Senin (29/4/2013) ini, antropolog senior dari Utrecht University The Netherlands, ahli Islam Indonesia yang sangat empatik, mengunjungi Cirebon untuk mendiskusikan bukunya edisi revisi berjudul “Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat” dengan akademisi NU, kyai-ulama Pesantren, aktivis NU, dan pecinta kitab kuning, khazanah intelektual Pesantren. Tulisan ini sengaja ditulis untuk mengiringi wacana intelektual yang akan didiskusikan di gedung NU Center Sumber.
Sejatinya Pesantren
Banyak orang keliru memahami Pesantren. Seolah-olah Pesantren hanyalah bangunan fisik belaka. Ada asrama, masjid, madrasah, dan kyai serta santrinya, dengan mudah disebut atau diberi label Pesantren. Tentu tidak salah, tetapi itu a-historis.
Kelahiran dan keberadaan Pesantren tidak pernah bisa dipisahkan dengan apa yang disebut Kitab Kuning. Yakni, kitab berbahasa Arab, bertuliskan gundul, yang pada umumnya ditulis oleh ulama-ulama sebelum abad ke-10 H. Kitab ini dipandang sebagai referensi keislaman, khazanah intelektual klasik, yang otoritatif untuk menjelaskan ajaran Islam yang diwariskan Nabi Muhammad SAW.
Kitab Kuning adalah ruh dan semangat Pesantren. Bila ada Pesantren tanpa Kitab Kuning, maka berarti Pesantren tanpa ruh, alias jasad berjalan. Sebab dalam sejarahnya yang panjang, Kitab Kuning inilah yang membentuk kepribadian dan moralitas orang-orang Pesantren yang toleran, pluralis, demokratis, dan menghargai tradisi dan budaya lokal. Tradisi perbedaan pendapat yang biasa dilakukan ulama klasik dan kuatnya logika dalam pengambilan keputusan hukum fiqh terinternalisasi dalam tradisi Pesantren.
Oleh karena itu, jangan kaget bila hanya bermodalkan Kitab Kuning dan dengan pendekatan fiqh yang sangat tipikal, kyai-ulama Pesantren mampu menawarkan solusi terbaik dari kemelut ideologis pertautan antara Islam dan negara-bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Pada saat orang luar-Pesantren mendesakkan Negara Islam dengan gegap gempita, kyai-ulama Pesantren malah menetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai negara sah yang sudah final dalam pandangan fiqh.
Subkultur Pesantren
Karakter-karakter inilah yang oleh Gus Dur—sebutan KH. Abdurrahman Wahid—sebagai subkultur Pesantren. Pesantren memiliki kultur dan tradisi unik yang berbeda tetapi menjadi bagian dari tradisi Nusantara. Subkultur ini lahir dan berkembang dari dan oleh pemahaman masyarakat Pesantren atas Kitab Kuning yang dipelajarinya secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Meski tradisi Kitab Kuning didominasi intelektualisme Arab skolastik, tetapi masyarakat Pesantren mampu mengaitkanya dengan realitas keindonesiaan yang sinkretis dan multikultural.
Pada masa lalu, dan hingga hari ini, meski bacaan sehari-hari orang Pesantren kitab berbahasa Arab, dan mahir berbahasa Arab dalam pembicaraan dan tulisan, tetapi ekspresi keislamannya jauh dari kesan Arabisme. Lihat saja, sehari-hari orang Pesantren memakai sarung atau tapih, berpeci hitam atau kerudung, berbaju batik atau putih, dan bersandal jepit, tidak berjenggot, bercadar, berjambang, atau berjubah layaknya pakaian Arab. Kerangka berpikirnya pun tidak Arabistik, tetapi sangat mengindonesia dan menyatu dengan ritme keindonesiaan dengan seluruh darah, daging, dan urat nadi kebudayaannya.
Subkultur ini menjelaskan Pesantren sebagai kekhasan dalam kebudayaan Indonesia, yakni sublimasi yang unik antara universalitas Islam dengan lokalitas dan singkretisme kebudayaan Nusantara yang historis. Sulit diidentifikasi mana Islam dan mana budaya, keduanya menyatu dalam wujud “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara” dalam eskpersi keislaman orang Pesantren. Subkultur ini juga di antara unsur kebudayaan yang mampu menopang pelestarian dan kehandalan Pesantren, sehingga tetap hidup dalam segala gelombang kebudayaan yang terus berubah.
Pribumisasi Islam
Realitas keislaman ala Pesantren ini dan juga wujud keislaman yang menyatu dengan tradisi dan kebudayaan lokal keindonesiaan secara dinamis, Gus Dur pernah menyebutnya dengan istilah “Pribumisasi Islam”. Islam bukan Arabisme. Islam bukan Timur Tengah. Islam juga bukan Amerika atau Eropa. Islam adalah tata nilai kemanusiaan yang lahir dari kewahyuan Nabi Muhammad yang hidup dan menyatu dengan realitas kebudayaan di mana kaum Muslimin menginjakkan buminya.
Agenda pribumisasi Islam yang pernah dilontarkan Gus Dur, dipraktikkannya, dan diwujudkan dalam keislaman Pesantren, dewasa ini tampaknya terus menglami tantangan yang tidak sederhana. Gempuran globalisasi dan kapitalisme yang terus memperoleh ruang politik dan sosial dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia adalah fakta yang terus dihadapi. Sejalan dengan itu, masuk dan suburnya warna-warni Islam transnasional juga cukup memperoleh perhatian media juga menjadi tantangan lain bagi perwujudan pribumisasi islam.
Islam Pesantren kini tidak lagi milik Nahdlatul Ulama (NU) atau kyai-ulama tradisional, tetapi telah menjadi ajang perebutan ideologis kelompok-kelompok Islam lainnya. Buktinya, Pesantren-pesantren baru kini hadir dengan berbagai corak keislaman pendirinya, tidak lagi sebagaimana wujud Pesantren generasi awal pendiriannya. Pembelokkan telah banyak terjadi, akibat perebutan simbol dan makna kharismatik dan spiritualitas di balik Pesantren.
Meski demikian, saya percaya jangkar keislaman Pesantren akan menjadi acuan nasional bagi peradaban Islam Indonesia di masa mendatang. Islam Pesantren adalah Islam Indonesia yang moderat, toleran, pluralis, dan menghargai sendi-sendi kebangsaan, yakni Islam yang membumi dengan tanah dan air nusantara. Semoga Pesantren dan Kitab Kuning dengan keasliannya tetap terjaga, sehingga Indonesia berdasarkan Pancasila juga tetap langgeng. []
Tulisan ini merupakan hampiran wacana mengiringi Bedah Buku “Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat” karya Prof. Dr. Martin van Bruinessen.
Marzuki Wahid adalah Deputi Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dan Wakil Rais Syuriyah PCNU Kab. Cirebon