Hajatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur Jawa Barat baru saja terlaksana minggu 24 Februari 2013. Dalam waktu yang sama Kota Cirebon juga mengadakan Pilkada bersamaan dengan Pemilihan Walikota (PilWal) dan Pemilihan Gubernur (PilGub). Penghitungan suara cepat atau dikenal dengan istilah quick qount langsung bisa terlihat siapa calon gubernur yang berada pada urutan pertama, kedua dan selanjutnya. Tapi jarang sekali atau bahkan tidak ada di quick qount menampilkan berapa prosentase yang tidak memilih (Golput) atau dijadikan Golput. Hari H pencoblosan penulis menyaksikan di TPS nampak sepi dari pemilih. Sore pasca pemilihan, penulis menerima sms dari rekan menyatakan juga lengangnya TPS di tempat rekan penulis. Penulis juga mencoba mengontak salah satu rekan yang bertugas di KPPS, lagi-lagi jawabannya “sepi ambring” (dengan logat Cirebon), sekitar 60 % yang tidak hadir, angka yang cukup fantastis hampir lebih setengah setengahnya dari 100 % Daftar Pemilih Tetap. Tidak itu saja penulis juga menyaksikan dari satu TPS di kediaman penulis dari 448 DPT yang mendapatkan surat undangan hanya 150 orang yang hadir. Di Kecamatan teman penulis pun lagi-lagi memunculkan angka yang sangat mencengangkan dari 1200 DPT yang datang hanya sekitar 400an.
Presentase Golput
Minggu (3/3/2013) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat mengumumkan hasil akhir rekapitulasi hitungan manual di Kantor KPU Jabar. Penetapan pengumuman setelah pimpinan KPU di Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat membacakan hasil perhitungan suara dalam Rapat Pleno. Suara terbanyak ditempati oleh pasangan petahana Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar dengan suara 6.515.313, runner up diisi oleh pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki 5.714.997.
Kemudian ditempat ketiga pasangan Dede Yususf Macan Efendi-Lex Laksamana Zainal 5.077.522, dan Irianto MS. Syafiudin-Tatang Farhanul Hakim 2.448.358 suara, serta di posisi terakhir Dikdik Maulana Arif Mansur dan Cecep Nana Suryana Toyib yang mendulang 359.233 suara. Suara sah keseluruhan mencapai 20.115.423 dan suara tidak sah mencapai 598.356. Jumlah suara sah dan tidak sah mencapai 20.713.779. Padahal jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilgub Jabar 2013 dalam rapat pleno rekapitulasi KPU totalnya 32.536.980 orang, jika dikalkulasikan dari angka DPT sekitar 32,5 juta orang dikurangi jumlah suara yang sah dan tidak sah sekitar 20 juta maka ada sekitar 12,5 juta orang yang tidak memilih (Golput) berarti ada sekitar 100% diatas pemenang pertama pada hajatan Pilgub Jabar. Iklim politik Indonesia secara umum, jabar khususnya sedang tidak menarik animo publik, hal ini tdk terlepas dari peran para pejabat terpilih khususnya dilevel pusat yang -tidak sedikit- terindikasi melanggar kepercayaan publik konstituen (contohnya: korupsi, dan ada juga yg lain).
Partisipan yang hanya mencapai 63 persen masih jauh dari harapan, dana yang sudah dikeluarkan pada hajatan ini tidak sedikit. Meskipun golput sering menjadi wacana umum, namun jenis golput sendiri bukanlah satu warna. Ada banyak jenis golput yang terjadi pada masyarakat. Hal ini karena dilatarbelakangi oleh motif dan kecenderungan masing-masing anggota masyarakat dalam memilih golput. Dalam pandangan Agus Riewanto (2008) minimal ada tiga tipologi golput di masyarakat yaitu golput ideologis, politik dan pragmatis. Golput ideologis dilatarbelakangi sikap penolakan apapun terhadap produk kekuasaan khususnya dan sistem sosial politik pada umumnya. Keinginan golput ini didasarkan pada idieologis masyarakat vis a vis negara. Didorong oleh keinginan terhadap nilai-nilai idieologi, bukan lahir karena serta merta dan memiliki semangat pengetahuan dan intelektual. Maka, ancaman golput ideologis ini dimungkinkan lahir dari kalangan masyarakat yang mempunyai basis pengetahuan dan wacana politik yang tinggi. Golput politis, terjadi akibat prefensi-prefensi politik.
Golongan dalam golput politis ini adalah masyarakat yang pada umumnya merasa diasingkan dari panggung politik atau pemerintahan. Kemunculan kelompok ini bisa lahir dari kalangan kaum politisi yang gagal dan kalah dalam merebut posisi tertentu dalam politik. Golput semacam ini mudah tumbuh di dalam sebuah negara yang ekstra liberal. Di dalam negara yang lebih di dominasi oleh sistem liberalisme, maka negara hanya menjadi pelayan bagi golongan kuat yang menang dalam persaingan. Pihak yang kuat dan menang akan selalu mendapatkan privilage dari negara, sementara pihak yang kalah dan tak berdaya semakin terpinggirkan. Sedangkan tipologi golput pragmatis, golput yang muncul berdasarkan kalkulasi rasional bahwa aktivitas memilih tidak akan berdampak lebih baik pada diri pemilih. Apabila kemenangan Golput bisa direalisasikan cukup menarik melihat hitung-hitungan diatas maka ada sekitar 12,5 juta rakyat Jawa Barat yang enggan memilih pemimpinnya atau tidak memiliki animo pada perhelatan ini, artinya melebihi dari jumlah kemenangan urutan pertama yang hanya 6 juta. Hal ini sekali lagi membuktikan GOLPUT menang. Bila jumlah golput ini menjadi oposisi, maka terjadi kesimbangan kekuatan, yang tentunya proses chek and balance yang notabene merupakan prinsip pemerintahan demokrasi akan sangat menarik untuk diikuti. Akankah angka Golput ini juga akan mempengaruhi pada Pilkada selanjutnya atau ditempat-tempat lain yang sedang sibuk melakukan perhelatan ini?.
Ahmad Muttaqin adalah Dosen Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon
Tulisan ini telah dimuat di Kabar Cirebon pada 23 Februari 2013