PELANGGARAN Hak Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salah satu wajah masa lalu bangsa Indonesia yang tak bisa dielak. Pemilu 2014 adalah waktu yang tepat untuk memastikan bahwa presiden baru adalah orang bersih dan memiliki komitmen untuk mengungkap segala pelanggaran HAM. Kita semua patut bertanya: Berapa banyak rakyat Indonesia yang (di) hilang (kan) dengan paksa tak ketahuan rimbanya hingga kini? Tak ada jawaban dan hitungan yang pasti. Kudeta yang gagal pada September 1965 saja telah menghilangkan anak negeri ini antara 500 ribu hingga lebih dari satu juta rakyat.
Aksi gerakan para aktivis sejak 1966 hingga 1998 telah melahirkan penculikan, pembunuhan, penghilangan, dan pemenjaraan ribuan jiwa. Beberapa saat menjelang Orde Baru menyerah, ribuan rakyat terpopor bedil, ditembak mati, perempuan dan anak diperkosa-dilecehkan dan hingga kini 14 aktivis belum diketahui nasibnya, hilang entah di mana.
Sementara itu Kontras Jakarta saat ini mengantongi 1.039 nama orang hilang di Indonesia yang entah di mana mereka sekarang. Aksi penentangan terhadap Orde Baru sebenarnya hanyalah serangan balik yang dilakukan oleh rakyat, mahasiswa, para aktivis, kaum cendikia, seniman, dan seterusnya, atas penyelewengan dan kesewenangan atas kekuasaan. Sebagaimana kita tahu, rezim Orde Baru yang digadhang-gadhang rakyat penuh harap, terlalu cepat mengecewakan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) rezim itu telah menggelontor hanya dalam waktu kurang dari empat tahun sejak jatuhnya Soekarno.
Oleh karena itu, rezim tersebut terus dikontrol para aktivis sejak awal 1970-an, bahkan tuntutan Soeharto untuk mundur dari presiden telah bergulir dan baru berhasil 30 tahun kemudian.Dari sejarah kontrol yang dilakukan para aktivis itu, menelisik orang hilang di Indonesia dapat dimulai. Peristiwa Mahasiswa Menggugat di akhir 1960-an, diteruskan dengan Golput, Malari, Tanjung Priok, Petrus, Nipah, Santet Banyuwangi, Marsinah, hingga Gerakan 1998, dapat memaksa The Smiling General itu meninggalkan istana.
Pada saat bersamaan, Orde Baru terus mengetatkan gerakan ketertiban dan keamanan, sehingga lahir operasi militer di beberapa wilayah, pembredelan media cetak dan buku, pengebirian kampus, pencekalan para aktivis, dan operasi intelijen sebagai “penjaga” para aktivis.
Partai politik juga diberangus dengan membonsai PPP dan PDI. Ketika PDI tampak mengalami kebangkitan dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum, Orde Baru melakukan huru-hara Kongres Medan dan tragedi 27 Juli.
Gerakan-gerakan yang dilakukan masyarakat dihadapi Orde Baru dengan bahasa kekerasan dan teror politik. Operasi militer, penjagaan kepada para aktivis, pencekalan dan teror kepada rakyat pada umumnya agar “tertib”, telah memperpanjang daftar rakyat sipil dan aktivis yang mati, cacat, hilang tak kembali, dan dipenjara.
Sikap Orde Baru atas kontrol, ternyata semakin mengukuhkan rezim itu benar-benar mengidap paranoid akut, kapitalis-otoriter sejati. Ketakutan kepada dunia, akibat “perjuangan” untuk stabilitas politik demi pembangunan. Pada masa itu, Orde Baru melakukan pertahanan diri melalui aksi-aksi tandingan. Demo dijinakkan dengan demo, rakyat dijerat dengan perizinan, UU Subversif, dicekal, dan diancam.
Ciri rezim yang kapitalis otoriter itu adalah melakukan pelanggaran hak asasi manusia oleh aparatur negara, baik melalui tangan militer, paramiliter (milisi sipil yang dipersenjatai) yang dibentuk dan dibandari oleh negara.
Aparatur itu bertindak atas ideologi militerisme yang fasis dan bisa bertahan 32 tahun. Represi Orde Baru yang sedemikian kuat pada puncak kejayaannya sekitar 1980-an, melahirkan anekdot pelepas ketegangan di antara para aktivis: “Bila kita tidak bisa menyelesaikan Soeharto, biarkan diselesaikan oleh alam.
Benar saja kata Wallace Stevens, bahwa a violent order is disorder. Aksi brutal Orde Baru kepada rakyatnya menuai badai bagi rezim itu sendiri. Perlawanan rakyat semakin membesar bersama terbongkarnya kebobrokan-kebobrokan Orde Baru. Satu nyawa rakyat yang mati karena menuntut perubahan, melahirkan beribu aktivis baru, memperbesar gelombang perlawanan atas rezim.
Palu godam kekerasan yang dibanggakan Orde Baru malah menyegarkan gairah para aktivis. Gerakan damai Gandhi menjadi inspirasi untuk terus bergerak, maju, dan melawan. Mereka hafal di luar kepala pitutur Gandhi yang menantang gairah: Penguasa yang lalim bisa saja menyiksaku/ menghancurkan badanku/ mereka bisa saja membunuhku/ dan mendapatkan mayatku/ tetapi mereka tidak akan pernah/ mendapatkan kepatuhanku.
Bila duka mendera akibat represi Orde Baru kepada anak negeri, para aktivis mengancam Orde Baru dengan mencekam, seperti piwulang Tan Malaka: Suaraku di dalam kubur/ lebih keras/ dari pada di atas bumi.
Tumbangnya Orde Baru ternyata tidak dengan sendirinya orang-orang di negeri ini yang mati secara biadab, terpenjara tanpa proses hukum, dan hilang -baik yang sudah kembali maupun belum- dapat terungkap. Pergantian presiden berulang kali, ternyata tidak dapat menyentuh tragedi kemanusiaan itu. Sekali lagi, masih gelapnya kasus orang-orang hilang menunjukkan bahwa rezim Orde Baru yang kapitalis-otoriter masih berakar kuat di negeri ini. Atau, karena penguasa bangsa ini benar-benar bernalar cupet, terlalu pemaaf, dan sangat ringan melupakan kebiadaban? Atau juga memang orang-orang hilang menjadi kelaziman menggapai kekuasaan yang butuh tumbal? Suara kita yang akan memastikan, era otoriter nan kejam itu tak akan kembali.
___________________
Nurul Huda SA: Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1997-1999