wacana untuk melakukan tes keperawanan bagi calon siswa sekolah menengah atas (SMA) merupakan tindakan yang sangat terbelakang. Bahkan bisa dibilang barbar. Ini adalah wacana yang sangat lebih dari terbelakang. Kebijakan yang dikeluarkan dengan logika yang sangat salah.
Kisah Nyata Siswi Korban Tes Keperawanan
Sungguh tak terbayangkan dalam hidupnya akan menanggung rasa sakit yang begitu sangat. Bukan hanya psikis karena rasa kecewanya atas segala tuduhan yang dilemparkan padanya. Tuduhan bahwa ia telah melakukan tindak asusila bersama teman lelaki di sekolahnya. Namun juga rasa sakit fisik, akibat tes keperawanan yang mau tidak mau harus dilakukannya. Ya, ia hanya ingin membuktikan pada semua orang yang menuduhnya bahwa ia sudah tidak perawan. Rasa sakit pun tak hanya berhenti pada tubuh dan perasaannya, tapi menjalar kepada orang-orang terdekatnya. Terutama orang tua dan saudara-saudaranya. Sungguh kabar tersebut menyebar begitu cepatnya, hingga ia tak mampu berbuat apapun selain diam mengurung di kamar bersama kesakitannya.
Sebut saja namanya Indah (18) (bukan nama sebenarnya). Menjelang beberapa bulan ujian akhir nasional, ia harus menerima kenyataan dikeluarkan secara sepihak dari sekolahnya. Ia adalah siswi di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Indramayu. Mengapa sepihak? Karena pada saat ia dikeluarkan, orang tuanya tidak ikut dilibatkan, atau setidaknya diinformasikan tentang masalah yang emnimpa anaknya. Surat pengeluran hanya ditandatangani Kepala Sekolah di hari yang sama. Tidak ada rapat, bahkan suara sang murid pun tak didengarkan. Pada saat para guru dan beberapa teman menuduhnya, dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menerangkan kondisi yang sebenarnya. Selain dilarang oleh gurunya untuk bersuara, ia telah menerima kekerasan fisik berupa tamparan di wajahnya.
Belum usai rasa malu akibat tercemar nama baiknya, Indah juga harus menerima kenyataan dari rasa sakit akibat visum di salah satu rumah sakit di Indramayu. Visum yang dilakukan secara tidak wajar itu, konon untuk membuktikan apakah ia masih perawan atau tidak. Ia diminta visum atas perintah Petugas Kepolisian resort (Polres) Indramayu, saat ia dan keluarganya melaporkan perilaku kekerasan dan tuduhan dari pihak sekolah kepadanya. Demi membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan masih perawan, ia pun menurut saja. Sayangnya, proses tes keperawanan tersebut tak seperti yang dibayangkannya. Menurut bidan Puskesmas di desanya, tes tersebut sangat tidak wajar. Rasa sakit yang sangat tidak hanya dirasakan saat proses visum, tapi juga selama berminggu-minggu setelahnya.
Kala itu, ketika tak ada satu pun pihak yang mau mendengar cerita yang sebenarnya, maka tes keperawanan adalah satu-satunya pilihan baginya. Sekali lagi, hanya untuk membuktikan bahwa ia masih perawan. Bahwa ia tidak melakukan tindak asusila yang dituduhkan padanya.
Pasca dituduh melakukan perilaku asusila dan dikeluarkan dari sekolah, bukan hanya nama baiknya dan orang tuanya yang sudah tercemar. Kini hampir seluruh desa mengetahui kabar yang jelas merupakan aib bagi keluarganya. Bahkan kini bukan hanya keluarganya yang sering diperlakukan sejumlah tetangga dengan kata-kata yang tidak mengenakkan, Indah sendiri sampai sekarang sering mendapatkan telfon dan sms-sms yang bernada kecaman, caci maki dan ancaman. Kini kasus yang menimpanya telah didampingi Women Crisis Center (WCC) Balqis, dukungan moral dari LSM seperti Fahmina-institute, serta Komnas Perempuan dan Anak.
Tes Keperawanan, Kebijakan yang Salah
Menurut salah satu Komisioner Komnas Perempuan, Nong Darol Mahmada, wacana untuk melakukan tes keperawanan bagi calon siswa sekolah menengah atas (SMA) merupakan tindakan yang sangat terbelakang. Bahkan bisa dibilang barbar. Ini adalah wacana yang sangat lebih dari terbelakang. Kebijakan yang dikeluarkan dengan logika yang sangat salah.
