Oleh: KH Husein Muhammad
Para sejarawan mencatat: Muhammad putra pasangan suami-isteri: Aminah dan Abdullah, lahir Senin, 12 Rabi’ al awwal, atau 20 April 571 M. Kelahiran orang besar ini dibidani oleh Al-Syifa, ibunda Abd al Rahman bin ‘Auf. Ayahnya; Abd Allah bin Abd al-Muthallib, tidak hadir pada saat yang membahagiakan itu. Ia telah wafat di Madinah, dalam usia yang masih sangat muda, 25 tahun. Kematian Abd Allah, terjadi ketika janin Muhammad berusia 2 bulan dalam kandungan ibunya.
Sejarah juga mencatat bahwa Nabi dan Rasul terakhir ini lahir ke dunia berbarengan dengan rencana Abrahah, gubernur Abyssinia, Etiopia, beserta pasukan gajahnya melakukan agresi militer ke Makkah guna memindahkan Ka’bah ke negaranya. Agresi militer itu pada akhirnya gagal total. Al-Qur’an mengabadikan peristiwa ini dalam satu surah : “al-Fil” (gajah) atau “Ashab al-Fil” (pasukan gajah). Orang lalu mengenang kelahiran Nabi sebagai Tahun Gajah.
Begitu Aminah melahirkan anaknya dengan selamat, ia minta orang lain menyampaikan kabar itu kepada kakeknya; Abd al-Muthallib. Sang kakek segera datang dengan wajah berbinar-binar, mengambilnya, lalu memberinya nama Muhammad, sebuah nama yang belum pernah digunakan masyarakat Arabia saat itu. Ketika ditanya mengapa nama itu, dan bukan nama nenek-moyangnya, sebagaimana kebiasaan masyarakat Arabia?. Abd al-Muthallib, menjawab : “Aku ingin dia, anak ini, kelak akan menjadi orang yang terpuji bagi makhluk Tuhan di langit dan di bumi”. Ia segera membawanya menuju Kakbah lalu masuk ke dalamnya. Di situ ia berdiri menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan atas kelahiran cucunya itu. Kemudian kembali menyerahkan kepada ibunya.
Beberapa hari sang ibu menyusuinya, lalu menyerahkan bayi itu kepada Tsuwaibah, sahaya perempuan pamannya; Abu Lahab, untuk menggantikannya menyusui si bayi mungil yang tampan itu. Tak ada yang aneh mengenai cara ini. Orang-orang terhormat dalam tradisi Arabia saat itu acap melakukan cara itu; menyusukan bayinya kepada perempuan lain yang subur. Beberapa waktu kemudian bayi Muhammad disusui oleh Halimah al-Sa’diyyah, seorang perempuan miskin yang berhati lembut. Ia menerimanya dengan senang. Halimah amat bahagia, hidupnya berangsur lebih baik dan terus membaik. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun bertambah-tambah saja. Bayi mungil yang tampak tampan itu telah memberinya berkah berlimpah.
Aminah mengasuhnya dengan penuh kasih sampai usia Muhammad (saw) 6 tahun. Anak dalam usia ini tentu sangat lucu dan menyenangkan. Terbersit dalam hati sang ibu keinginan berziarah ke pusara ayah sang anak, dan paman-pamannya yang wafat di Madinah. Boleh jadi ia ingin menunjukkan kepada Abd Allah, suaminya, akan buah hati mereka berdua itu, meski tentu saja tidak mungkin, karena ayah anak itu telah lama pulang. Andaikata suaminya masih ada, ia mungkin akan mengatakan kepadanya dengan bangga : “Sayangku, ini buah hati dan hasil cinta kasih kita berdua”. Ketika keinginan dan kerinduan itu begitu kuat, ia pun bertekad pergi ke Madinah dengan membawa serta anak yatim yang telah bisa berjalan meski belum cukup gesit dan cepat itu.
Dalam perjalanan pulang dari ziarah, Aminah sakit dan tak lama kemudian wafat menyusul suaminya. Ia meninggal di Abwa, sebuah desa antara Makkah dan Madinah. Muhammad, anak laki-laki tampan itu kini kehilangan orang-orang yang menjadi penyangga hidup dan pelabuhan hatinya. Ia kini jadi yatim-piatu. Hati anak kecil ini tentu remuk redam atas kematian ibunya itu. Ia sangat terpukul atas peristiwa itu. Tetapi Muhammad kecil itu menerima kehilangan orang yang sangat dicintainya dengan sangat sabar dan tabah. Kita tentu bisa mengerti dan tahu bagaimana perasaan sepi dan duka hatinya pada momen seperti itu. Perpisahan dengan orang-orang tercinta selalu menitipkan sepi dan luka. Muhammad saw kehilangan tumpuan harapan, kasih sayang, kelembutan, dekapan hangat sang ibu. Ia tak akan lagi merasakan tangan lembut yang menyuapinya. Tak ada lagi senda-gurau yang mengembangkan bibir untuk tersenyum-senyum atau tawa lebar yang indah bersama seorang perempuan yang mengandung dan melahirkannya itu. Kita semua dapat membayangkan atau merasakan betapa kebingungan, pilu dan duka lara anak-anak yang tak punya ibu, tak punya ayah, tak punya kekasih, tak punya dambaan kalbu, tak punya tempat mengadu, dan menumpahkan gelisah ketika hatinya luka atau terganggu.
