Intervensi program ke Desa Grogol ini dapat dibilang lebih telat dibanding dua desa lainnya. Namun , respon masyarakatnya ternyata jauh lebih cepat, kendati sempat terjadi penolakan dari aparat desa setempat, karena menganggap adanya campur tangan pihak luar untuk mengatasi masalah di desa yang menjadi kewenangannya akan memperkeruh keadaan. Beruntung, beberapa pemuda dan tokoh agama di situ justru merespon positif dan siap menjadi penggerak dan melakukan perubahan di tingkat desa.
“Kami sudah tidak bisa lagi melakukan Nadran, karena tradisi nadran dianggap musyrik oleh beberapa warga lainnya. Padahal, tradisi Nadran sejak dulu sudah ada dan biasa dilakukan warga Grogol.
Nadran merupkan wujud dan bentuk rasa syukur kami sebagai nelayan atas ikan yang ada di laut. Tradisi ini kami lakukan tiap tahun sekali di bulan September,” demikian ungkap Raden Dwiki Tiyas, 30 tahun, pemuda Desa Grogol Gunungjati dalam acara asessment yang dilakukan Fahmina pada 13 April 2019.
Asessment tersebut dilakukan Fahmina dalam rangka untuk mengetahui gambaran tentang kondisi kerentanan masyarakatnya, dan modalitas yang dimiliki komunitas dalam rangka kontra narasi radikalisme dan ekstrimisme di Desa Grogol, Kecamatan Gunungjati sebagai bagian dari program Inisiatif Pencegahan Kekerasan (IPK) yang dijalankan Fahmina Instutute dengan dukungan The Asia Foundation (TAF). Di Kabupaten Cirebon, program IPK yang dijalankan Fahmina Institute di tiga desa, dua di antaranya bernama sama, yakni Desa Grogol, tapi berada di kecamatan yang berbeda, yakni Desa Grogol yang berada di Kecamatan Kapetakan dan Desa Grogol di Kecamatan Gunungjati.
Hasilnya, dari assessment, ditemukan bahwa di desa ini masih menjadi tempat perekrutan dan penyebaran paham radikalisme dan ekstrimisme. Semua itu terjadi karena hubungan sosial kemasyarakatan yang sebelumnya penuh guyub mengalami pergeseran dari kehidupan komunal ke individual. Hal tersebut berakibat sikap cuek dan tidak peduli terhadap kedatangan warga dari tempat lain sebagai pendatang baru. Mereka juga tidak berusaha untuk tahu siapa dan latar belakang pendatang yang masuk desa tersebut. Pada saat yang sama, minat anak-anak terhadap belajar agama/mengaji yang dilakukan setelah Maghrib juga mengalami penurunan.
Pendatang ini ternyata kelompok intoleran yang juga selalu membid’ahkan dan memusyrikkan aktivitas keagamaan yang dilakukan masyarakat, misalnya tradisi Nadran atau Ngunjung Buyut yang telah dilakukan tiap tahun oleh warga. Akibatnya, situasi itu memunculkan dan menjadikan konflik di tengah masyarakat makin terbuka, serta amat rentan terjadi kekerasan antar warga yang disebabkan perbedaan paham keagamaan.
Saat itu Fahmina tidak langsung memberikan intervensi ke desa ini. Dalam skala prioritas kerentanan, Fahmina menetapkan tiga titik/desa yang perlu diintervensi selain desa ini. Dua dari kabupaten dan satu dari Kota Cirebon. Dalam perjalanannya di kelurahan/diwilayah lain kurang mendapat respon dari masyarakatnya, sehingga pada bulan Juli 2019, Fahmina kembali mengalihkan intervensinya ke Desa Grogol Gunungjati.
Kendati intervensinya dapat dibilang lebih telat dibanding dua desa lainnya, yaitu Desa Orimalang dan Grogol Kapetakan, respon masyarakat Desa Grogol ternyata jauh lebih cepat. Memang pada awal assessment, sempat terjadi penolakan dari aparat desa setempat, karena menganggap adanya campur tangan pihak luar untuk mengatasi masalah di desa yang menjadi kewenanganya. Beruntung, beberapa pemuda dan tokoh agama di situ justru merespon positif dan siap menjadi penggerak, di antaranya adalah Johanto, pemuda penggerak pasar online di Grogol. Ibu Badriyah, pengurus Majlis Taklim dan Aktifis Fatayat Desa Grogol. Imron Rosyadi, Pengurus Forum Komunikasi dan Masjid desa Grogol. Raden Dwiky Tiyas, pemuda dan seniman yang selama ini aktif menghidupkan tradisi-tradisi lokal seperti Nadran, sedekah bumi, ngunjung buyut dan yang lainnya., Pak Ahmad Kaur Kesra dari Desa Grogol.
Pada awal Juli 2019, mereka kami libatkan untuk mengikuti pelatihan sebagai penggerak desa. Pelatihan dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas agar mampu menjadi penggerak desa, baik dalam pengorganisasian masyarakat maupun melakukan deteksi dini radikalisme dan ekstrimisme. Hal ini sungguh berbeda dengan desa lainnya —Desa Orimalang dan Grogol Kapetakan— yang butuh pendekatan cukup lama agar dapat menerima pentingnya melakukan upaya pencegahan paparan radikalisme. Padahal, berdasarkan data dan asessment, jelas-jelas di dua desa tersebut ada warga yang telah ditangkap dan tersangka aparat hokum karena keterlibatnnya sebagai teroris, juga ada potensi yang mengarah munculnya konflik tajam yang disebabkan oleh perbedaan pandangan keagamaan.