Tes keperawanan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pertama, karena hanya perempuan yang memungkinkan terdeteksi perawan atau tidaknya. Sedangkan laki-laki tidak bisa terdeteksi keperjakaannya. Kedua, diskriminasi perempuan di bidang pendidikan, jika kemudian terbukti si perempuan tidak perawan, lalu ditolak dan tidak mendapatkan akses pendidikan. Padahal pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang harus diberikan penyelenggara negara. Diskriminasi di bidang pendidikan sudah menyalahi Undang-Undang Dasar 1945.
Indramayu adalah salah satu daerah yang Bupatinya memberlakukan kebijakan tes keperawanan bagi siswi di Indramayu sebagai syarat masuk sekolah. Tahun 2007, wacana pemberlakuan kebijakan oleh Bupati ini pernah menuai kritik dari banyak pihak. Karena tes keperawanan bagi calon siswa tidak ada urgensinya. Karena hanya melihat dimensi keperawanan dari satu perspektif saja. Padahal, keperawanan bukan hanya karena hubungan seks. Selaput dara perempuan bisa saja robek karena jatuh dari sepeda. Kebijakan ini sangat mundur dan tidak memiliki perspektif kemajuan. Seharusnya kita sudah tidak lagi mempersoalkan keperawanan yang sangat personal. Dalam hal ini, seharusnya, penyelenggara negara membuat kebijakan yang membuat remaja lebih produktif. Seperti membuat arena olahraga atau kesenian yang mendorong remaja beraktivitas.
Jika persoalannya adalah menyikapi kenakalan remaja, tes keperawanan adalah cara yang tidak akan efektif. Pendidikan reproduksi di rumah atau di sekolah akan lebih efektif untuk mengatasinya. Akan lebih efektif lagi jika negara menyelenggarakan pendidikan seks untuk remaja seputar kesehatan reproduksi (Kespro). Remaja menjadi lebih paham perilaku seperti apa yang bisa menyebabkan kehamilan, serta bisa menghindari terjadinya kehamilan tidak diinginkan.
Tes keperawanan tidak menawarkan solusi apapun, termasuk untuk orang tua dalam mengawasi perilaku anaknya. Pemahaman mengenai hukuman sosial atau pengucilan sosial jika remaja hamil juga bisa menambah pemahaman remaja untuk menjaga perilakunya.
Makna Keperawanan Itu…
Sahabat Tanasul, apa yang muncul di benakmu ketika mendengar istilah keperawanan? Menyimak kisah nyata yang dialami Indah, tentunya kita semua tak berharap demikian. Tapi apa yang dialami Indah bukanlah satu-satunya contoh. Masih banyak lagi, anak perempuan yang mengalami hal serupa. Yang juga masih hangat di telinga kita adalah bagaimana nasib Fany Octora, 18Th. Fany dinikahi Bupati Garut, Aceng Fikri, lalu ia dicerai melalui sms setelah empat hari pernikahannya. Salah satu alasan Aceng Fikri menceraikan Fany adalah karena ia dinilai sudah tidak perawan lagi. Hampir semua masyarakat menilai alas an Aceng mengada-ada. Namun dalam diskusi kita di edisi kali ini adalah bagaimana masyarakat kita masih begitu dangkal memaknai keperawanan perempuan. “Karena tidak keluar darah pada saat malam pertama”, demikian umumnya masyarakat kita menilai perempuan yang sudah tidak perawan lagi.
Sebelum kita lebih jauh membahas tentang makna keperawanan itu sendiri, Tanasul akan berbagi pikiran kepada para sahabat. Terutama para perempuan remaja, tentang wacana tes keperawanan yang sempat bergejolak pada tahun 2004-an. Untuk itu, Tanasul mewawancarai sejumlah siswi SMU maupun SMK.
Menurut Nia (bukan nama sebenarnya), salah satu siswi SMK di Indramayu, ia mengaku malu jika harus melakukan tes keperawanan. Apalagi kalau tesnya ternyata sudah tidak perawan, padahal ia tidak pernah melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis.
“Iya, pastinya malu (melakukan tes keperawanan). Kalau hasilnya itu perawan, tapi kalau hasilnya nggak perawan pasti aku dituduh telah melakukan hubungan seksual, padahal aku nggak pernah melakukannya. Untung saja tes keperawanan tersebut tidak berlaku di sekolahku,” ungkap Nia sambil mengelus dada.
Selain Nia, salah seorang siswi SMU di Karangampel Indramayu, Seli (bukan nama sebenrnya), juga mengatakan bahwa setelah mendengar tentang tes keperawanan itu dia merasa deg-degan. “Terus terang saya deg-degan waktu mendengar tentang tes keperawanan itu, karena seakan-akan kami sebagai siswa disama ratakan dituduh sudah nggak bener niih…padahal kan nggak begitu? Cuma kita yang tidak pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah jadi terbawa-bawa misalnya disuruh tes keperawanan segala,” ungkap Seli dengan grogi ketika ditanya oleh kami.
Tes keperawanan di sekolah memang membuat para sisiwi merasa tidak nyaman baik secara fisik terlebih lagi psikisnya. Apalagi setelah adanya pernyataan dari seorang Bupati (Indramayu) yang menyatakan tentang tes keperawanan tersebut. Namun juga pernyataan Sang Bupati itu tidak langsung ditanggapi oleh para Kepala Sekolah Menengah Tingkat Atas di wilayah Indramayu untuk mentaatinya. Justru sebenarnya banyak para Kepala Sekolah yang menolak adanya tes keperawanan tersebut.
Seperti diungkapkan KH. Taufiq, Kepala Madrasah Aliyah (MA) Hidayatul Mubtadi’in di Desa Manggungan Terisi Indramayu.
“Awalnya tes keperawanan yang dinyatakan Bupati Indramayu itu kan bertujuan sebagai tindakan preventif atau pencegahan terhadap hubungan seksual di luar nikah (yang dilakukan para siswa di sekolah). Dan pada dasarnya tes keperawanan itu hanya sekedar wacana, ada pun jika ada salah satu sekolah yang melakukannya, saya kira itu tindakan yang kurang memikirkan perempuan, karena perempuanlah yang menjadi korban,” ungkapnya.
Ternyata tes keperawanan menimbulkan konflik antara yang pro dan kontra, namun tidak begitu ditindak lanjuti secara serius. “Saya justru sangat tidak setuju dengan adanya tes keperawanan, karena meskipun hanya sekedar wacana apalagi diundangkan atau sampai ada Perdanya, ini akan menimbulkan persoalan social selain daripada konflik antara yang pro dan kontra. Betul memang jika bertujuan untuk mencegah pergaulan bebas bagi siswa, namun akan berpengaruh terhadap perempuan atau siswi di sekolah,” paparnya lagi.
“Menurut saya keperawanan itu dilihat dari dua sisi, pertama ketika ada perempuan yang tidak perawan yang disebabkan karena sudah melakukan hubungan seksual, dan yang kedua tidak perawan karena factor kecelakaan murni, misalnya jatuh dan sebagainya. Jadi ketika ada perempuan yang tidak perawan karena kecelakaan murni lalu dianggap telah melakukan hubungan seksual di luar nikah, kasian juga perempuan kan? Menurut saya jika untuk menghindari hubungan seksual di luar nikah, ya tinggal nikahkan saja. Bukan dengan tes keperawanan segala.”
Ungkapan KH. Taufiq tersebut tentu berbeda dengan Kepala Sekolah lainnya. Meskipun sama-sama tidak setuju dengan adanya tes keperawanan yang diberlakukan di sekolah. Seperti Hariri, Kepala Sekolah Kepala Sekolah Sekolah Menengah Kejuruan Bina Bangun Mandiri (SMK BBM), Gabus Wetan, Indramayu.
“Bahwa memang benar adanya pernyataan Bupati Indramyu tentang tes keperawanan namun itu mentok di tingkatan wacana, itu hanya bersifat reaktif dari kasus yang terjadi di SMA I Sindang Indramayu, sehingga sampe mencuat ke media Nasional,” ungkapnya.
“Menurut saya, tes keperawanan itu penting apa nggaknya tergantung pada tujuannya untuk apa? Dan keperawanan itu sendiri perlu dijaga atau ngga? arti keperawanan menurut saya nggak begitu penting. Yang sangat penting justru menghindari hubungan seksual di luar nikah,” lanjut Hariri dengan mimik antusias.
“Jujur saya katakana, di sekolah ini pernah terjadi kasus seorang siswa hamil di luar nikah. Kami pihak sekolah sudah mengetahuinya, namun tidak mengeluarkannya dari sekolah. Hanya saja siswi tersebut keluar dari sekolah karena merasa malu sendiri. Dan kami pihak sekolah sama sekali nggak punya niat untuk mengeluarkannya”, ungkap Hariri tanpa rasa malu menceritakannya dengan lugas.
Tes keperawanan sebagai tindakan preventif terhadap pergaulan bebas, apa itu salah satu solusinya? Hariri sang Kepala Sekolah yang masih muda ini pun mengungkapkan bahwa solusi untuk tindakan preventif terhadap pergaulan bebas itu bukanlah tes keperawanan.
“Menurut saya, tindakan preventifnya adalah penguatan karakter siswa yang dimulai dari keluarga yang harmonis, pendidikan dasar yang berbasis agama (Madrasah dan Pesantren), serta lingkungan yang baik.”
Lalu Apa Makna Keperawanan?
Kata “perawan” dalam kamus bahasa Indonesia, atau “virgin” dalam bahasa Inggris, maupun “bikr” dalam bahasa Arab, mempunyai arti seseorang yang belum pernah disentuh atau belum pernah menikah dan belum pernah berhubungan intim dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Kata “perawan” dalam bahasa Indonesia bersinonim dengan kata “gadis” yang mempunyai arti yang sama. Namun jika diteliti, ternyata kata gadis tersebut berasal dari bahasa Arab yang berarti suci, atau keperawanan adalah lambang kesucian dari seorang perempuan.
Robek atau Tidaknya Selaput Dara, Bukan Tolok Ukur “Masih Perawan atau Tidak”
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah keperawanan yang selalu diidentikkan dengan pecahnya selaput dara yang telah menjadi mitos di masyarakat. Padahal faktanya secara medis, robeknya selaput dara tidak harus diikuti dengan keluarnya bercak darah. Ada beberapa factor yang menjadi penyebabnya:
- Terlalu rapuh: bisa jadi selaput dara itu sudah robek sebelumnya karena terlalu rapuh. Beberapa jenis olahraga seperti berkuda, bela diri, bersepeda dan sebagainya bisa menjadi penyebab robeknya selaput dara. Apalagi kalau selaput daraya termasuk jenis yang rapuh.
- Kelewat elastic: tidak adanya bercak darah di malam pertama mungkin saja diseabkan belum robeknya selaput dara karena sifatnya sangat elastic. Harap diketahui, membran ini sangat fleksibel. Pada beberapa kasus ditemukan bahwa elastisitas selaput dara memungkinkannya tdak robek pada awktu pertama kali berhubungan seksual. Bahkan ada yang baru koyak setelah perempuan tersebut melahirkan!
- Darahnya tidak banyak: atau bisa saja sebenarnya keluar bercak darah, padahal karena sedemikian tipisnya, selaput dara tidak selalu membuktikan bahwa perempuan belum pernah melakukan hubungan seksual masih teruji kegadisannya.
Macam-macam Selaput Dara
Ternyata tidak hanya tubuh yang bisa dilihat bentuknya, selaput dara pun mempunyai bentuk dengan derajat kelembutan dan fleksibilitas yang berbeda-beda. Semuanya bersifat individual, seperti penelitian yang dilakukan Frank H. Nette, MD yang termuat dalam bukunya “The Human Sexuality”. Menurutnya ada bermacam bentuk selaput dara, yaitu:
- Amular Hymen adalah selaput melingkari ubang V
- Septate Hymen adalah selaput yang juga ditandai beberapa luang yang terbuka, tapi lebih kecil dan jumlahnya lebih banyak.
- Introitus adalah selaput pada perempuan yang sangat berpengalaman dalam berhubungan seksual, bisa saja lubang selaputnya membesar, namun masih menyisakan jaringan selaput darah.
Keperawanan (Virginitas) dalam kaca mata orang Timur lebih merupakan persoalan cultural. Hanya saja ada ketimpangan untuk ketidakadilan gender di situ, di mana perempuan cenderung dipojokkan dan dituntut untuk keperawanannya, sementara laki-laki tidak pernah dipermasalahkan keperjakaannya.
Virginitas kemudian menjadi sebuah mitos yang sangat sakral, sehingga seolah-olah jika perempuan tidak virgin (perawan) lagi, habislah seluruh harapan hidupnya. Oleh sebab itu, soal selaput dara tidak bisa menjadi satu-satunya ukuran moral untuk menentukan baik-buruknya seorang perempuan, sebab bisa jadi ia tidak virgin karena mungkin diperkosa, padahal di situ cenderung dalam posisi lemah, atau mungkin berolah raga dan lain sebagainya. Sehingga sangatlah naïf dan tidak adil, jika mengukur moralitas hanya semata-mata karena ia tidak perawan, yang biasanya ditandai oleh robeknya selaput darah.
Menurut Hj. Sukanti HR. S.Pd, Wakil Ketua Bidang Kesejahteraan Sosial Aisiyah Muhammadiyah Cirebon.