Ia kemudian diasuh dan dalam perlindungan kakeknya, Abd al-Muthallib. Tetapi ini hanya berlangsung dua tahun saja. Karena sang kakek kemudian juga wafat. Sang paman, kakak ayahnya, Abu Thalib, merawat, menjaga dan melindungi Muhammad saw.
Tuhan tak membiarkan calon pemimpin dunia itu terus bersedih hati dan kehilangan harapan masa depan. Dia membimbing tangannya menapaki dan menyusuri jalan cahaya. Tuhan akan selalu bersamanya dalam suka maupun duka. Melalui pengalaman hidup yang memilukan itu Dia sedang memberinya pelajaran mulia, agung dan berharga bagi masa depan kemanusiaan. Pelajaran itu kira-kira berbunyi: “Jika kau menyayangi si fakir dan orang yang menderita, kau harus menjadi hatinya”. Kelak anak yang mulia ( Muhammad saw) itu memang sangat peka dan amat sayang terhadap orang-orang yang miskin, yatim-piatu, terlantar dan menderita lainnya.
Al-Qur’an merekam keadaan itu dalam salah satu ayatnya yang sangat indah:
Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
dan demi malam apabila telah sunyi
Tuhanmu tak meninggalkanmu
dan tak pula membencimu
Dan sesungguhnya hari kemudian itu
lebih baik bagimu daripada hari ini
Dan kelak Tuhanmu
pasti memberikan karunia-Nya kepadamu ,
lalu (hati) kamu menjadi puas.
Bukankah Dia mendapatimu
sebagai seorang yatim,
lalu Dia melindungimu?
Dan Dia mendapatimu
kebingungan,
lalu Dia memberimu jalan.
Dan Dia mendapatimu papa,
lalu Dia memberikan kecukupan.
Maka terhadap anak yatim
janganlah kamu berlaku kasar.
Dan terhadap pengemis
janganlah menghardiknya.
Dan terhadap karunia Tuhanmu kabarkanlah
Jika tidak keliru ingatan saya, peringatan Maulid Nabi di Indonesia ditetapkan sebagai hari Libur Nasional ketika K.H. Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, menjabat sebagai Menteri Agama. Upacara peringatan Maulid oleh pemerintah ini pada awalnya diadakan di Istana negara. Tetapi entah sejak kapan kemudian dipindahkan tempatnya, di Masjid Istiqlal. Pada momen tradisi keagamaan ini, Presiden, wakil presiden, para pejabat tinggi Negara dan para duta besar Negara-negara sahabat hadir bersama ribuan umat Islam.
Berbeda dengan pandangan mayoritas besar ulama dan para bijakbestari, Ibnu Taimiyah, tokoh “salafi” awal dan Hanbalian memandang perayaan Maulid Nabi sebagai bid’ah. Suatu praktik ritual keagamaan yang tidak pernah dilakukan Nabi dan para sahabatnya. Ia memang penganut tradisi tekstualis ketat. Pandangan ini beberapa abad kemudian diteruskan dengan semangat Islam tekstualis yang radikal oleh Muhammad bin Abdul Wahab, ulama terkemuka kelahiran Nejd, Saudi Arabia, 1703-1791. Para pengikutnya popular disebut Wahabis. Saudi Arabia mungkin satu-satunya Negara Islam yang anti peringatan Maulid Nabi dan menyerang dan mengecam kelompok muslim lain yang merayakannya. Para pengikutnya terus menyebarkan ajaran bahwa “maulid Nabi sebagai praktik keagamaan yang sesat”. Pandangan ini ditolak oleh masyarakat muslim hampir di seluruh dunia muslim dan masyarakat yang berperadaban.
Demikianlah, maka memperingati kelahiran Nabi besar Muhammad Saw hari ini dan kapanpun seyogyanya tidak sekedar menyalakan kandil-kandil, pawai obor, berceramah dan bercerita tentang kehidupan beliau yang sangat indah atau membaca puisi-puisi madah (senandung pujian) dan na’tiyah (sifat) kenabian, tetapi lebih dari segalanya adalah meneladani kepribadiannya yang mulia dan melanjutkan cita-citanya yang luhur, cita-cita kemanusiaan universal; membebaskan manusia dari praktik-praktik penindasan dan diskriminasi, membela kaum lemah yang tertindas, menjunjung tinggi martabat dan kehormatan manusia, membangun relasi kemanusiaan dalam jalinan cinta-kasih yang tulus, dan menegakkan keadilan terhadap siapa saja. Hingga Islam kembali menebarkan cahaya kemanusiaan dan menjadi Rahmat bagi semesta. Islam Rahmatan Lil Alamin.