Sabtu, 23 November 2024

SERAGAM MEMBAWA PETAKA

Baca Juga

Malang nian nasib Judin -seorang pelajar dari. Sekolah Teknik Mesin (STM) Negeri Cirebon,  babak belur dihajar oleh pelajar STM PUI. Kejadiannya si Judin pulang dari sekolah menyetop dan menaiki kendaran elf jurusan Cirenon-Kadipaten, di tengah perjalanan kendaran yang ia naiki di stop oleh segerombolan pelajar yang ingin pulang dengan arah yang sama, singkat cerita, segerombolan pelajar tadi ternyata anak STM PUI, di dalam perjalan salah satu dari gerombolan tadi melihat salah satu penupang yang mengenakan baju dan emblim STM Negeri yang ternyata si Judin.

 

Kemudian dengan tanpa sebab permasalahan segerombolan pelajar tadi langsung mengeroyok si Judin yang tidak tahu apa-apa hingga babak belur. Kejadian ini sangat memprihatinkan dan mengganggu pikiran kita dan bisa juga kejadian serupa menimpa pelajar-pelajar lain yang jadi korban karena baju seragam dan emblim yang dikenakanya.

Kasus lain misalnya, rasanya kita masih teringat dalam pikiran, ketika pemilu tahun 1999 kemaren, ada pemberitaan-pemberitan media, rusuh antar massa pendukung antar partai, saling mencaci, saling menjelek-jelekkan kelompok lain, bahkan masih terasa hangat ketika terjadinya kerusuhan tahun 2001 di Jawa timur partai Golkar diserbu oleh massa. Itu semua hanya  karena seragam, kita tidak tahu sebenarnya mungkin mereka itu masih saudara, masih teman disektor lain. Kedua fenomena diatas siapa yang bertanggung jawab masyarakat, pemerintah atau kita. Ini terkait dengan keamanan dan kenyamanan warga negara, sudah seharusnyalah pemerintah menjamin untuk keamanan warganya.

Dengan melihat kejadian diatas hati nurani kita bertanya kenapa sih orang bisa jadi musuh hanya karena beda baju dan simbol, apa itu tujuan dari seragam. Sementara penguasa  seragam merupakan bagian dari kebijakan dengan aturan seperti; murid diwajibkan oleh sekolahnya, karyawan oleh atasannya, tentara, polisi dan yang lainnya, untuk menggunakan seragam bahkan diwajibkan berseragam, seragam yang dipakai pelajar mulai tingkat Taman Kanan-kanan, Sekolah dasar – sampai tingkat Menengah umum (SMU), wajib mengenakan seragam tak perduli pelajar itu kaya atau miskin. Apakah tujuan seragam itu kerapihan, persamaan, apa itu? Sementara proses dan akibat dari seragam tidak terpikirkan.

Seragam Hanya Simbol
Terkadang seragam dijadikan simbol persamaan oleh sebagian orang karena dengan  dalih seragam supaya orang bisa terlihat sama sementara dibalik seragam itu kita tidak tahu, apakah dia tahu bahwa seragam yang ia kenakan membawa pada kebaikan pada dirinya atau sebaliknya, kita juga tidak tahu apakah ia memakai seragam itu rela mengenakannnya atau jangan-jangan ada tekanan atua  ia takut, kalau ia tidak mengguanakan ia akan merasa tidak diakui oleh kelompoknya, sehingga ia dengan terpaksa mengenakan seragam. Bahkan yang sedih lagi orang yang sebenarnya tidak mampu untuk membeli seragam, dengan terpaksa dia berhutang pada yang lain hanya demi seragam.

Dulunya seragam itu hanya dikenakan oleh serdadu dan juru rawat dan itu merupakan keistimewaan buat mereka. Hal itu memang pantas buat mereka, karena serdadu dan juru rawat mengemban tugas istimewa buat warga masyarakat. Yang satu menyelamatkan warga dari serangan musuh, yang satunya lagi merawat warga dari penderitaan petaka. Itu sederhananya. Lalu diikuti oleh polisi hingga merambah keinstansi-instansi pemerintah, perusahaan swasta hingga kesekolah-sekolah bahkan sampai digunakan untuk panitia-panitia hajatan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun rakyat biasa seragam itu dikenakan, lalu pertanyannya apakah seragam itu penyeragaman?

