Tradisi Buka Puasa Bersama
Dalam amatanku, setidaknya ada tiga tradisi ”buka puasa bersama” yang berbeda. Pertama, buka puasa yang hanya diikuti oleh internal anggota lembaganya saja. Kelompok ini biasanya eksklusif dengan agenda yang umum saja, yakni meningkatkan keimanan dan ketakwaan, suatu ukuran yang sulit dibuktikan. Ritus mereka pada umumnya selain makan dan minum bersama, juga ada ceramah agama oleh petinggi lembaga atau tokoh agama kondang yang sengaja diundang pada sebelum buka puasa atau sebelum shalat tarawih diselenggarakan. Shalat maghrib, isya, dan tarawih berjamaah juga menjadi satu paket ritus yang harus diikuti oleh peserta buka puasa. Tema ceramah yang disampaikan juga tema umum saja tentang ketakwaan, keimanaan, hikmah ramadlan, meningkatkan kinerja dan disiplin, dan hal-hal yang berhubungan dengan surga atau neraka. Yang penting dalam ceramahnya harus dihiasi dengan dalil-dalil tekstual agama yang banyak, sehingga terkesan relijius. Lembaga pemerintah dan perusahaan atau lembaga non-pemerintah yang relatif mapan biasanya masuk ke dalam kelompok ini.
Kedua, kelompok yang menyelenggarakan buka puasa bersama, tetapi tidak dimaksudkan untuk konsolidasi atau keakraban (ukhuwwah) internal anggota lembaganya, melainkan dikhususkan buat kelompok sosial lain yang membutuhkan, yakni masyarakat miskin kota (urban poor community) dan orang-orang yang dalam bepergian (musafir). Kelompok ini sengaja menyediakan makanan dan minuman bagi berbuka puasanya kelompok sosial ini. Tidak ada agenda lain, kecuali semata-mata menyediakan bahan meterial buka puasa. Ini biasanya rutin harian atau mingguan. Sebagaimana agenda kelompok pertama, yakni adanya ”keharusan” shalat maghrib, isya, dan tarawih berjamaah di satu tempat dan diisi dengan ceramah oleh petinggi lembaga dan tokoh kondang (populer) tidak terjadi pada kelompok ini. Masuk ke dalam kelompok ini adalah masjid, mushalla, atau lembaga sosial lain yang biasanya mewadahi atau bersemangat memburu infak, shadaqah, dan zakat dari orang-orang kaya di sekelilingnya. Jadi, sifatnya karitatif saja (santunan).
Ketiga, kelompok yang menyelenggarakan buka puasa bersama untuk anggota lembaga dan publik sekaligus. Tetapi publik yang terlibat dalam buka puasa kelompok ini sangat terbatas, tidak massif seperti kelompok kedua. Ini juga diselenggarakan secara reguler mingguan atau dua mingguan. Agenda buka puasa kelompok ini selain makan dan minum bersama saat maghrib tiba, yang terpenting bagi kelompok ini adalah diskusi atau kajian yang sengaja dirancang selama Ramadlan. Tidak ada agenda yang ketat, seperti ”keharusan” shalat maghrib, isya, dan tarawih berjamaah sebagaimana kelompok pertama. Bahkan pelaksanaan shalat tarawih cenderung dilewat saja, karena dianggap sunnah dan agar lebih khusyu’ dapat dilaksanakan di rumah masing-masing pada malam hari.
Semata-mata memanfaatkan momentum Ramadhan, agenda buka puasa kelompok ini adalah untuk suatu kajian dan diskusi yang serius. Tema kajian dan diskusi pada umumnya menyangkut soal keilmuan yang spesifik, filsafat sosial, dan problem-problem sosial yang membutuhkan campur tangan agama. Cara penyajian diskusi dan kajiannya pun beragam. Ada yang secara khusus mengundang pakar dan ahli pada topik tersebut, mulai habis shalat maghrib hingga tengah malam. Ada juga diskusi dan kajian dengan media pemutaran film layar lebar atau pementasan kesenian dan kebudayaan lokal.
Pada umumnya yang masuk ke dalam kelompok ketiga ini adalah lembaga non-pemerintah yang relatif tidak mapan dan berideologi anti-kemapanan yang terus berjuang untuk transformasi sosial di dalam tatanan kehidupannya.
Apa makna dari ragam keberagamaan orang kota ini? Agenda ”buka puasa bersama” yang menjadi tipikal keberagamaan orang kota ini ternyata adalah cerminan dari cara pandang kelompok-kelompok tersebut terhadap makna puasa itu sendiri. Kelompok pertama memahami puasa secara normatif dan personal. Ritus peribadatan personal lebih diperhatikan ketimbang makna sosial puasa, bahkan bila perlu harus ”mabuk” ibadah mumpung sedang obral pahala. Shalat tarawih yang sunnah pun menjadi ”wajib” dilakukan dengan jama’ah pada saat itu juga. Mereka sibuk dengan ibadah mahdlah (murni) ketimbang peduli dengan persoalan sosial yang menghimpit kelompok sosial rentan di sekelilingnya. Walhasil, puasa bagi kelompok ini adalah sarana pemuas diri untuk memperoleh derajat ketakwaan yang tertinggi.