“Definisi keperawanan yaitu jika belum tersentuh, intinya itu kan? tersentuh di sini dalam arti tersentuh hubungan seksual, sebenarnya ini kaitannya dengan ilmu kedokteran atau medis dan saya kurang memahami dunia kesehatan. Saya sendiri kemarin bersosialisasi mengenai peduli terhadap pergaulan bebas, kebetulan di Puskesmas Kejaksan itu diketemukan sekitar enam atau berapa orang siswa SMA dan SMP sedang bergumul, jadi kaget saya dengernya!!! Nah, berarti mungkin maaf kita kan gak tau barangkali sudah tersentuh. Ke depan masalah kesehatan ini akan sering memang. Saya sendiri karena di bagian kesiswaan sudah lama, kangen dan sering diundang dari Puskesmas, semacam penerangan untuk bersosialisasi kaitannya dengan pergaulan bebas, saya sedikit banyaknya bersosialisasi dengan anak-anak, tahu banyak sih tidak jadi belajar bersama-sama.”
Sementara makna keperawanan menurut Putri Khatulistiwa, aktivis LSM Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang rutin melakukan pendampingan-pendampingan terhadap persoalan kesehatan reproduksi dan seksualitas di berbagai daerah Yogyakarta, mempunyai beberapa pandangan tentang “Keperawanaan”.
“Seseorang dikatakan masih perawan, perjaka atau tidaknya, tidak dilihat dari masih ada atau tidaknya selaput dara. Tetapi vagina dan anusnya belum pernah kontak dengan penis, maka laki-laki dan perempuan tersebut masih perawan. Sebenarnya Undang-undang tentang tes keperawanan tidak ada. Pada dasarnya perawan atau tidaknya seseorang tidak bisa menjadi tolok ukur orang lain melakukan judgement buruk. Apalagi konsep keperawanan kuno soal masih ada atau tidaknya selaput dara, atau keluar darah saat malam pertama, itu hanya soal budaya saja. Karena keperawanan menjadi hak masing-masing individu. Maka dengan adanya tes keperawanan di sekolah merupakan pelanggaran hak asasi perempuan. Dan jika ini dibiarkan maka ruang untuk meremehkan dan melecehkan perempuan akan semakin besar. Advokasi yang pernah dilakukan, kebetulan di Yogja tidak ada isu tes tersebut tetapi waktu itu saya pernah ikut serta menanggapi kasus yang sama di Lampung, dengan membangun kesadaran tentang hak privasi.
Merry Magdalena seorang mantan jurnalis desk Teknologi Informasi dan Iptek di Sinar Harapan menulis dalam beberapa catatan studi tentang keperawanan bahwa dokter sekalipun tidak bisa membuktikan keperawanan perempuan. “Walau dengan menggunakan magnifikasi 10 kali lipat, dokter tidak bisa menduga secara akurat beda antara perawan dan tidak.” Menurutnya tes keperawanan tidak sesederhana melihat lubang di dalam hymen, sebab memang faktanya akan selalu ada lubang itu, walau pada perawan dan tidak.
Hal yang sama diungkapkan Dr. Rachel Vreeman dari Indiana University and Carroll, salah satu penulis buku “Don’t Swallow Your Gum” mengatakan, pada kasus dimana darah menstruasi terbentuk, segel itu bisa saja terbuka, atau adanya problem medis lain.
Masih banyak mitos-mitos lain tentang tubuh perempuan yang terus menerus disuarakan, seperti pinggul yang besar dianggap sering berhubungan seks atau calon punya anak banyak. Seringkali persepsi tentang tubuh perempuan itu sendiri tidak atas konfirmasi si pemilik tubuh yaitu perempuan, melainkan oleh pria. Perempuan sendiri sering termakan oleh mitos-mitos atas tubuhnya dan tidak mencoba menceritakan pengalaman tubuhnya sendiri karena ruang itu sudah begitu tertutup bagi mereka.
Kiai Husein Muhammad mengatakan, bahkan menerjemahkan tubuh perempuan masyarakat seringkali menggunakan agama. Padahal menurutnya, dalam agama sulit ditemukan aturan bagaimana perempuan diperbolehkan mengatur tubuhnya sendiri. Apalagi bicara soal hak otonom atas tubuh. Menurutnya, sejarah tradisi dan agama adalah sejarah politik. Semua dimaknai oleh kepentingan-kepentingan politik. Bahwa dalam hubungan laki-laki dan perempuan, maka kekuasaan politik ada di tangan laki-laki.
Sumber: buletin kesehatan reproduksi “Tanasul” Edisi. 14