Tapi kini keadaannya berbeda. Bagi pelajar misalnya, seragam yang jadi kebanggaannya hanya untuk menunjukkan kerapihan dalam sekolah/belajar. Pada kenyataan lain  seragam  tidak lagi  untuk menyeragamkan tapi memiliki makna yang lebih menakutkan dan nista bagi pemakainya, baik sebagai alat atau benda. Seragam telah berubah menjadi simbol dan lambang   permusuhan dan dijadikan alat perkelahian,  dan lambang permusuhan ini tidak tertutup kemungkinan terjadi  di sekolah saja, tapi bisa terjadi pada sektor politik, sektor sosial, sektor ekonomi, sehingga kita tidak heran kalau  antar partai ribut, antar pejabat ribut, antar instansi ribut apalagi Militer sama rakyat.Karena memang realita memaknai seragam adalah lambang permusuhan. Kemudian pertanyaanya, haruskah kita bermusuhan jika beda seragam?

Seragam  tidak lagi identik dengan penyetaraan dan penyeragaman, karena  pada kenyataanya masih sering terjadi ketidakadilan manusia, baik dibidang pendidikan, politik, sosial, ekonomi termasuk Gender (perbedaan jenis kelamin) disemua sektor. Kita dibikin nista gara-gara seragam, kita dibikin berkuasa gara-gara seragam, kita dibikin tega dan kasar kepada orang lain gara-gara seragam, bahkan kita dibikn mati gara-gara seragam. Realitas lain juga menunjukan seragam bukan lagi sebagai penyeragaman, tapi lebih mengerikan ia telah menjadi atribut jabatan dan simbol kekuasaan. Seragam bukan lagi suatu privilage. Tingkah lakunya tak lagi malu-malu dan terjaga dari kesan aib.  Seragam membuat  kuptasi. Seragam telah berubah menjadi lambang kekuasaan dan pemaksaan terhadap yang lain yang dibawahnya bahkan seragam telah menjadi simbol komunitas yang bisa menjadi malapetaka, seperti kasus pelajar tadi. Lalu untuk apa seragam?

Apa yang mesti dilakukan?
Tak habis pikir keluarga, saudara, teman bisa jadi korban, bisa jadi sasaran penindasan, pemukulan, penganiayaan, bahkan pembunuhan, kalau seragam dimaknai dengan realitas diatas. Seragam adalah simbol formal , ia tidak mengindikasikan subtansi kemanusiaan apapun.

Subtansi kemanusiaan yang diusung oleh Islam, seperti keadilan, kebijakan, kemaslahatan dan kasih sayang, akan tereduksi apabila perhatian kita tentunya pada seragam dan simbol-simbol formal. Kita mestinya tertipu oleh seragam, terbuai, apalagi termotivasi untuk melakukan kekerasan hanya karena seragam. Seragam juga tidak bisa diartikan penyeragaman, dalam bentuk apapun. Karena manusia secara alami tidak diciptakan oleh Allah dengan keadaan dan kondisi yang berbeda-beda, perbedaan ini yang harus diakui, dihormati, dan dijadikan media pertukaran, persaudaraan.

 

Tanpa perbedaan, kita tidak akanmengenal satu sama lain, tanpa kenaltak mungkin ada cinta. Tanpa cinta tak akanmenjadi persaudaraan, bahkan nabipernah mengucapkan “Allah tidak melihat bentuk rupa dan jasadmu, melainkan Allah melihat hati dan perbuatanmu”(Al-Hadis), Dan Allah juga menegaskan”..(Roziqoh)

 


(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. I ed. 10 – tanggal 06 September 2002) 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya