Kamis, 19 Desember 2024

TAHUN 2017 MENJADI TAHUN DEFISIT ETIKA DEMOKRASI

Oleh: KH Husein Muhammad

Baca Juga

Tak ada gunanya menanggapi ketidakadilan dengan kebencian dan dendam. Karena cara ini hanya akan menginspirasi antagonisme lebih lanjut dan memperburuk keadaan.

Dalam acara Refleksi Akhir Tahun Keberagaman dan Toleransi di Wilayah Cirebon yang diselenggarakan oleh Fahmina-Institute di hotel Bentani, Cirebon (30.12.17). Menurutku, tahun 2017 masih menjadi tahun politisasi agama dan defisit etika demokrasi. Agama dijadikan alat permainan untuk merebut kekuasaan untuk penguasaan segala. Kohesi sosial mengalami keretakan. Gerakan radikalisme yang bekerja keras untuk menggantikan sistem sosial dan pemerintahan demokrasi mengalami peningkatan dan merasuk ke dalam segala ruang publik dan privat. Kebebasan telah melampaui batas etikanya.

Para pembicara pemantik lalu sepakat mengatakan bahwa kelompok radikal di Indonesia sesungguhnya adalah kecil saja. Jumlah mereka kurang dari 10 % dari seluruh populasi masyarakat muslim Indonesia. Tetapi diakui gerakan mereka masif, militan dan progresif.

Survei Wahid Foundation bersama Lingkar Survei Indonesia pada tahun 2016 mengungkapkan 11 juta dari 150 juta penduduk muslim Indonesia siap melakukan tindakan radikal. Jumlah tersebut mencapai 7,7 persen dari total penduduk muslim Indonesia. Ini berarti mayoritas muslim Indonesia menolak radikalisme. Tetapi jumlah pengikut Radikalisme itu terus meningkat dari tahun ke tahun.

Mayoritas Diam

Musibah bukan (semata) karena kezaliman orang-orang yang buruk, tetapi karena diamnya orang-orang baik.

Muhammad Nuruzzam, dari GP Ansor, merespon temuan ini, seraya mengatakan : “Tetapi karena mayoritas masyarakat tidak peduli dan mengambil sikap diam, maka mereka makin leluasa untuk berkembang pesat untuk memasuki segala ruang dan komunitas, termasuk pejabat publik. Jadi, sekali lagi, merebak, berkembang, meningkat dan merajalelanya gerakan mereka adalah karena silent Majority (diamnya kelompok mayoritas).

Aku segera juga merespon pandangan itu sambil mengutip pernyataan seorang tokoh legendaris, pemimpin gerakan anti diskriminasi :

المصبية ليست في ظلم الأشرار بل في صمت الأخيار.

Musibah bukan (semata) karena kezaliman orang-orang yang buruk, tetapi karena diamnya orang-orang baik.

Tragedy is not the oppression of the wicked, but in the silence of the good guys.

Pertanyaan kita adalah; apa yang harus dilakukan oleh mayoritas?.
Apakah akan melakukan perlawanan terhadap mereka dengan cara yang sama?.

Lalu aku menyampaikan pandangan Karen Armstrong yang sangat menarik :

“Sejarah menunjukkan bahwa menyerang setiap gerakan fundamentalis (radikal), baik secara militer, politik maupun melalui media, adalah kontraproduktif, karena serangan itu hanya akan meyakinkan pengikutnya bahwa musuh mereka benar-benar bertekad untuk menghancurkan mereka”.

“Tak ada gunanya menanggapi ketidakadilan dengan kebencian dan dendam. Karena cara ini hanya akan menginspirasi antagonisme lebih lanjut dan memperburuk keadaan”.

Akhirnya aku mengatakan :

“Tidak ada gunanya penyebaran pikiran secara indoktrinasi dan pemaksaan dilawan dengan indoktrinasi serupa. Ini metode pembodohan rakyat yang tidak boleh berkembang. Yang harus dikembangkan adalah dialog konstruktif. Sebuah dialog intelektual yang sehat. Ini jalan yang disarankan oleh al-Qur’an dan Nabi Muhammad. (Q.s. an-Nahl, 125).

Hal yang paling penting dari semua itu adalah mengembangkan “Nalar Moderat” (al-‘Aql al-Wasathi).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya