TEMPO.CO, Jakarta – Belasan anggota jemaah Ahmadiyah berkumpul di Masjid Baitul Islam, 29 Juli lalu, ketika azan asar berkumandang. Masjid berkusen jendela warna hijau dan berukuran 6 x 10 meter itu berada di gigir Gunung Pakuwojo, Wonosobo, Jawa Tengah.
Para anggota jemaah adalah penduduk Dusun Wonosari, Desa Wonokampir, Kecamatan Watumalang, Wonosobo. Rumah mereka bergerombol di lereng gunung pada ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut. Sebanyak 30 keluarga penganut Ahmadiyah berdampingan dengan 47 keluarga lain.
Hanya 100 meter dari Masjid Baitul Islam, berdiri Masjid Baitul Huda milik warga Nahdlatul Ulama. Takmir Masjid Baitul Huda, Martoyo, mengatakan mereka hidup damai berdampingan dengan warga Ahmadiyah. Sebuah pemandangan yang semakin langka dijumpai di Tanah Air. (Baca: Bupati Kholiq, Perekat Syiah, Ahmadiyah, Minoritas)
Banyak kegiatan yang mereka kerjakan bersama, misalnya kerja bakti, dan tahlilan saat ada warga yang meninggal. Sebagai tokoh NU, Martoyo kerap berbagi peran dengan tokoh Ahmadiyah kampung Wonosari, Suyarno. Dalam acara perkawinan, Martoyo biasanya menjadi tukang seserahan, dan yang menerima seserahan adalah Suyarno, atau sebaliknya.
Sejumlah mubalig Ahmadiyah bahkan ikut menyusun kurikulum untuk pengajaran di Kabupaten Wonosobo. Dalam pertemuan tahunan, Ahmadiyah juga mengundang Ketua NU dan Ketua Ansor Wonosobo.
Ahmadiyah di Wonosobo sudah ada jejaknya pada 1924. Tokoh yang pertama kali menyebarkan ajaran ini adalah Sabitun. Dia merupakan mubalig pertama di Tanjungsari.
Syiah juga berkembang di Wonosobo. Jumlah penganutnya memang tidak sebanyak Ahmadiyah. Di sana ada sekitar 250 orang penganut Syiah, tersebar di Kecamatan Wonosobo, Garung, dan Kretek. Penasihat Pengurus Syiah Jawa Tengah, Mohammad Arman Djauhari, 62 tahun, adalah penganut Syiah pertama di Wonosobo.
Di lereng Gunung Sindoro, pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut, bersembunyi Dusun Binangun, Desa Mudal, Kecamatan Mojo Tengah. Di kampung sejuk ini tinggal penganut penanggalan Aboge (Alif Rebo Wage) Wonosobo.
Di sana ada 70 orang dari 628 penduduk yang menjadi penganut aliran kepercayaan itu. Hampir semua penganut penanggalan Aboge berhimpun pada penghayat kepercayaan Tunggul Sabdo Jati. Ini semacam perkumpulan penganut Kejawen.
Aboge Wonosobo punya tetua bernama Sarno Kusnandar. Pria 60 tahun ini mewarisi kepercayaan Aboge secara turun-temurun dari nenek moyangnya. “Saya tidak tahu kapan Aboge mulai ada di sini. Yang jelas, saya sejak lahir sudah menganut Aboge,” kata dia.
Penganut penanggalan Aboge hidup rukun dengan warga NU di kampung itu. Rumah Sarno persis di samping Masjid Al-Huda. Tadarus dan suara azan dari pengeras suara tidak mengganggu Sarno, yang merupakan Kepala Dusun Binangun. (SHINTA MAHARANI | SUNUDYANTORO)