Khaulah bint Malik yang datang kepada Nabi menggugat perilaku suaminya yang melakukan pelecehan (zihar) dan pemaksaan hubungan seks. Surat itu dinamakan al-Mujadilah, yang berarti perempuan penggugat.
Ketika beberapa isteri Nabi mengajukan tuntutan-tuntutan kepada beliau, yang marah justru orang tua mereka. Mereka dianggap tidak beradab dan tidak mengindahkan posisi suami mereka sebagai Nabi. Tetapi Nabi tidak bersikap demikian, dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar. Wahyu yang turun, justru memberikan pilihan untuk dipenuhi tuntutan mereka. Mereka boleh berpisah, atau tetap hidup bersama Nabi dengan kerelaan dan tanpa paksaan.
Setelah Nabi wafat, mulai muncul fatwa sejumlah sahabat yang memberikan rasa ketidakadilan kepada perempuan, yang oleh sebagian orang dianggap syariat. Sebagian fatwa didasarkan pada hadits. Istri Nabi, Aisyah ra. gencar melakukan pelurusan dan koreksi terhadap mereka. Imam az-Zarkashi (791 H) mencatat 79 pandangan keagamaan yang keluar dari beberapa sahabat yang dikritik oleh Aisyah. Sebagian diantaranya berkaitan dengan kedudukan dan hak perempuan.
Diantaranya, Aisyah ra mengkritik Abu Hurairah ra yang mengatakan bahwa sumber kesialan adalah ; perempuan, rumah tua dan hewan berwarna hitam. Ia juga mengoreksi fatwa Ibn Umar ra yang mewajibkan perempuan untuk mengurai seluruh rambutnya yang dikepang ketika hendak mandi junub. Ibnu Umar ra menyebarkan pandangan bahwa kontak dengan perempuan yang sedang haid harus dilakukan dengan ekstra hati-hati. Aisyah justru berkali-kali memfatwakan bahwa perempuan yang sedang haid boleh melakukan kontak fisik dengan suaminya, kecuali bersenggama. Larangan beberapa sahabat terhadap perempuan untuk keluar ke mesjid juga dikritik Aisayh ra. Ia secara terang-terangan melakukan kerja-kerja sosial di luar rumah dan puncaknya memimpin pasukan perang yang diantaranya juga terdiri dari para sahabat laki-laki.
Jadi, pada masa sahabat sudah muncul kekhawatiran bahwa fatwa-fatwa keagamaan bisa merugikan perempuan. Saat itu perempuan berani bersuara dan bisa mewarnai ketentuan dan pandangan masyarakat. Ketika khalifah Umar bin Khattab ra ingin membuat keputusan legal untuk membatasi jumlah mas kawin, ia dikritik oleh seorang perempuan. Umar menerima kritik tersebut dan membatalkan keinginannya.
Pada generasi-generasi berikutnya, suasana itu semakin berkurang. Perempuan yang berani dan punya kemampuan melakukan perimbangan terhadap fatwa-fatwa yang bias tidak lagi muncul. Sehingga, pandangan keagamaan yang oleh Abu Hurairah ra dan Ibn Umar ra (yang dikecam keras Aisyah ra dan perempuan lain) akhirnya dianggap sebagai syariat, dan menjadi pandangan yang dominan dalam masyarakat. Dengan dalih beberapa hadis yang diangap sahih, perempuan tidak lagi diperkenankan dan datang menyaksikan aktifitas-aktifitas publik di mesjid. Padahal hadis-hadis seperti itu dikritik oleh Aisyah ra, sewaktu ia masih hidup. Dan, hadis-hadis sejenis muncul menguasai aras pemikiran masyarakat. Orang hafal dengan hadis Imam Hakim “Perempuan itu selayaknya tidak belajar menulis”, atau hadis “Perempuan yang baik adalah yang tidak pernah melihat dan dilihat laki-laki”. Ada fatwa keagamaan yang menyebar di masyarakat, yang sangat menyakiti perempuan. Dalam fatwa tersebut, perempuan disamakan dengan anjing. Jika lewat di hadapan orang shalat, maka shalatnya batal dan harus diulang.
Syekh Nawawi Banten dalam kitab ‘Uqud al-Lujain menyatakan, laki-laki itu milik ibunya, sedangkan perempuan itu miliki suaminya. Dari sini dibangunlah totalitas ketaatan perempuan terhadap laki-laki, sehingga untuk sesuatu yang sangat sederhana sekalipun perempuan tidak memiliki hak untuk mengatakan ‘ tidak ‘ kepada suaminya.
Muhammad al-Ghazali, seorang ulama besar dari al-Azhar Mesir abad ini, menyatakan perihatinannya. Ia masih menjumpai khatib-khatib mesjid di dunia Arab muslim menyuarakan, perempuan sebaiknya hanya keluar untuk tiga hal saja; keluar dari rahim ibunya, keluar untuk tinggal dengan suaminya dan keluar untuk dikubur ketika mati. Selain itu, ia harus berada di dalam rumah saja. Al-Ghazali juga sangat bersedih ketika kebanyakan ulama Arab selalu mengumandangkan bahwa wajah perempuan itu aurat yang harus ditutup rapat. Suara perempuan juga aurat, sehingga ia tidak diperkenankan bersuara.
Dalam setiap zaman, syariat akan selalu dihadapkan pada ketegangan dua kutub; kutub kaku literalis yang melihat teks-teks lahiriah agama sebagai final, dan kutub liberasi yang melepaskan diri dari teks untuk merespon segala tuntutan zaman. Kita tidak mengambil yang pertama, karena syariat akan menjadi statis dan beku. Juga tidak yang kedua, karena bisa mengakibatkan formulasi syariat terlepas dari prinsip-prinsipnya dasar Islam sendiri.
Untuk formulasi syariat tentang perempuan, tiga prinsip dasar harus menjadi pijakan dan acuan. Pertama, kedudukan perempuan dan laki-laki sama di mata Allah, karena itu di depan syariat-Nya, keduanya juga sama. Kedua, perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab dan hak yang sama untuk berperan aktif dalam mewujudkan kehidupan yang baik di muka bumi ini. Ketiga, hak untuk menerima balasan dari apa yang dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki adalah juga sama. Karenanya, reformulasi hukum syariat adalah keniscayaan. Pembelaan hak-hak perempuan juga keniscayaan. Untuk mewujudkannya, diperlukan pembahasan intensif , yang tentu saja harus melibatkan perempuan. Sekali lagi, harus melibatkan perempuan.
Mari belajar dari sejarah. Kemenangan revolusi Islam di Iran, Imam Khoemeini membatasi ruang gerak perempuan di dunia publik. Imam Khomeini mengharuskan perempuan mengenakan jilbab dan memasang hijab bagi mereka di pasar-pasar, perguruan tinggi, perkantoran, mesjid dan tempat umum lainnya. Di bawah bendera syari’at Islam, sang Imam seakan menekankan bahwa tempat yang cocok bagi perempuan hanyalah dalam wilayah domestik. Padahal semasa revolusi berlangsung, pendukung terkuat gerakan Imam Khoemini adalah kelompok perempuan. Pemberlakuan syari’at Islam yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, selain menampilkan fenomena pemaksaan pandangan satu kelompok Islam tertentu pada mayarakat lainnya, juga seakan mengukuhkan adagium bahwa syari’at Islam sering tak ramah pada perempuan.
Hal yang sama terjadi di Afghanistan. Atas nama syari’at Islam, pemerintahan Thaliban memberhentikan seluruh pegawai negeri perempuan. Tak peduli apakah pekerjaan itu menjadi sandaran satu-satunya bagi perempuan tersebut untuk penopang hidupnya atau keluarga dimana sang perempuan menjadi pencari nafkah utama. Di negeri itu terlalu banyak daerah yang terlarang bagi perempuan. Hatta, bunyi detak sepatu perempuanpun dapat dianggap menimbulkan malapetaka. Apakah hal yang sama akan terjadi pada daerah-daerah yang memberlakukan syari’at Islam di Indonesia? Wallahua’lam.[]