CIREBON – Dua kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diadukan ke Polresta Cirebon. Kasus pertama diadukan Ny Dn (25) warga Jl Kapten Samadikun. Ibu rumah tangga itu dianiaya oleh suaminya Mr (26) yang berprofesi sebagai tukang becak. Korban yang melapor ke polisi menceritakan, Rabu (24/12) sang suami meminta dibuatkan sarapan. Sebagai istri yang baik, Ny Dn menjalankan permintaan itu. Tapi bukannya senang dibuatkan sarapan, Mr malah memaki-maki istrinya bahkan melucuti pakaian istrinya lalu dibakar. Tak sampai di situ, Mr menarik istrinya ke kamar dan memukulinya hingga mengalami memar di bagian tangan, bahu, serta kepala.
Sementara peristiwa kedua diadukan Ny Nj (29), warga Jl Kebon Cai, Kecamatan Pekalipan. Wanita yang bekerja di salahsatu klub hiburan malam itu melaporkan suaminya Tf (29). Menurut Nj, Jumat dini hari (26/12) sekitar pukul 01.15, Tf menjemput dirinya menggunakan sepeda motor menuju ke rumah. Sesampai di rumah, Tf langsung menganiayanya dengan cara menendang hingga terjerembab ke lantai. (Sumber: Radar Cirebon).
Kedua kasus kekerasan di atas adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang masih banyak terjadi di masyarakat kita. Terungkap dalam Pelatihan Perpolisian Masyarakat (POLMAS) II yang diselenggarakan Fahmina Institute pada 23-24 Desember 2008, bahwa diantara banyaknya persoalan sosial yang muncul dan berkembang di masyarakat, ada tiga persoalan yang dirasa paling sering muncul, adalah persoalan KDRT sebagai persoalan dengan angka tertinggi. Baru kemudian persoalan kenakalan remaja dan kejahatan perdagangan perempuan dan anak (trafiking).
Meski terungkap sebagai persoalan yang banyak muncul di masyarakat, tetapi sejatinya, fenomena KDRT adalah fenomena gunung es. Yang terungkap ke permukaan hanya kecil saja, sementara kejadian sebenarnya yang belum terungkap, sangatlah banyak.
Akar Masalah KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan, selain kekerasan yang juga sering menimpa perempuan di ruang publik. Kekerasan terhadap perempuan kerap kali terjadi, karena masih kentalnya budaya patriarkhi (pengunggulan terhadap laki-laki) di masyarakat kita. Di mana seorang laki-laki dianggap lebih unggul dari pada perempuan hanya karena ia laki-laki, sementara perempuan dianggap lebih rendah hanya karena ia perempuan. Laki-laki layak jadi pemimpin hanya karena dia laki-laki, sementara perempuan tidak boleh memimpin hanya karena dia perempuan. karena Asumsi patriarkhal seperti inilah yang menyebabkan relasi antara laki-laki dan perempuan jadi timpang. Akibatnya banyak perempuan gampang dan rentan menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, sedikitnya dapat dakegorikan dalam beberapa bentuk; kekerasan fisik, kekerasan physokologis (kejiwaan), dan kekerasan seksual. Keempat bentuk kekerasan tersebut sering kali menimpa perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Meski demikian jarang atau sedikit sekali yang mengungkapkan, menceritakannya atau melaporkannya kepada pihak berwajib. Ini karena masih kentalnya anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan dapur dan ‘rahasia’ rumah tangga yang tabu untuk diceritakan dan diketahui orang lain.
Istri mana sih yang tidak malu bila ketahuan bahwa suaminya adalah pelaku kekerasan? Istri mana yang tidak malu jika ketahuan bahwa rumah tangganya tidak harmonis? Istri mana yang tidak takut bila melaporkan kasusnya, lalu suaminya marah dan menceraikannya, sementara dia tergantung secara ekonomi, dan anak-anaknya masih kecil? Ini semua membebani perempuan, terutama istri untuk mengungkapkan kekerasan yang menimpanya.
Perasaan susah dan terbebani untuk mengungkapkan KDRT yang terjadi itu bukannya tanpa sebab. Itu semua merupakan akibat dari kentalnya budaya patriarkhi yang merambah ke segala lini kehidupan. Sampai kemudian ada asumsi bahwa perempuan dan istri yang baik adalah yang manut dan nurut terhadap suami, meski sang suami sering berbuat kekerasan terhadapnya.
Jika KDRT Terjadi, Maka….
KDRT, sejatinya bukan persoalan rumah tangga saja, bukan sesuatu yang harus dirahasiakan, ditutup-tutupi dan tabu diceritakan ke orang lain. Dengan diterbitkannya Undang-Undang PKDRT, maka KDRT adalah tindak pidana, karenanya baik korban maupun orang lain yang menyaksiskan, mendengar, melihat kekerasan dalam rumah tangga, maka sebaiknya melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Atau, korban dan masyarakat juga bias melaporkan kasus KDRT ke beberapa LSM yang ada di Cirebon dan sekitarnya, seperti WCC Mawar Balqis di Arjawinangun, LSM Bannati di Gempol dan juga ke Fahmina Institute.
Penulis adalah alumni pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon yang berhidmah untuk kerja-kerja kemanusiaan di Fahmina Institute