Kelompok kedua sebaliknya, mereka lebih menonjolkan dimensi sosial puasa dengan berbagi secara materiil kepada kelompok sosial miskin di sekelilingnya. Hanya saja cara mereka masih karitatif, tidak mendalami kenapa mereka tertindas, miskin, dan terpinggirkan dalam tatanan sosial yang serba modern ini, dan bagaimana mengubahnya tanpa membuat benang ketergantungan. Bagi mereka, puasa adalah bulan shadaqah yang dilipatgandakan pahalanya, maka yang penting adalah berbagi dan menyantuni kepada kelompok papa.
Berbeda lagi dengan kelompok ketiga. Dengan nuansa diskusi dan kajian yang sangat kental, kelompok ini menjadikan puasa sebagai proses refleksi berfikir atas semua tindakan yang telah dilakukan sebelumnya dalam konteks kemanusiaan. Sejauhmana puasa mampu menjadi kekuatan untuk mengubah diri dalam pemikiran dan tindakan yang berimplikasi pada perubahan kondisi kemanusiaan yang lebih adil dan beradab. Mereka lebih substantif memahami puasa ketimbang pemuasan diri secara spiritual dan berbagi material yang tidak berimbas pada kemandirian warga.
Mencairnya ”Gunung Es” Praktik Sektarian Beribadah
Ada hal menarik yang ingin saya tulis dari salah satu tradisi buka puasa bersama yang pernah saya ikuti. Kelompok ini berasal dari satu lembaga pemerintah pusat di Jakarta, yang menyelenggarakan buka puasa bersama rutin mingguan (keliling daerah). Sebagaimana umumnya birokrasi berbasis agama, komposisi partisipan kelompok ini secara ormas keagamaan sangat beragam, ada yang aktivis-ideologis NU, warga NU biasa, aktivis-ideologis Muhammadiyyah, warga Muhammadiyyah biasa, warga Persis, dan sebagian yang lain tidak mau disebut ormas keagamaannya, NU ataupun Muhaammadiyyah. Atas aturan ketat pimpinannya, dalam setiap buka puasa selain tentu saja ada makan dan minum bersama, juga ”harus” diikuti dengan shalat maghrib, isya, dan tarawih berjamaah. Antara shalat isya dan tarawih selalu diisi ceramah agama oleh petinggi lembaga tersebut. Dalil-dalil (tekstualis) keagamaan adalah andalan untuk melegitimasi kepentingan lembaga ini dalam beragama. Tema utama yang diusung adalah soal kedisiplinan bekerja, kejujuran, ingat mati, dan berkaitan dengan peningkatan keimanan dan ketakwaan.
Shalat tarawih mereka unik. Karena kepentingan efisiensi waktu, mereka memutuskan untuk tarawih 8 (delapan) rakaat, 2 rakaat 2 rakaat, dan witir 3 rakaat sekaligus. Dalam kultur masyarakat Indonesia, tarawih 8 rakaat (2-2) dan witir 3 rakaat sekaligus adalah tradisi amaliyah Muhammadiyyah. Tradisi NU tidak mengenal shalat witir 3 rakaat sekaligus. Tetapi karena mayoritas jamaah, termasuk para petinggi lembaga ini adalah NU, maka mereka mengakhiri shalat witir dengan qunut. Bahkan, di sela-sela rakaat tarawih disisipi ucapan-ucapan shalawat khas NU-Betawi (yang selalu menggunakan sayyidina) dan diakhiri dengan tahlil bersama, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh jamaah Muhammadiyyah. Melafalkan niat puasa pun dilakukan bersama-sama dengan suara nyaring yang dipimpin oleh seseorang.
Yang ingin saya katakan dari fenomena ini adalah betapa praktik ibadah ”orang kota” sangat lentur—untuk tidak mengatakan permisif—atau eklektik sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri tanpa benturan pemikiran dan keyakinan agama yang serius yang biasa dipegang teguh orang NU atau Muhammadiyyah di pedesaan. ”Orang NU kota” enjoy saja shalat dengan amaliyah Muhammadiyyah, meski tidak mau meninggalkan qunut, tahlil, dan shalawat. Begitu juga ”orang Muhammadiyah kota” enjoy saja mengikuti tradisi keagamaan orang NU, meskipun di pedesaan hal itu dibid’ahkan dan diharamkan.
Selain itu, saya berkesimpulan tidak ada garis lurus antara perjuangan ideologis sektarian (kepentingan politik dan ekonomi) orang NU atau Muhammadiyyah kota dengan perjuangan penegakan amaliyah keagamaan di dalam lingkungan mereka sendiri. Aktivis NU atau Muhammadiyyah di kota, meskipun sangat ideologis, dengan sangat mudah dan tanpa beban melaksanakan tradisi keagamaan orang lain, meskipun berseberangan keyakinan. Tetapi begitu kepentingan ekonomi dan politik mereka diganggu, maka politik ideologi NU atau Muhammadiyyah mereka gunakan. Inilah mencairnya ”gunung es” tradisi sektarian keagamaan masyarakat perkotaan pada satu sisi, dan mengentalnya air bah kepentingan sektarian ekonomi dan politik pada sisi lain. Tapi sayangnya, mencairnya kebekuan dan fanatisme praktik beribadah dalam kenyataannya tidak diikuti dengan mencairnya hubungan-hubungan sosial antar kelompok agama ini, baik untuk urusan agama maupun isu kebangsaan yang lebih mendasar. Hal yang sebaliknya terjadi di masyarakat pedesaaan.
Dengan demikian, pragmatisme jauh lebih menguasai aktivis ormas keagamaan di perkotaan ketimbang kesetiaan mereka menjaga tradisi keagamaan yang melekat pada ormas keagamaan tersebut?[]