Setelah satu tahun lebih Desa Grogol-Gunung Jati ini mendapat intervensi dari Fahmina, mulai dari penguatan, pendampingan, pengorganisasian, serta diajak bertemu dengan komunitas lain untuk belajar, desa ini mulai mengalami perubahan. Jika sebelumnya, kelompok-kelompok jam’iyah dan mushola seperti tidak bisa menyatu, masing-masing berkegiatan dan saling menutup diri. Bahkan, di suatu waktu, kami pernah diingatkan bahwa orang luar tidak bisa mengusik desa tersebut, jika dilanjutkan, bisa-bisa muncul konflik yang besar yang sebenarnya sudah tersimpan lama.
Program IPK menjadikan warga menjadi lebih terbuka dan mulai terbangun komunikasi untuk menjalankan program secara bersama dan saling mengisi. Ibu Badriyah, 40 tahun, salah satu penggerak di desa Grogol mengaku bahwa, “Setelah didampingi Fahmina, Alhamdulillah, kami (warga Grogol) yang awalnya susah berkomunikasi antar musholla sekarang sudah cair.” Badriyah yang aktif di majelis taklim (pengajian) dan juga aktivis Fatayat (organisasi perempuan di bawah naungan Nahdlatul Ulama) rajin mengadakan pengajian rutin bulanan di salah satu musholla ini juga menambahkan bahwa sekarang ada kegiatan silaturrahim yang diselenggarakan secara rutin bulanan antar musholla. Pelaksanaannya, dilaksanakan secara bergilir bergantian dari musholla ke musholla lainnya. Untuk mendukung kegiatan, diadakan iuran bulanan untuk konsumsi kegiatan silaturrahim bulanan tersebut. Selain kegiatan antar musholla juga yang sekarang lebih cair dan terbuka.
Imron Rosyadi, 40 tahun, tokoh agama setempat, menegaskan bahwa dalam perkembangannya, sekarang tidak ada lagi warga yang berani membid’ahkan, atau mengkafirkan tradisi yang biasa kami jalani, seperti Nadran dan Ngunjung Buyut. Mereka yang sebenarnya bukan warga asli Desa Grogol itu kini tidak berani membid’ahkan dan mengkafirkan tradisi kami. Mereka berani karena merekalah yang mengisi pengajian di sini. “Sekarang pengajian di musholla, kita sendiri yang mengisinya, menentukan siapa yang kami undang untuk mengisi materi. Semua itu dimulai oleh tim Fahmina dengan mengadakan ceramah keagamaan dengan mengundang materi yang menyejukkan dan mengajarkan toleransi dan saling mengharagai.
Hingga saat ini, pengajian itu tetap berjalan dan dilakukan bergiliran dari musholla yang satu ke musholla lainnya yang ada di desa. Alhamdulillah, sejak akhir 2019, kami pun menyelenggarakan tradisi Nadran dan Ngunjung Buyut lagi tanpa adanya konflik. Bahkan Nadran, berjalan amat meriah dan penuh kedamaian. Hampir seluruh warga, terutama warga Grogol yang tinggal di pinggir pantai, ikut serta dan memeriahkan acara tersebut,” tambah Imron menjelaskan kondisi desanya sekarang ini.
“Pengetahuan dan ketrampilan para penggerak desa makin meningkat dalam melakukan deteksi dini atas paham yang akan memunculkan konflik dan kekerasan di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, penggerak desa ini yang kemudian mengajak warga yang masih memiliki sikap intoleran terhadap paham yang lain untuk tidak mempengaruhi atau menyebarkan paham yang dianggap akan memunculkan konflik. Kini, warga jadi lebih peduli terhadap pendatang baru, terutama yang akan mengisi halaqoh-halaqoh yang selama ini rutin mengisi di mushollah yang ada,” tutur Imron.
Para pemuda yang sebelumnya mereka tidak peduli dengan kondisi dan situasi sosial kemasyarakatan, bahkan banyak dari mereka yang mencari eksistensinya di luar desa, kini memiliki ruang untuk berinteraksi dan saling bertemu untuk menyalurkan kreativitasnya. Salah satunya, di awal-awal pandemi Covid-19, para pemuda ini menginisiasi pasar online sebagai antisipasi dampak pandemic terhadap mata pencaharian warga, terutama yang mata pencahariannya sebagai nelayan. Salah seorang pemuda Grogol yang aktif sebabagi penggerak, Johanto, 35 tahun, mengungkapkan bahwa pasar online dibuat agar dapat membantu para nelayan yang kesulitan menjual hasil tangkapan laut karena mobilitas yang dibatasi, sekaligus menjaga kehidupan perekonomian warga desa tetap bisa berjalan. “Respons masyarakat amat baik dan antusias. Bahkan, beberapa warga dari luar Grogol, ikut masuk dalam pasar online yang kami buat,” kata Johan.
Bukan hanya itu, para pemuda juga mendorong pemerintah desa untuk membuat tim deteksi dini pencegahan radikalisme dan ekstrimisme. Mereka melihat bibit konflik yang berujung pada konflik dan kekerasan itu nyata ada. Untuk itu, sebelum meluas, akar masalah itu harus dicegah sedini mungkin agar tidak berkembang luas.