Jumat, 6 Desember 2024

"Sudah Waktunya Polisi Introspeksi Diri"

Baca Juga

JAKARTA, KOMPAS.com – Kasus penembakan pada anggota kepolisian belakangan ini dinilai karena sikap polisi juga. Sudah waktunya, polisi melakukan introspeksi diri.

Hanya dalam waktu sebulan, kasus penembakan polisi terjadi empat kali di tiga tempat terpisah di wilayahTangerang Selatan, Banten. Tiga anggota korps bhayangkara gugur sebagai abdi negara. Mereka adalah Aipda Koes Hendratma dan Bripka Ahmad Maulana yang ditembak di Pondok Aren, Jumat (16/8/2013). Kemudian Aiptu Dwiyatno yang ditembak di Ciputat, Rabu (7/8/2013). Satu lagi Aipda Patah Saktiyono yang ditembak di Pamulang, Sabtu (27/7/2013), namun selamat.

Di luar empat kasus penembakan di wilayah Tangerang Selatan, sebenarnya masih ada beberapa kasus lagi yang memperlihatkan adanya tindakan perlawanan terhadap pihak kepolisian di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Di antaranya percobaan perampokan terhadap dua orang polisi, yaitu Brigadir Elvin dan Briptu Ricky di Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (6/8/2013), penembakan rumah AKP Andreas Tulam di Cipete Pinang, Tangerang, Selasa (13/8/2013), dan yang baru saja terjadi tadi malam, Minggu (18/8/2013), pengeroyokan terhadap seorang anggota Polantas di Kanal Banjir Timur, Jakarta Timur.

Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan, kasus perlawanan terhadap polisi beserta simbol-simbolnya memang meningkat dalam tiga tahun terakhir. Meski tidak menyebutkan rinciannya, Neta menyebutkan bahwa bentuk perlawanan tersebut antara lain penyerangan terhadap polisi berseragam maupun perusakan terhadap kantor polisi.

“Ada polisi akan menangkap bandar togel, masyarakat setempat bukannya mendukung upaya polisi, justru anggota polisi yang dikeroyok masyarakat,” ujarnya saat dihubungi oleh Kompas.com, Sabtu (17/8/2013).

Menurut Neta, kasus-kasus tersebut menunjukan bahwa polisi beserta simbol-simbolnya sudah tidak lagi ditakuti dan kehilangan kewibawaan. Bahkan akibat terkadang dicap tidak serius dalam penyelesaian penanganan kasus kejahatan, polisi cenderung menjadi bahan olok-olok masyarakat.

Pada kasus penembakan di Tangerang Selatan saja, banyak komentar-komentar miring datang dari masyarakat. Mereka menganggap pelaku penembakan bukan kelompok teroris, tetapi penjambret. Masih menurut komentar-komentar tersebut, pelaku penembakan nantinya akan menyerahkan diri saat mereka merasa bersalah.

Komentar-komentar miring itu, kata Neta, bisa jadi mengacu pada penanganan kasus pembunuhan terhadap Franciesca Yofie di Cipedes, Bandung, Jawa Barat. Sisca yang dibunuh secara sadis dengan cara diseret di jalan dan kemudian dibacok kepalanya, pada awalnya diduga dibunuh terencana dengan latar belakang tertentu. Hal itu diperkuat dengan tidak adanya harta benda korban yang hilang.

Namun, akhirnya, Sisca disimpulkan “hanya” dibunuh akibat penjambretan. Hal itu berdasarkan pengakuan kedua “tersangka”, yaitu Wawan (39) dan Ade (24). Ade, seorang tersangka yang menyerahkan diri akibat merasa bersalah, mengaku selalu digentayangi arwah Sisca.

“Masyarakat melihat keanehan di balik kasus Sisca, tetapi hanya disikapi sembrono, tidak serius dan tidak mau repot, di mana polisi hanya berpatokan pada pengakuan tersangka yang akhirnya hanya berujung penyidikan yang menyesatkan,” ucap Neta.

Dalam kasus penembakan polisi, Neta menyangkan tidak adanya empati dari masyarakat. Namun, menurutnya, hal itu akibat polisi yang selama ini tidak serius dalam penanganan suatu kasus.

Untuk itu, dia mengatakan, sudah saatnya polisi serius untuk melakukan pembenahan, introspeksi, memperbaiki diri dalam pelayanan terhadap masyarakat, dan menunjukkan keseriusan serta sikap profesionalnya, terutama dalam penanganan kasus.

Memburu pelaku penembakan polisi

Polisi menyatakan, berdasarkan penyidikan sementara, penembakan terhadap empat anggotanya diduga kuat berasal dari kelompok teroris. Namun, Neta menyatakan tidak sepakat dengan pernyataan itu. Menurutnya, terdapat pola serangan berbeda antara kejadian di Tangerang Selatan dengan serangan-serangan kelompok teroris yang pernah terjadi di Indonesia.

“Kelompok teroris selalu melakukan penyerangan kepada polisi dari arah depan dan dalam jarak tertentu, bukan jarak dekat dan dari belakang,” katanya.

Neta menjelaskan, hal tersebut mengacu pada kejadian penembakan polisi yang pernah terjadi di Deli Serdang, Solo dan Poso. Di tiga tempat itu, kata Neta, kelompok teroris melakukan penyerangan kepada polisi dari arah depan dan dalam jarak tertentu karena didukung jenis senjata yang memadai, yaitu senjata api organik asli, bukan senjata rakitan. Dan kelompok yang biasa menggunakan senjata api rakitan, lanjut Neta, adalah kelompok kejahatan dengan tujuan kriminal murni.

“Senjata rakitan kalau dari jarak tertentu akan melenceng, jadi harus dari jarak dekat. Yang biasa menggunakannya pelaku kejahatan kriminal,” ujarnya.

Sementara anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ruhut Sitompul mengatakan, penembakan terhadap sejumlah anggota polisi di wilayah Tangerang Selatan beberapa minggu ini harus mendapat dukungan dari masyarakat agar para pelaku yanh diduga kelompok teroris itu dapat ditangkap.

Ruhut menyarankan, sebaiknya, jangan ada pihak-pihak yang terus menerus menjelek-jelekan polisi. Sebab, itu sama saja melemahkan semagat juang polisi dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.

“Polisi kerjanya sudah sangat mulia, beneran. Polisi harus kita semangati, jangan polisi kita patahkan perjuangannya,” katanya. (Alsadad Rudi)

sumber berita: http://megapolitan.kompas.com/read/2013/08/19/0733534/.Sudah.Waktunya.Polisi.Introspeksi.Diri.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Megenal Kosep Keseimbangan Hidup dalam Ajaran Budha

Oleh: Zaenal Abidin Fahmina Institute menggelar sesi kedua kegiatan Sekolah Agama dan Kepercayaan Bagi Oraang Muda Angkatan 1 di Vihara...

Populer

Artikel Lainnya