Walaupun perayaan kemerdekaan yang tepatnya pada bulan Agustus belum waktunya. Akan tetapi, semangat kemerdekaan itu perlu disuarakan saat ini. Karena saat ini sedang muncul histeria sekelompok orang, yang merasa paling berhak mendiami tanah Indonesia. Mereka melupakan kelompok yang lain, bahkan bersikeras mau mengusir dan membunuh elemen yang dianggap berbeda dari mereka. Histeria ini menafikan arti sebuah ‘kemerdekaan’.
Kita harus sadar bahwa Bangsa Indonesia, ketika menyatakan diri ‘MERDEKA’, dari bangsa penjajah, saat itu terdiri dari berbagai etnis, bangsa, bahasa, dan ragam agama serta kepercayaan. Kemerdekaan, disuarakan untuk mereka, yang telah lama mendiami tanah air Indonesia. Untuk mereka, dengan keragaman tersebut, yang telah berada pada saat ‘kemerdekaan’ diproklamasikan. Kemerdekaan Bangsa Indoneisa, direbut dan diperjuangkan, untuk melestarikan dan menjaga keberadaan semua elemen Bangsa, tanpa membedakan satu suku dari suku yang lain, atau ras, kelompok, agama dan kepercayaan.
Dasar Negara Indonesia, yaitu Pancasila, ketika dirumuskan dan diproklamasikan, juga dengan memperhatikan berbagai elemen yang ada. Keberagaman bangsa Indonesia adalah keniscayaan dan dijamin Dasar Negara dan konsitutusi yang ada. Yaitu UUD 1945. Sekali lagi, karena kemerdekaan diproklamasikan untuk menjamin keberadaan mereka, dengan berbagai keragaman sebagaimana adanya.
Kemerdekaan bagi seluruh elemen bangsa Indonesia, artinya tidak boleh ada satu kelompok yang mengaku paling sah mendiami bumi pertiwi Indonesia. Atas nama apapun. Kemudian melakukan pendataan terhadap orang-orang yang berbeda dari kelompok tersebut, untuk dikeluarkan dari tanah air Indonesia. Karena kemerdekaan untuk semua, bukan hanya untuk satu atau dua kelompok. Bukan pula hanya untuk mayoritas dengan menafikan mereka yang minoritas.
Lima Prinsip Kemanusiaan
Imam al-Ghazali (w. 505/1111 M), pemikir muslim sunni klasik terbesar mengatakan: ”Cta-cita Islam adalah terwujudnya kebaikan manusia (kemaslahatan) yang menyeluruh dan terhapuskannya situasi yang buruk” . dalam kehidupan bermasyarakat perwujudan ini harus memperhatikan lima aspek dasar, yakni: Pertama, perlindungan terhadap ’keyakinan Agama’ (hifzh al-din) dan kepercayaan. Sehingga tidak seorangpun boleh memaksa ataupun menindas orang lain hanya karena keyakinan, agama, atupun kepercayaan.
Kedua, perlindungan terhadap jiwa (hifzh al-nafs), sehingga tidak boleh seorangpun yang berhak melukai, membunuh, atau melakukan kekerasan terhadap orang lain.
Ketiga, perlindungan terhadap akal fikiran (hifzu al-’aql) sehingga tidak boleh terjadi pemasungan dan penjegalan terhadap pemikiran dan pendapat orang lain oleh siapapun serta tidak boleh dirusak oleh apapun. Seperti minuman keras, narkoba dan lain-lain. Keempat, perlindungan terhadap kehormatan dan keturunan (hifzh al-nasl dan hifdz al-’irdh), sehingga tidak boleh terjadi pemerkosaan, pelacuran, dan pelecehan atau eksploitasi seksual lainnya atau bahkan membiarkan perempuan hamil menanggung beban beratnya sendiri.
Kelima, perlindungan terhadap hak milik pribadi maupun masyarakat, (hifzh al-mal), sehingga tidak boleh terjadi adanya perampasan terhadap hak milik pribadi, korupsi, penyelewengan, penggelapan, penggusuran, perusakan lingkungan dan alam serta eksploitasi-eksploitasi haram lainnya oleh siapapun, individu, masyarakat, maupun institusi negara.
Pernyataan Imam al-Ghazali di atas kini telah menjadi prinsip-prinsip dasar kemanusiaan universal atau yang dikenal dengan hak-hak asasi manusia. Formulasi tujuan syari’ah (maqashid al-Syari’ah) yang dibuat oleh sang Hujjat al-Islam ini, disimpulkan dari seluruh teks Islam, baik al-Qur’an, Hadits, Ijma dan berbagai pandangan ulama. Nabi Muhammad SAW menyampaikan hal ini dalam pesan terakhir kepada: ”Katakan kepada mereka: darahmu, hartamu, dan kehormatanmu adalah suci, sesuci hari ini sampai masanya menghadap tuhan”. Menolak atau mengingkari prinsip-prinsip kemanusiaan diatas sama artinya dengan membenarkan penderitaan dan penindasan berjuta-juta manusia. Dalam Islam tidak memiliki pandangan seperti ini.
Tulisan ini awalnya adalah catatan bincang-bincang ringan dengan KH. Syarif Utsman Yahya, yang sebagian dtulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir dan telah dimuat diwebsite Fahmina edisi 15 Mei 2008. Dan sebagian lagi dilengkapi oleh redaksi al-Basyar, Vera Shofaryanti.