Urip Mung Mampir Ngombe

0
2762

Saban hari kita menelusuri jalan-jalan dan lorong-lorong ramai maupun sepi. Tiap hari kita pulang pergi dari rumah ke pasar, sekolah, kantor atau tempat kerja. Siklus hidup kita paling tidak adalah bangun tidur, sarapan, kerja, makan siang, minum, bercakap-cakap, jalan-jalan, pulang, makan malam dan tidur.

Entah sampai kapan rutinitas ini akan berakhir. Kita tak tahu. Kita juga tidak tahu apakah hari-hari kita ke depan masih akan panjang atau pendek. Berapa lama lagi kita akan berada di sini. Ya, di dunia ini, di atas bumi ini. Semuanya tanpa kepastian. Ini adalah misteri Tuhan. Ia ada di Tangan Tuhan.

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri,…”. (Q.S. al-An’am, 59).

Lalu apakah hidup itu ?.

Menurut Nabi Muhammad Saw, hidup adalah sebuah perjalanan atau pengembaraan. Manusia digambarkan bagai pengembara, pelancong atau pengelana atau musafir.

فعن عبد الله بن مسعود – رضي الله تعالى عنه – قال: نام رسول الله – صلى الله عليه وسلم – على حصير، فقام وقد أثَّر في جَنْبه، فقلنا: يا رسول الله! لو اتخذنا لك وِطاء، فقال: “ما لي وللدنيا؟ ما أنا في الدنيا إلا كراكب استظل تحت شجرة ثم راح وتركها”، رواه الترمذي وابن ماجه وغيرهما، وقال الترمذي: هذا حديث حسن صحيح.

Ibnu Mas’ud mengatakan : “Nabi tidur di atas tikar. Lalu bangun. Tampak di punggungnya bekas tikar itu. Aku menawarkan : “bolehkah aku ambilkan kasur, wahai Nabi?”. Beliau menjawab : “Apalah aku ini. Aku dalam kehidupan di dunia ini bagaikan seorang penunggang kendaraan yang berhenti sejenak untuk istirahat, bernaung di bawah pohon. Sesudah itu berangkat lagi dan meninggalkan pohon itu”.

Imam al-Ghazali menggambarkan secara lebih detail dan runtut tentang tahapan-tahapan perjalanan hidup manusia. Katanya :

“Dunia ini adalah persinggahan atau (tempat transit), bukan tempat menetap. Manusia adalah pengelana/pengembara. Persinggahan pertamanya adalah di dalam liang lahat (kuburan). Tanah air manusia dan tempat menetapnya adalah ruang dan waktu sesudah itu. Setiap tahun yang dilewatinya bagaikan satu tahapan perjalanan. Setiap bulan yang telah dilewatinya bagaikan istirahat sang musafir di perjalanan. Setiap pekan bagaikan bertemu sebuah desa. Setiap nafas yang berhembus bagaikan langkah-langkah kaki yang terus bergerak mendekati persinggahan terakhir”. (Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk).

Begitulah. Sesudah itu manusia akan pulang dan kembali ke Asal Yang Menciptakan kehidupan yang tanpa batas.

Seluruh proses hidup itu ditempuh dalam waktu yang begitu pendek, singkat atau amat sangat sebentar saja. Dewasa ini usia rata-rata hidup manusia, sekitar 70 tahun. Sementara perjalanan hidup sesudah itu tak terbatas oleh waktu : “Abadan Abadan”.

Orang Jawa mengumpamakan hidup bagai “mung mampir ngombe”. Mereka mengatakan : “Wong urip iku mung mampir ngombe” . Artinya orang hidup itu hanyalah istirahat sejenak untuk minum.

Dr. Soedjatmoko, Intelektual par excellence, mengungkapkan pandangan hidup ini dalam puisinya yang indah :

Mampir Minum

Hidup hanyalah mampir untuk minum
Dalam sebuah perjalanan spiritual yang lebih panjang.
Dalam pandangan ini,
Semua pengalaman kita,
Cara kita menempuh perjalanan hidup,
Dari kelahiran sampai dewasa, semua komitmen kita,
semua kasih kita,
dan cara kita belajar menghadapi kekeliruan kita,
kekecewaan kita
Turut berperan dalam pertumbuhan umat manusia
Dalam perjalanan spiritual yang lebih panjang.

Sesudah itu, pertanyaan filosofis dan fundamental kita adalah : Bagaimana seharusnya kita mengisi hari-hari dalam perjalanan hidup kita yang teramat singkat itu?.

Tuhan mengingatkan manusia :

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Dan berjaga-jagalah(bersiap-siaplah) kalian akan datangnya suatu hari yang pada saat itu kalian semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”.

 

Artikulli paraprakSetaman: Hikayat Para Penyiram Bunga
Artikulli tjetërDi Sidang MK, Peneliti LIPI Nilai Ahmadiyah Tak Bisa Dianggap Sesat