Jakarta – Pemerintah dan DPR diminta untuk melakukan perubahan UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).
Namun perubahan itu harus jadi momentum bagi Negara untuk memberi pengakuan dan segala pencatatan administrasi kependudukan kepada para penghayat kepercayaan dan penganut agama lokal.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan hingga saat ini draf RUU Adminduk belum memuat ketentuan soal penganut aliran kepercayaan itu.
Di sisi lain, prinsipnya adalah Negara tidak berhak mengingkari fakta dan sejarah keberadaan para penghayat kepercayaan. Penghayat kepercayaan sudah hidup dan berkembang sebelum agama-agama besar masuk ke Indonesia dan sebelum Negara ini merdeka atau lahir.
“Dengan demikian, perubahan UU 23/2006 merupakan momen yang tepat bagi DPR dan pemerintah untuk menyesuikan perubahannya dengan UUD 1945, sehingga perubahannya bisa mengikis persoalan diskriminasi yang berdasarkan agama,” tegas Koordinator Bidang Sipil Politik YLBHI, Moch. Ainul Yaqin, di Jakarta, Jumat (12/7).
DPR dan pemerintah tidak boleh mengingkari keberadaan penghayat kepercayaan dan penganut agama lokal yang lahir dari kearifan lokal budaya nusantara. Penghayat adalah pemeluk ajaran atau keyakinan leluhur yang berkembang di Nusantara.
“Namun, dalam pembahasan Perubahan UU Adminduk, DPR dan pemerintah tidak mengakomodasi penghayat kepercayaan dan penganut agama lokal,” jelasnya.
Sementara Pemerintah sedang gamang dalam pengesahan RUU Adminduk. Dalam rapat paripurna, Kamis (11/7), pemerintah tiba-tiba meminta penundaan pengesahan di rapat paripurna, walau sebelumnya sudah setuju.
Hal itu mencakup pasal yang mengatur nstansi kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) menjadi instansi pusat, tidak lagi berada di daerah. Hal ini berimplikasi pada pola penganggaran pemerintah. Kabarnya, pemerintah ketakutan tak bisa membiayai pelaksanaan RUU itu bila disahkan.
Penulis: Markus Junianto Sihaloho/WBP