Problematika yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia akhir-akhir ini bukan hanya mempermasalahkan garis territorial negara, seperti di Ambalat, dan klaim-mengklaim kebudayaan semata. Akan tetapi kasus kekerasan atau pidana kini sedang menghantui dua Negara yang bertetangga tersebut. Kasus prahara Manohara misalnya, kini sedang banyak menghiasi wajah media cetak maupun elektronik yang melibatkan dua negara serumpun ini sebagai berita utama.
Kasus ini melibatkan salah satu raja Kelantan, Malaysia, Fakhri dengan istrinya, Manohara Adelia Pinot. Sejak awal menikah pada tahun 2008, kabarnya, Manohara bukannya mengarungi biduk rumah tangga yang harmonis, bahagia dan penuh kasih sayang bersama suaminya. Akan tetapi, hubungan mereka berdua terus diwarnai berita miring perihal kekerasan rumah tangga yang menimpa Monohara oleh suaminya, Fakhri. Konon, problematika sebenarnya sudah muncul ketika Manohara diisukan hamil di luar nikah dan dipaksa menikah dengan Fakhri bahkan dengan ancaman penggalan kepala.
Kasus ini mencuat ketika ibunda Manohara, merasa ada kejanggalan yang tejadi dengan pernikahan mereka. Seperti Manohara yang dilarang bertemu dan berkomunikasi dengan ibunya. Sampai akhirnya, Manohara pulang ke Indonesia dengan penuh perjuangn. Hari Selasa (9/6/2009) akhirnya Manohara resmi dinyatakan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dengan adanya bekas-bekas luka yang ada dalam sebagian tubuhnya. Bekas luka-luka itu, tutur Dr. Mun’im, dokter yang menanani fisum Manohara seperti bekas sayatan, dan bekas suntikan. Menurut ahli forensik dari RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) Jakarta ini, kekerasan dalam kasus Manohara sudah masuk derajat dua atau bisa dikatakan sang pelaku dapat langsung ditahan.
Kasus Manohara hanya satu dari ratusan atau bahkan jutaan kasus yang menimpa sang istri akibat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sang suami. Kekeraan terhadap istri dalam rumah tangga sekarang ini bukan lagi berita yang hangat, akan tetapi akan terus menjadi berita yang aktual. Melihat kasus Manohara, semakin membuktikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga (khususnya terhadap istri) seakan-akan tidak ada henti-hentinya dan ini membuktikan lemahnya pemahaman hak yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga.
Akar Masalah KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan, selain kekerasan yang juga sering menimpa perempuan di ruang publik. Kekerasan terhadap perempuan kerap kali terjadi, karena masih kentalnya budaya patriarkhi di masyarakat kita. Di mana seorang laki-laki dianggap lebih unggul dari pada perempuan hanya karena ia laki-laki, sementara perempuan dianggap lebih rendah hanya karena ia perempuan. Laki-laki layak jadi pemimpin hanya karena dia laki-laki, sementara perempuan tidak boleh memimpin hanya karena dia perempuan. karena Asumsi patriarkhal seperti inilah yang menyebabkan relasi antara laki-laki dan perempuan jadi timpang. Akibatnya banyak perempuan gampang dan rentan menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Dalam UU KDRT yang disebut kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya kekerasan fisik, tapi juga kekerasan psikis, ekonomi, dan seksual. Meski demikian, bila terjadi kekerasan jarang atau sedikit sekali yang mengungkapkan, menceritakannya atau melaporkannya kepada pihak berwajib. Hal ini disebabkan karena masih kentalnya anggapan bahwa ini urusan dapur dan rahasia rumah tangga yang tabu untuk diceritakan dan diketahui orang lain.
KDRT dalam Pandangan Islam
Islam mengajarkan, hidup berumah tangga mesti dilandasi dan dijalankan dengan penuh kasih sayang. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Ingatlah, aku berpesan agar kalian berbuat baik kepada perempuan karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan diantara kalian. Padahal kalian sedikitpun tidak berhak memperlakukan mereka kecuali untuk kebaikan“ (HR. At-Turmudzi). Hadits yang lain dari Muawiyah ibn Hidah, nabi bersabda; “Ya Rasulallah, apakah yang patut kita perbuat terhadap para istri? Rasul menjawab: pergaulilah istrimu sesuai dengan seleramu, berilah ia makan jika kamu makan, berilah pakaian jika kamu berpakaian, tetapi janganlah kamu tampar wajahnya dan jangan pula kamu pukul” (HR. Ahmad Ibn Hambal). Semua ulama, baik yang memahami hadits tersebut secara tekstual maupun secara metaforis, sepakat bahwa sikap suami yang tidak memukul dan memberi maaf adalah tindakan terpuji. Pandangan ini sejalan dengan makna ayat 237 surah al-Baqarah.
Dari beberapa hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebagai seorang suami tiada dibenarkan melakukan kekerasan atau tindakan dzalim terhadap sang istri karena bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Lebih-lebih apabila problematika seperti itu dapat menyebabkan permusuhan antar dua negara yang serumpun seperti Indonesia dan Malaysia.
Dari situ kita bisa benar-benar merenungkan dan sadar bahwa kita harus menyayangi istri, dan memberikan hak-haknya dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam.[]
* Penulis adalah pelajar MANU Putra Buntet Pesantren, salah satu penyiar Radio Komunitas Best FM (Jaringan Radio Komunitas Fahmina-institute), dan pengurus IKPB (Ikatan Asrama-Asrama Buntet Pesantren) Cirebon Jawa Barat