Ini bisa kita lihat dengan mudah pada saat pemilu sebagaimana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang memilih gubernur dan bupati atau wali kota. Meski sulit dibuktikan secara hukum, masyarakat sebanarnya paham betul berapa uang yang disiapkan untuk kerja tim sukses seorang calon kepala daerah. Sementara itu, jarang sekali –untuk tidak menyatakannya tidak ada- penguasa (birokrat atau politisi) yang berani melakukan hal serupa dengan membiayai pendidikan anak-anak miskin, yatim-piatu dan korban “bencana alam” dan korban penggusuran.
Dalam kenyataan sehari-hari, jarang ditemukan penguasa atau pejabat (birokrat di puncak kekuasaan, DPR/DPD/DPRD) yang berpihak menyusun mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kaum lemah (mustadh’afin). Sulit rasanya sekarang ini, menemukan penguasa yang “berani lagi berqurban” seperti saat memperebutkan jabatan dalam pilkada atau pemilu. Seakan kebaikan yang dilakukan penguasa hanya diberikan demi mempertahankan atau merebut kekuasaan itu sendiri. Sehingga ketika kekuasaan itu sudah di dapat, maka kebaikan itu berbalik menjadi pemanfaatan atas kelemahan rakyat untuk meraih keuntungan pribadi. Sementara kepentingan rakyat, hanya menjadi masa lalu, ketika suaranya masih dibutuhkan. wallahu ‘alam bi al-shawab.
Untuk itulah penting kiranya menempatkan semua kegiatan ibadah keagamaan seperti haji dan qurban, kaitannya dengan pemberdayaan sosial dan ekonomi rakyat banyak. Dalam hal ini mari kita bertanya: “Apa pengaruh ibadah haji dan qurban yang kita lakukan bagi pemberdayaan kaum miskin (mustadh’afin)?”
“QURBAN”, yang secara etimologi berarti “pendekatan”, mengandung pesan tentang upaya mendekatkan diri kepada Tuhan dengan jalan mempersembahkan hidup kita untuk perjuangan membela nilai-nilai kemanusiaan. Nilai kebajikan ibadah qurban bukan terletak pada persembahan daging hewan qurban, melainkan ketakwaan dan ketulusan (QS al-Hajj: 37).
Sejarah pelaksanaan ibadah qurban ini bermula dari pengujian kesetiaan Ibrahim terhadap Tuhannya. Pada usianya yang telah mencapai 85-an tahun, Ibrahim belum dikaruniai keturunan. Sebagai ijabah dari permohonannya, Tuhan kemudian mengaruniakan seorang keturunan yang kemudian diberi nama Ismail (Tafsir al-Azhar, juz 23: 218). Lima tahun kemudian, Ibrahim bermimpi menyembelih Ismail. Setelah dimusyawarahkan, kemudian keduanya sepakat bahwa mimpi tersebut merupakan perintah dari Tuhan yang harus dilaksanakan. Di akhir kisah, Ismail diganti dengan seekor domba besar yang kemudian disembelih Ibrahim (QS. 37: 100-107).
Sejatinya Ibadah qurban adalah perintah Tuhan untuk mengorbankan dan menyembelih sifat egois, mementingkan diri sendiri, rakus dan serakah yang dibarengi dengan kecintaan kepada Allah swt yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas dan kerja-kerja sosial. Kecintaan pada Allah swt ditunjukkan Nabi Ibrahim dengan kesediaan menyembelih putra kesayangannya Ismail. Sesungguhnya Tuhan menyuruh Ibrahim menyembelih putranya, yang disampaikan melalui mimpi, di samping ujian keimanan juga sarat pesan-pesan sosial kemanusiaan. Kepekaan sosial, keberpihakan kepada kaum lemah dan dilemahkan (mustadh’afin) adalah nilai sekaligus moral sosial yang terkandung dalam ibadah qurban.
Ibadah qurban hakikatnya mengajarkan kita untuk menolak segala bentuk egoisme dan keserakahan. Karena kedua sifat itu hanya akan merampas hak dan kepentingan kaum dhuafa (lemah) dan mustadh’afin (dilemahkan) . Di sisi lain ibadah qurban dapat menjadi solusi terhadap berbagai bentuk ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang masih mewarnai di sekitar kita.
Perintah berqurban bagi mereka yang diberi kelebihan rizki dan membagikan dagingnya untuk kaum miskin, mengandung pesan penting “bahwa Kita bisa dekat dengan Allah swt hanya ketika Kita bisa mendekati dan menolong saudara-saudara kita yang serba kekurangan”. Semangat menyembelih hewan qurban yang dagingnya dibagikan kepada kaum fuqara dan masakin (fakir dan miskin), jelas dimaksudkan agar terjadi solidaritas dan tolong-menolong antar-anggota masyarakat. Yang kaya menolong si miskin dan sebaliknya yang miskin menolong si kaya. Sikap solidaritas ini diharapkan akan mengurangi kesenjangan sosial dan kondusif bagi pemberdayaan masyarakat.
Meski perayaan ‘idul qurban di rayakan setahun sekali, namun semangat berqurban tersebut seharusnya tidak hanya muncul ketika datang ‘Idul Adha. Ia harus terus -menerus hidup dalam diri kita. Tentu saja, di luar ‘Idul Adha, berqurban itu tidak harus berbentuk penyembelihan hewan. Ia dapat berupa apa saja yang bisa mendorong terwujudnya masyarakat yang berdaya, bermartabat yang selalu menjunjung nilai-nilai keadilan.
Kita sangat berharap dengan perayaan ‘Idul Adha akan muncul semangat berqurban di masyarakat, apalagi pemerintah. Semangat berqurban ini sangat penting artinya dalam membangun masa depan bangsa dan negara ke arah yang lebih maju, lebih baik, dan lebih sejahtera. Makna utama ibadah qurban yang berupa kesediaan untuk berkorban sebagaimana ditunjukkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dapat dijadikan inspirasi bagaimana kita bisa saling berbagi dan memberdayakan sesama umat manusia, terutama mereka yang kurang beruntung. Wallahu’alam bi al-shawab.[]
(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. VI ed. 24 – tanggal 21 Desember 2007)