Setiap tanggal 18 Desember, seperti biasa buruh migran seluruh dunia merayakan Hari Migran Internasional. Ketetapan Hari Migran Internasional bersamaan dengan ditetapkannya Konvensi (kesepakatan) PBB tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya. Perayaan ini hari buruh migran ini merupakan bentuk pengakuan internasional terhadap hak-hak kaum migran sebagai buruh, migran dan manusia. Juga berarti pengakuan dunia terhadap banyaknya masalah yang menimpa buruh migran.
Yang membedakan peringatan Migrant Day kali ini dengan peringatan tahun sebelumnya adalah peringatan kali ini berada dalam situasi krisis ekonomi dan keuangan dunia yang sedang terpuruk. Krisis ekonomi dan keuangan dunia ini sejatinya dapat dan akan berdampak pada semakin meningkatnya penindasan dan penghisapan antar manusia. Ini terjadi baik yang dilakukan di negeri-negeri penerima maupun pengirim TKI. Di negeri penerima, TKI ditindas melalui politik kontrol perbatasan, xenophobia, dan eksploitasi kerja dengan upah murah. Sedangkan di negeri pengirim, TKI ditindas melalui pengiriman “satu-pintu” dan berbagai bentuk kebijakan yang menindas serta menciptakan migrasi yang tidak aman.
Pada Tahun 2008 ini saja, lebih dari 150 buruh migran Indonesia (BMI) atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) meregang nyawa ketika bekerja. Sementara itu kondisi TKI di luar negeri dinilai menyerupai kondisi kerja para budak pada masa lampau. Atas nama pembangunan dan devisa negara, perusahaan pengerah tenaga kerja swasta dan pemeritah secara sistematis terus menjalankan sistem yang memperbudak rakyat dengan secara masif terus mengirimkan tenaga produktif ke luar negeri, tanpa jaminan keamanan yang memadai.
TKI: Penghasil Devisa Yang Ditelantarkan Negara
Saat ini tidak kurang dari 6 (enam) juta buruh migrant Indonesia/TKI yang tersebar diberbagai negara tujuan seperti; Timur Tengah, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Jepang,Amerika dan Eropa sebagaimana di informasikan oleh pemerintah sendiri bahwa buruh migran telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, dimana pemasukan devisa dari buruh migrant menduduki posisi kedua terbesar setelah minyak dan gas bumi. Sebagai catatan sementara, kontribusi devisa dari remitan buruh migran pada tahun ini mengalami peningkatan menjadi sekitar Rp 85 triliun. Angka ini jauh lebih besar dari tahun 2007 yang mencapai Rp 44 triliun dan tahun 2006 yang mencapai angka sebesar Rp 35 triliun. Angka-angka tersebut didasarkan pada penghitungan yang dilakukan perbankan dan perusahaan jasa pengiriman uang. Bila perhitungannya ditambahi dengan jumlah kiriman uang yang dilakukan secara langsung, diduga jumlah riilnya mencapai dua sampai tiga kali lipat dari angka yang tertera di atas.
Namun celakanya, kontribusi ekonomi yang cukup besar dari uang remitan buruh migran/TKI tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, khususnya dalam konteks perlindungan atas hak-hak dasar buruh migran. Jumlah kasus-kasus kekerasan, kematian, deportasi dan dampak pengetatan kontrol perbatasan, dan berbagai kasus pelanggaran lainnya yang menimpa buruh-buruh migran Indonesia tetap saja tinggi. Pemerintah seolah telah semakin “mati-rasa”. Masalah-masalah muncul dan mendera para TKI pun semakin pelik dan kompleks. Hulu dari masalah-masalah itupun tidak hanya berasal dari keabaian pemerintah, melainkan juga berasal dari semakin agresifnya tekanan kebijakan dan menguatnya tensi ketegangan diantara instansi-instansi pemerintah sendiri yang berebut kue berupa remitan dan “setoran” buruh migran.
Tentu saja ini akibat kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan di dalam negeri dialihkan dalam strategi tak bermarbat yakni menjual murah buruh ke luar negeri tanpa perlindungan. Meningkatnya jumlah penempatan TKI setiap tahun berbanding terbalik dengan kualitas perlindungan yang diterima para TKI. Setiap tahun masalah yang menimpa TKI terus berulang.
Pembelaan Rasulullah terhadap buruh
Persoalan TKI sangat kompleks, namun kurang mendapat perhatian serius pemerintah. Fakta di lapangan, koordinasi ketenagakerjaan kita carut-marut. Berbagai kasus TKI di Malaysia menunjukkan bahwa mereka tidak terurus. Hak-hak mereka tidak diperhatikan. Baik itu gaji yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR), maupun gaji yang tidak dibayar.
Dalam Islam, pemerintah dengan kekuasaannya tidak punya mandat lain kecuali memberikan perlindungan terhadap rakyat, khususnya rakyat kecil, seperti para TKI. Selain itu juga butuh peran semua pihak, terutama kaum terididik, LSM, dan kelompok-kelompok kritis lainnya dalam menyingkapi persoalan TKI. Salah satu bentuknya adalah dengan mengontrol kebijakan undang-undang tenaga kerja atau perburuhan. Diakui atau tidak, mayoritas penduduk Indonesia adalah kaum buruh atau pekerja, dalam bentuk apa pun.
Kita bisa membayangkan, jika undang-undang atau kebijakan-kebijakan yang ada tidak berpihak pada mereka. Tentunya, amat berat beban hidup yang bertengger di pundak mereka. Beban itu bukan hanya diakibatkan dari Upah Minimum Regional (UMR) yang sangat rendah, jam kerja yang berlebihan, atau tidak adanya tunjangan yang memadai, tetapi juga dari situasi dan kondisi ekonomi nasional yang carut-marut dan tidak stabil, harga-harga barang pokok yang tinggi dan biaya pendidikan yang mahal. Kondisi-kondisi riil seperti itu, harus menjadi pertimbangan, landasan, dan prinsip dalam pembuatan kebijakan.
Penulis adalah alumnus pesantren Siti Fatimah Cirebon dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekarang aktif melakukan kerja-kerja sosial kemanusiaan di Fahmina Institute