Membicarakan persoalan kesehatan reproduksi (Kespro) perempuan di masyarakat sampai saat ini masih dianggap tabu, saru (kurang sopan), bahkan tidak jarang menjadi paradoks. Akibatnya, lalu diabaikan. Realitas tersebut tidak jarang kita jumpai dalam kehidupan masyarakat.
Hal itu diungkapkan Maria Ulfah Anshor, Ketua Umum PP Fatayat NU, dalam Seminar Nasional “Pendidikan Kesehatan Reproduksi” di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra Buntet Pesantren, pada Jumat (2/4) lalu. Seminar ini diselenggarakan atas kerjasama Panitia Haul dengan Fatayat NU Kabupaten Cirebon dalam rangkaian kegiatan Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren. Selain Seminar, kegiatan Haul juga diisi dengan Bahtsul Masa’il, Sunatan, dan Tahlil Akbar.
Maria Ulfah memaparkan, selama ini banyak anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual, baik kekerasan yang dilakukan oleh bapaknya sendiri maupun media (elektronik maupun cetak). Contohnya kasus perempuan yang ditinggalkan suaminya hanya karena menjadi tukang ojek di sekitar Jakarta Selatan. Padahal dia meng-ojek karena turut serta meringankan beban ekonomi keluarganya.
“Berbicara Kespro pada dasarnya sama halnya berbicara tentang tubuh kita yang terdiri dari organ reproduksi, yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Namun organ reproduksi yang berbeda ini merupakan pemberian Allah SWT, yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik,” papar perempuan yang gencar menyosialisasikan pentingnya Kespro ini.
Sementara narasumber lain, KH. Marzuki Wahid, MA, Direktur Fahmina-institute Cirebon, menjelaskan bahwa reproduksi adalah proses menghasilkan keturunan (tanasul) yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara generasi manusia. Kespro harus dipahami tidak saja sehat secara fisik, namun sehat secara mental dan sosial sekaligus. Seseorang yang sehat secara fisik, belum tentu sehat secara mental dan sosial. Begitu pula sebaliknya.
Polemik Kesehatan Reproduksi
Dalam seminar yang 90% dihadiri ibu-ibu itu, Marzuki Wahid juga mengkritik hasil Bahtsul Masa’il Muktamar NU ke-32 di Makassar tentang wajibnya hukum khitan bagi perempuan. Menurutnya, NU dalam mengambil keputusan hukum semestinya tidak semata-mata melihat teks, tetapi juga memperhatikan konteks dan realitas praktik khitan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Khitan perempuan sebenarnya mempunyai hukum yang bermacam-macam. Menurut madzhab Syafi’iyyah memang hukumnya wajib, tetapi menurut madzhab yang lain hukum khitan bagi perempuan itu sunnah. Bisa jadi, apabila mempertimbangkan maslahat dan mafsadah atau praktik yang selama dilakukan sebagian masyarakat cenderung melukai, hukum khitan menjadi dilarang atau setidak-tidaknya mubah saja.
“Sehingga tidak mutlak seorang perempuan harus dikhitan yang melukai alat kelamin perempuan. Secara kesehatan, khitan perempuan lebih banyak dampak negatifnya daripada positifnya. Klitoris perempuan yang dipotong kemudian luka bisa menyebabkan infeksi pada alat kelamin perempuan (vagina). Khitan juga bisa membuat perempuan tidak merasakan kenikmatan ketika berhubungan seksual,” jelas Marzuki yang juga menekankan pentingnya cuti haid, hamil, melahirkan, dan menyusui bagi pekerja perempuan.
Marzuki menambahkan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan akhirnya mengungkung perempuan dalam jurang diskriminasi dalam konteks hak reproduksi dan hak seksualnya di antaranya adalah penafsiran terhadap teks al-Qur’an dan Hadits yang bias gender, streotyping terhadap perempuan, serta budaya patriarki.
“Kerangka pandang ulama-ulama kita dalam menafsirkan sebuah hadits ataupun ayat al-Qur’an terkadang masih terpenjara oleh teks saja, tidak melihat konteks dan realitas yang hadir. Masih jarang ulama yang memiliki empati tinggi terhadap perempuan. Padahal Nabi Muhammad SAW sendiri begitu memuliakan dan menghormati perempuan. Secara normatif, Islam memang sangat menghargai dan menghormati perempuan, namun dalam praktiknya kemuliaan ini dicederai sendiri oleh arogansi kelaki-lakian. Kespro bagi saya merupakan bagian dari Maqoshid al-Syari’ah dan salah satu dari al-Dlaruriyatul Khams, yakni hifdh al-nasl (perlindungan atas keturunan). Oleh karena itu, hukumnya wajib menjaga kesehatan reproduksi perempuan, bukan saja bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-laki,” tandas Kang Marzuki.
Konstitusi Perlindungan Perempuan
Secara konstitusional, hak-hak perempuan dilindungi dan dijamin, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat nasional, ada UUD 1945, UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Sedangkan di tingkat internasional ada DUHAM yang menyatakan bahwa kesehatan adalah hak setiap individu, Konstitusi WHO 1946, Deklarasi Alma Atta 1978, Deklarasi Kesehatan Dunia 1998, serta Deklarasi Kairo (1990) tentang pelayanan sosial dasar, dan lainnya.
Menurut Maria Ulfah, meskipun dalam Konstitusi sudah ada jaminan perlindungan hak-hak perempuan dan anak, namun satu pertanyaan yang muncul: apakah implementasinya sudah dirasakan oleh kaum perempuan? Hal ini diperlukan strategi yang komprehensif.
Beberapa strategi tersebut di antaranya, lanjut Maria, pemetaan ulang mengenai akar persoalan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) dengan memperhatikan keterkaitan antar faktor yang terkait. Kemudian, strategi pembangunan kesehatan perlu digeser dari pendekatan kuratif ke arah pendekatan promotif dan preventif, serta meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat secara tepat dan menyeluruh.
“AKI dan AKB dapat diturunkan sesuai dengan target Millennium Development Goals (MDGs). Selain itu, kematian ibu dan bayi dapat dicegah jika dibarengi dengan kebijakan di bidang kesehatan yang komprehensif dan menyeluruh dari stakeholders yang ada,” tegasnya.
Sementara menurut Iif Nashikhatul Ummah, S.Ag, mewakili Ketua Fatayat NU Kabupaten Cirebon, dalam sambutannya mengungkapkan betapa pentingnya seminar pendidikan Kespro bagi perempuan, karena AKI yang kian hari kian meningkat. AKI tahun 2007 mencapai 307/100 ribu KH dan AKB mencapai 35/1000 KH. Hal ini salah satunya dipicu oleh karena rendahnya mutu pelayanan pemerintah terhadap kesehatan reproduksi bagi perempuan. (Asih)