Tindak kekerasan, apapun bentuknya, merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kekerasan timbul karena adanya dominasi satu pihak terhadap pihak lain. Dalam relasi gender, pihak yang paling rentan menjadi obyek kekerasan adalah perempuan. Hal ini disebabkan masih kentalnya budaya patriarkhi di masyarakat, yang menempatkan perempuan sebagai subordinat, lemah dan karenanya pantas untuk ditindas.
Sebut saja Sri (30), Ibu rumah tangga yang sehari-harinya bekerja untuk menutupi kebutuhan keluarganya. Ia menjadi penopang ekonomi keluarga mulai dari kebutuhan sehari-hari, keperluan sekolah 2 orang anaknya dan lain sebagainya. Sedangkan suaminya tidak bekerja dan hanya menikmati hasil keringat Sri, bahkan ia menggunakannya untuk berfoya-foya, minum-minuman keras dan berjudi bersama teman-temannya.
Belum habis beban yang ditanggung Sri dalam mencari nafkah, sang suami juga dengan tanpa sebab seringkali memarahi dan menyalahkan bahkan melakukan tindakan kekerasan kepadanya baik fisik maupun psikis. Dan itu terus berlangsung selama usia perkawinan mereka yang memasuki hampir 12 tahun. Selama itu pula Sri tidak bisa berbuat apa-apa, Sri hanya bisa menerima setiap perlakuan keras suami terhadap dirinya.
Tindak kekerasan yang dialami seorang perempuan baik fisik maupun psikis adalah bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Hal ini seringkali terjadi dan menimpa mereka. Bahkan si korban pun seolah turut melanggengkannya dengan bersikap diam, entah karena takut dengan adanya ancaman yang diterimanya dari pelaku, doktrin agama, ataupun nilai dan budaya yang berkembang di masyarakat kita.
Kokohnya pagar dogma dan nilai budaya tentang peran dan posisi seorang perempuan dalam ruang domestik (rumah tangga), hingga kekerasan terhadap perempuan dalam ruang domestik (kekerasan dalam rumah tangga/KDRT) dapat terjadi terus-menerus tanpa hambatan. Ketakutan, sikap pasrah dan nrimo yang dilakukan seorang istri adalah bentuk dari sebuah wujud pengabdiannya. Kadang tidak jarang seorang Sri (dalam hal ini adalah korban KDRT) disalahkan dengan peristiwa yang telah menimpanya. Apakah harus terus begini perlakuan yang mesti diterimanya, setelah pengabdian yang ia berikan kepada suami dan anak-anaknya? Kepada siapakah seorang Sri mengadukan deritanya ? Bukankah pernikahan yang selama ini oleh Sri dan Sri-Sri yang lain dianggap sebagai suatu media untuk seorang perempuan dan laki-laki saling berbagi kasih, dengan harapan terbentuknya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebagaimana yang tertuang dalam al-Quran ( Al-Rum: 21), namun realitanya menjadi neraka bagi keduanya?
Terjadinya kasus seperti yang dialami oleh Sri merupakan bagian dari romantika kehidupan serta batu sandung dalam Rumah Tangga. Sehingga apa yang dialaminya dianggap sebagai sebuah permasalahan privasi dan tidak boleh orang lain mengetahuinya. Itulah doktrin serta belenggu sebuah kekerasan terhadap perempuan dalam wilayah rumah tangga.
Mencari akar permasalahan
Kekekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi dalam ruang publik. Bahkan kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut lebih banyak terjadi di ruang domestik (rumah tangga). Namun kekerasan dalam rumah tangga ini sering kali disepelekan oleh kita. Karena dianggap sebagai suatu aib jika orang lain mengetahuinya. Bahkan seorang perempuan tidak diperkenankan untuk menceritakannya pada orang tua, saudara bahkan orang luar. Kultur masyarakat kita yang menganggap sebuah permasalahan keluarga sebagai wilayah privasi dan sebagai hal yang biasa dan diperbolehkan jika seorang laki-laki (suami) memukul istrinya, memiliki istri lebih dari satu orang, dan mengharuskan si istri patuh terhadap semua perintah yang diberikan oleh sang suami. Adanya nilai bahwa perempuan adalah mahluk lemah dan laki-laki adalah seorang pemimpin (kepala rumah tangga), adalah salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga.
Kemudian tinggi dan kuatnya budaya patriarkhi yang begitu mengakar di masyarakat kita, dengan menganggap bahwa laki-laki adalah mahluk yang memiliki hak superioritas (paling hebat/nomor satu) sedangkan perempuan merupakan makhluk inferior dan subordinat dari laki-laki (makhluk nomor dua). Selain pemahaman terhadap doktrin agama yang dipahami secara sepihak (hanya dari sudut pandang laki-laki) mengakibatkan kebijakan yang diambil pun berdasarkan pada kepentingan laki-laki; seperti penafsiran hadis atau dalil yang berpihak pada laki-laki (misoginis). Hal ini dapat dilihat pada penafsiran kepatuhan istri dengan berargumentasikan hadits “bahwa seorang istri akan dilaknat oleh malaikat sampai dengan waktu subuh jika ia tidak memenuhi ajakan suaminya untuk berhubungan suami istri” atau ayat yang membolehkan seorang laki-laki memperistri lebih dari satu orang asalkan ia dapat berbuat adil (QS. al-Nisa: 3 ).
Banyak sekali kaum laki-laki yang menggunakan ayat ini sebagai sebuah legitimasi untuk melakukan poligami. Menganggap telah berbuat”adil”, jika ia dapat memenuhi kebutuhan materi dan pemenuhan biologis (nafkah batin) yang teratur (rutin), sebagai salah satu bagian dari keadilan dia memperlakukan istri. Sedangkan untuk sebuah rumah tangga tidak hanya kebutuhan materi dan biologis saja, melainkan sebuah kasih sayang yang menjadi dasar utamanya. Sedangkan untuk kasih sayang serta adil sendiri masih lentur dan sifatnya relatif (tidak ada parameter yang baku). Bahkan budaya kita pun mencengkeram begitu kuat perilaku perempuan. Seorang perempuan yang tidak dapat menjaga rahasia keluarganya dianggap sebagai istri tidak sholeh. Budaya kita menganggap diam dan nrimonya seorang perempuan adalah surga yang akan didapatkannya.
Yang harus Dilakukan
Setiap perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat menceritakan atau mengadukan apa yang dialaminya pada orang yang dia percaya. Kemudian meminta bantuan pada pihak yang berwenang untuk mendampingi pemecahan kasusnya (polisi misalnya jika terjadi penganiayaan). Atau meminta bantuan pada LSM atau WCC (Women Crisis Centre) Melakukan interpretasi ulang terhadap teks-teks yang misoginis. Mengikis sedikit demi sedikit budaya yang selalu menyudutkan perempuan baik dalam posisi maupun peranannya. Semua derita itu dapat diminimalisir dan diakhiri jika kita semua menyadari bahwa perempuan bukan obyek kekerasan.
Sebagaimana yang telah diwanti-wanti oleh Nabi Muhammad SAW : “Ingatlah, aku berpesan agar kalian berbuat baik kepada perempuan karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan diantara kalian. Padahal kalian sedikitpun tidak berhak memperlakukan mereka kecuali untuk kebaikan. (HR. At-Turmudzi). Wallahu A’lam []
(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. I ed. 21 – tanggal 17 Januari 2003)