SALATIGA,- Ketidakadilan gender yang berlangsung di tengah masyarakat, diantara penyebabnya adalah karena adanya sebagian umat Islam yang masih memahami teks agama dengan melepaskan semangat kesetaraan dan keadilan dari turunnya teks tersebut. Sehingga pada akhirnya teks agama, justru dijadikan sebagai legitimasi dan kambing hitam terhadap budaya timpang tersebut. Inilah yang menjadi diskusi menarik pada kegiatan ““Kursus Islam dan Gender” di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga Jawa Tengah selama tiga hari (17-19/06).
Kegiatan ini diikuti oleh 20 peserta yang merupakan dosen di STAIN Salatiga Jawa Tengah. Sementara yang menjadi narasumber dan fasilitator dalam Kursus ini adalah Faqihuddin Abdul Kodir, Marzuki Wahid, KH. Husein Muhammad dari Yayasan Fahmina dan Nurrofi’ah dari PTIQ Jakarta.
Tujuan dari kursus ini adalah mengenalkan Islam dan Gender sebagai sebuah tawaran untuk membaca teks dan realitas yang timpang sehingga mengarah pada keadilan gender. Karena kalangan akademisi dikenal dengan komunitas yang sering melakukan kajian dan pembelajaran kepada mahasiswa, tetapi belum banyak menggunakan analisis gender sebagai alat untuk membaca.
Beberapa materi yang disampaikan pada kurus ini adalah bagaimana cara menafsirkan teks agama yang tidak diskriminatif. Disamping itu, peserta juga dibekali materi mengenai bagaimana cara menggunakan hadis yang tidak memojokkan perempuan dan bagaimana cara membaca dan memahami fiqih yang memberdayakan. Disamping tiga materi tersebut, tim fasilitator juga menawarkan teori cara membaca teks yang timpang agar menghasilkan makna yang adil yaitu dengan teori mafhum muttabuddul. Kelebihan dari kursus ini adalah model pembelajarannya yang dilakukan dengan metode pembelajaran orang dewasa, dimana setiap orang adalah peserta sekaligus narasumber. Artinya peserta yang hadir adalah bukan orang yang tidak memiliki pengetahuan sama sekali, walaupun masing-masing orang berbeda pemahamannya. Mereka yang menjadi peserta adalah orang-orang yang sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang isu-isu tersebut. Sehingga pada kursus ini, mereka juga pada hakekatnya adalah narasumber.
Untuk menghangatkan suasana, fasilitator juga sesekali mengajak peserta untuk rileks dan bermain game. Metode ini disamping mengendurkan pikiran juga mampu memudahkan peserta dalam memahami apa yang menjadi perdebatan dalam diskusi tersebut. [Rosidin]